
Bab 4
Keep Going.. Till You Hit The Wall
Tadi malam, setelah murid-muridnya tidur, Abdi memboyong beduk masjid yang sudah tidak terpakai dan dibawa ke dalam ruang tidur mereka. Camp konsentrasi kelas khusus itupun berdentum-dentum karena suara beduk, tepat jam lima pagi. Abdi membunyikannya. Anak-anak yang sudah tahu itu beduk akal-akalan Abdi, tetap tidak mau bangun. Lusi dan Weni malah tertawa cekikikan di balik selimut mereka. Sementara, Thoriq dan Yoshi, tidak terbangun samasekali.
Abdi tak kehilangan akal, dipukulnya kentongan yang dia pinjam dari pos siskamling di RT-nya, di telinga mereka. Thoriq kesal dan melempar bantalnya ke arah Abdi.
“BANGUN!! Tidak ada kesuksesan untuk orang malas!!”
Semuanya merangkak terbangun dari kasurnya masing-masing. Abdi menuju ruangan sebelahnya yang lebih kecil, dimana disana, tertidur dengan nyenyaknya, The Sleeping Beauty, Lia Dahlia.
“Hooi! Asisten! Bangun! Kerja, kerja!!”
“APAA?? Ini masih malam..” Lia mengigau.
“Addduuh, gue masih mabok ama tes kemarin..” Kata Thoriq yang menunggu di depan pintu kamar mandi aula, dengan mata terpejam. Di dalam, Lusi sudah setengah jam, belum selesai juga. Weni menggedor pintu.
“Lus, ngapain lo? Jangan semedi disitu!”
“Lagian Pak Abdi ngapain sih ngebangunin jam segini??”
“Sudah! Jangan mengeluh. Kita mulai kelasnya sekarang!!” Seru Abdi yang datang tiba-tiba.
“Pak ,saya belum mandi!!” Teriak Thoriq.
“Ke mushala sana, sikat gigi dan cuci muka saja. Kita sarapan dulu. Saya udah masak buat kalian.”
“HAAAHHH???”
Kelas khusus sementara menjelma menjadi ruang makan.
“Ini hari terakhir kalian di camp karena saya anggap kebiasaan buruk kalian sudah banyak yang berubah. Hari ini, kalian boleh pulang ke rumah. Setelah itu, kalian masuk Kelas Khusus Super Pemantapan. Saya kasih tahu, dalam KKSP, kalian berangkat dari rumah seperti biasa, hanya datang lebih pagi, setengah enam. Kalian akan sarapan dulu di sekolah. Sekarang, lihat baik-baik menu sarapan ini..”
Anak-anak menatap makanan mereka dengan tidak napsu. Ini terlalu pagi untuk sarapan.
“Sarapan ini, baik sekali untuk kalian. Sarden, mengandung DHA, bagus buat mengembangkan daya ingat dan kemampuan belajar, begitu juga dengan kerang, kedelai, nasi dan susu, semuanya mengandung vitamin B1, B6, B12. Semuanya ini, disebut vitamin otak. Kalian harus makan seperti ini setiap pagi!”
Anak-anak dan Lia diam sambil sarapan, membiarkan Abdi mengoceh sendiri.
“Dan, kunyah makanan dengan benar, sehingga urat-urat di otak kalian akan berkembang, nutrisi yang kalian makan, akan cepat mengalir ke otak. Jadi, pastikan kalian mengunyah dengan benar.”
“Makanan ini darimana, Pak? Yakin deh, bukan Bapak masak.” Celetuk Weni.
“Memang. Semua makanan ini, disupport penuh dari ibunya Mariana.”
Mariana menoleh kaget.
“HAH??”
*
“Nah sekarang, tes pagi, soal Matematika yang kemarin.”
“Laaagii?”
“Pengulangan, adalah kunci dasar untuk berhasil. Sekarang, kita ulangi soal ujian yang kemarin, saya sudah siapkan jawabannya, nanti seperti biasa, memeriksa bersama partner grup.”
“Serius, Pak? Soal yang kemarin lagi?” Tanya Thoriq.
“Aduh, Pak. Mending langsung dibahas aja deh. Soal kemarin itu jelas susaaaah.” Saran Weni.
“Thanks to somebody…” Sindir Lusi sambil melirik Mariana.
“Maaf ya, Teman-teman. Ini semua gara-gara gue mau masuk kelas ini, ya?” Mariana berkata lirih. “Kalian semua capek ya mengerjakan soal yang kemarin?”
Yoshi yang duduk di seberang mejanya, menendang kursi Mariana.
“Gak apa-apa, Dut. Nyantai aja. Udah kerjain lagi. Sekarang musti benar semua kayak kemarin, ya!”
“Gak usah nendang kursi dong tapinya!” Sentak Mariana dan membalas melempar penghapus ke arah Yoshi. “Tau, ah. Kayaknya gak yakin dapat seratus.”
“Harus!!” Yoshi memungut penghapus Mariana di lantai.
“Makanya usaha. Mikiiirrr!” Kata Yoshi sambil mengembalikan penghapus itu.
“E, eh.. Gak bokinan[1] di kelas ya!!” Sindir Thoriq.
Lusi melihat pertengkaran-tapi-mesra keduanya itu dengan hati mendongkol. Selama Mariana masuk kelas ini, Yoshi sering banget membela teman kecilnya itu, baik ketika diserang Abdi, maupun ketika diserang anak-anak. Terasa banget, deh, kalau Yoshi menaruh perhatian lebih pada Mariana.
“Stop bercandanya. Sekarang, mulai!” Seru Abdi, semua tenggelam dalam soal-soal, kecuali Lusi. Dia loading 5 menit untuk menerima kenyataan itu, sebelum akhirnya, dia memejamkan mata, menarik napas dan mulai mengerjakan.
Lia mendekati Abdi.
“Pak, Anda seakan menggali dan menggali terus mereka. Mau sedalam apa, Pak? Apa sih rencana Anda terhadap mereka? Kenapa harus Matematika terus yang dites-kan disini? Apa karena Anda dulu masuk jurusan Matematika, jadi Anda merasa Matematika itu spesialis Anda?”
Abdi diam sebentar, kemudian menyerahkan stopwatch pada Lia.
“Tolong di-handle dulu, saya mau pergi sebentar. Ada janji sama seseorang untuk dijemput.”
“Siapa?”
“Guru spesialis Matematika yang legendaris. Tunggu saja!” Abdi mengedipkan sebelah matanya dan keluar dari kelas. Di parkiran, Abdi melajukan motor bebeknya menuju sebuah rumah tempat Legenda Matematika yang dimaksud.
*
Lusi mengikuti Yoshi dan Mariana yang pergi makan berdua di kantin. Sementara, Weni dan Thoriq memilih untuk belajar di perpustakaan. Lusi memperhatikan mereka dari jauh. Yoshi sudah benar-benar tidak peduli dirinya. Dia hanya peduli cewek itu. Menyebalkan! Kelas khusus ini jadi seperti sarana mereka untuk kembali dekat. Memang, sebelum dia masuk dalam kehidupan Yoshi, Mariana sudah ada disana. Tapi, sejak jadian, Yoshi total menjauhi gadis itu, demi dirinya. Kenapa sekarang jadi begini? Tuh, malah tuker-tukeran makanan, lagi! Ugh, Lusi makin mendongkol.
“Mariana! Gak asyik banget lo!” Semprot seseorang tiba-tiba. Mariana dan Yoshi jelas kaget. “Lo masuk kelas khusus biar bisa dekat sama dia!? Munafik lo! Kemarin lo bilang kaga bakalan masuk sana, sekarang malah asyik dua-duaan. Pengkhianat lo!”
“Eeeh, tenang. Ini bukan seperti yang lo kira!” Mariana membela diri. Seisi kantin melihat pada mereka. Lusi yang berada tak jauh disana juga bengong dengan penyerangan yang tiba-tiba itu.
“Lo siapa?” Tanya Yoshi.
“HAH! Dia nanya ‘Gue siapa’?? Apa lo gak cerita, Mar? Syal itu dari siapa?? Hah??!”
“Cerita dan udah dikasihin, tapi,…” Mariana kelagepan, tidak bisa bicara karena cewek itu langsung menyemprotnya bertubi-tubi.
“Udahlah! Gue TAHU! Syal itu gak nyampe kan ke dia!? Lo emang suka sama dia, jadi pasti kado itu lo buang, ya kan ?!!”
“Tunggu, cewek ini siapa, Ndut?” Tanya Yoshi.
“Ya, ya, lo berdua emang munafik!! Terutama elo, Mar! Lo beneran pengkhianat. Mulai sekarang, gue bukan sobat lo lagi!!” Teriaknya kayak orang stres dan lari meninggalkan kantin.
“TITAAAA!!”
Setelah Tita pergi, semua bernapas lega dan melanjutkan aktivitasnya.
“Jadi, itu yang namanya Tita?” Tanya Yoshi.
Mariana mengangguk lemas, lalu menepuk jidatnya sendiri.
*
Rumah Delmora Digdaya, Sang Legenda Matematika itu sepi. Di depan, masih terpasang plang “Rumah Cerdas Delmora”. Seingat Abdi, dua tahun lalu dia kesini, tempat ini masih ramai. Ini sanggar tempat dimana Sang Legenda mendirikan klub Matematika untuk pelajar. Ya, sebetulnya, semacam les Matematika, tapi dengan metodenya sendiri. Abdi cukup kenal dengannya. Bukan, lebih dari cukup, Abdi sangat sangat mengenal Pak Delmora, sejak dia berusia 7 tahun.
Sang Legenda, adalah guru Matematika Abdi ketika SD. Cara mengajarnya masih sangat lekat dalam ingatan. Gara-gara Pak Del, dirinya jadi berminat pada ilmu Matematika dan sempat keterima di ITB jurusan Matematika. Sayang, dia melewatkan kesempatan bagus itu dengan mengabaikan belajar.
“Permisi….” Abdi mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Pintu depan itu dibiarkan terbuka. Ruang-ruang yang dulu dipakai untuk kelas-kelas, masih utuh, hanya sepi. Rumus-rumus buatan Pak Del masih terpajang rapi di dinding. Ada apa gerangan, Abdi bertanya-tanya.
“Pak..? Pak Del…?” Abdi terus masuk ke dalam.
“Saya tahu kamu datang. Sudah tercium baunya.” Kata sebuah suara. Abdi menoleh. Pak Del keluar dari sebuah ruangan gelap seperti bayangan hantu. Dandanannya tidak berubah. Dari dulu, dandannya seperti itu; Pakaian Pencak Silat lengkap dengan pecut di tangan. Selain terkenal sebagai Legenda Matematika, Pak Del juga aktivis penggiat Seni Bela Diri Pencak Silat dan Kuda Lumping. Karenanya, penampilannya sangat sangat nyentrik.
“Apa kabar, Pak?” Abdi mencium tangannya.
“Baik,” Lelaki tua itu terkekeh “Kamu apa kabarnya, Nak? Kok baru sekarang kesini?”
Abdi menyulut rokoknya sambil melihat sekeliling. Ada apa dengan tempat ini?
“Sepi, ya?” Tanya Pak Del sebelum ditanya “Saya sudah bubarkan sekolah ini. Saya ingin istirahat, berhenti mengajar Matematika. Kamu tidak usah tanya saya apa sebabnya.”
Abdi menatap gurunya itu.
“Tapi,…”
“Saya sudah bilang tidak.”
“Saya mohon, Pak.” Abdi memelas “Saya minta dengan hormat, Bapak datang ke SMA BS untuk mengajar anak murid saya yang akan masuk ke ITB.”
“ITB?” raut wajah itu berubah. “Kenapa harus mereka?”
Abdi menceritakan secara singkat kenapa sampai dia berbuat sejauh ini, untuk anak-anak itu. Pak Del manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggot putihnya yang panjang.
“Tapi, menurut saya, metode saya sudah ketinggalan jaman. Lihat, sudah tidak ada lagi yang mau mendaftar di sekolah ini. Mereka beralih pada metode dari luar negeri. Tidak ada yang menghargai metode saya.” Gumamnya lirih. “Metode saya, dibuang seperti sampah. Karenanya, saya pikir, saya harus menyerah dan berhenti mengajari Matematika dengan metode itu. Dua tahun lalu, saya berjuang untuk berhenti dan saya berhasil. Sekolah ini perlahan akan menghilang, demikian juga ilmu saya.”
“Pak Tua, saya kesini bukan mau dengar keluhan seperti itu!” Kata Abdi. “Dengar, Pak, apa Anda masih merasa nyaman dengan teori dan metode Anda? Atau malah Anda merasa nyaman diolok-olok seperti itu? Baik, jika Anda berdiam seperti ini, orang juga gak akan peduli, Anda akan mati atau hidup.”
“Eeeh, jaga mulutmu!” Sentak Pak Del “Apa-apaan sih kamu! Anak kecil ngomong seperti itu!”
“Saya hanya mau bilang, Pak, semua anak yang belajar sama Bapak, yang berhasil Bapak kirim ke ITB masih tertulis disana, di tembok itu. Bahkan, nama saya juga ada disana meski saya sudah di DO. Itu BUKTI, bahwa Anda mampu! Teori Anda terbukti BISA! Artinya, Anda masih punya harapan, dan karenanya plang ‘Rumah Cerdas Delmora’ masih terpasang didepan! Atau…”
Abdi menunjuk pada tembok berisi nama-nama.
“Atau semua nama-nama ini BOHONG! Nama-nama ini Anda karang sendiri??”
Pak Del menatap tajam bekas anak muridnya ini. Abdi tak mau kalah, dia juga balas menatap gurunya itu.
“Kamu kira, mengajari murid-murid SMA dengan nilai rata-rata 3, itu mudah? Kamu nekat mengirim mereka ke ITB!”
“Benar, saya memang nekat. Karena itu saya sukses jadi pengacara.” Jawab Abdi.
“Kamu yakin mereka bisa?”
“SANGAT YAKIN!”
“Kamu tidak akan terganggu dengan cara mengajar saya yang mungkin agak sedikit ekstrim??”
“Tidak!”
“Baik,” Pak Del memukulkan pecut kuda lumpingnya ke lantai sehingga suara cetar membahana, menggelegar dalam ruangan itu.
“Metode penjejalan materi pada siswa adalah satu-satunya jalan! Kamu harus menjunjung idealisme ini dengan penghargaan yang tinggi!”
“Pastinya, Pak! Cara apalagi yang lebih bagus daripada menjunjung tinggi idealisme kita?”
*
Bubaran sekolah. Thoriq melihat teman-temannya pulang dengan riang gembira dari balik jendela Kelas Khusus. Sementara mereka sedang belajar Bahasa Inggris dengan tenang dibawah pengawasan Lia. Jam dua siang ini, adalah jadwal mereka belajar Bahasa Inggris.
“Adeeeuuh, mereka enak banget pulang..” Keluhnya “Lah kita?? Belajar English. Yoshi, lagu apa yang bakal kita nyanyikan? Are You Lonesome Tonight? Atau No Woman No Cry? C’mon Yosh, mainkan terompet lo!”
Yoshi tidak mendengarkan celotehan Thoriq yang lagi stres. Dia sibuk belajar dan sesekali bertanya pada Mariana.
“Ndut, ‘That’ disini nih maksudnya apa?”
“Yang mana?” Mariana mendekat ke meja Yoshi.
Lusi melirik mereka dengan kesal. Mereka makin dekat. Kenapa sih Yoshi gak nanya ke gue aja? Sebal!
“Hmmm,” Mariana berpikir sebentar, “Ngeliat tempatnya di situ sih kayaknya dia relative clause deh..”
“Jadi jawabannya ‘So That’, gitu? Pakai SO, gitu?”
“Bisaaa,… Tapi bentar dulu, kalau misal kalimatnya berubah jadi…”
Yoshi dan Mariana asyik diskusi, ada dering berbunyi. Itu dari hape Weni. Weni melihatnya dan matanya mendadak berbinar.
“HAAAAHH, Yuki Kato mention gue!! Woy, guys! Yuki Kato balas mention gue!!” Weni berteriak full power.
Tapi sepi. Tidak ada yang menanggapi. Wenipun merengut dan memasukkan hapenya lagi ke saku. Ternyata, Yuki Kato tidak sekeren dan sebeken itu di mata teman-temannya.
Pintu terbuka. Rupanya Abdi yang masuk dan dibelakang Abdi, ada seorang kakek tua berwajah tirus, dengan dandanan mirip pemain Kuda Lumping, masuk ke ruang kelas. Lia berdiri dan mengangguk hormat pada orang itu. Beberapa guru mengintil dari belakang dan tidak berani masuk kelas khusus. Mereka mengintip dari luar.
“Siang, Anak-anak! Saya perkenalkan, seorang guru Matematika, yang akan mengajar kalian di Kelas Khusus Super Pemantapan. Dialah Legenda Matematika sepanjang jaman. Sambutlah, Pak Delmora Digdaya!!”
Anak-anak bertepuk tangan meriah. Tiba-tiba, CETARRR!! Pecut itu membahana menyentuh lantai. Anak-anak spontan mengkeret.
“Tidak usah bertepuk tangan! Saya bukan artis!” Seru Pak Del. “Kenalkan, nama saya, Delmora Digdaya, berjuluk Setan Matematika dari ITB!”
“Dari ITB !?”
“SETAN?”
“Aneh,” Desis Yoshi “Gak ada orang yang mau menyebut dirinya ‘Setan’, baru kali ini…”
“Ini, adalah kumpulan tugas pertama kalian!!” Gelegar Pak Del sambil menepuk buntelan hitam yang dibawanya, lalu membuka ikatannya.
“Kamu hanya perlu memecahkan, memecahkan dan memecahkan soal-soal ini!”
Anak-anak kaget. Kertas-kertas itu berwarna kekuningan dan lecek.
“E, busyeeet!!” Seru Thoriq “Itu oleh-oleh si Buta Dari Goa Hantu ya, Pak?”
“Aduuuh plis, deh…” Weni buka suara “Kita udah capek, ngerjain soal dari Pak Abdi!”
CETAARRR!!
“Kalian anak-anak lemah!” Seru Pak Del. “Kalian harus menyelesaikan semua soal ini seperti mobil di balapan F1. Bercita-cita masuk ITB itu, berarti kalian harus siap seperti mesin hitung!”
“Hey, Pak Tua, siapa yang mau jadi mesin hitung?” Tanya Yoshi.
“Saya tidak bilang kalian harus jadi mesin hitung,” Kata Pak Del “Saya bilang, harus siap seperti mesin hitung!”
“Ngomong apaan sih?” Yoshi masih melawan.
“Kamu budek, apa? Masih muda kok sudah budek?”
“Ye, bukan gitu maksud saya, Pak. Kita ini manusia, saya gak suka aja dibandingin sama mesin!” Jawab Yoshi.”Kalau mesin kan kita bakal pasif, kita dicetak, diinput,..”
“Menurut kamu, tanpa inputan, tanpa cetakan, apa yang bisa kamu perbuat?”
Yoshi tidak bisa menjawab.
“Sebentar, Pak Delmora, saya juga tidak setuju…” Kata Lia.
“DIAM! Kalian semua, hanya bernilai rata-rata 3 saja, gak usah sok tahu! Gak usah sok membantah! Gak usah sok mengajari saya! Kalau kalian menganggap diri hebat karena pemikiran kalian original, kalian salah! Imajinasi saja berawal dari meniru. Sekarang, kamu mau bilang kalau kamu punya dasar pemikiran yang hebat? Orang yang bilang bahwa dia gak perlu cetakan dan masukan, adalah orang yang malas!”
“Pak,” Abdi berbisik “Apa gak terlalu keras pada anak-anak?”
“Lho! Kamu janji kan sama saya, gak akan ikut campur?”
“Ya, sih..”
“Kamu sudah sumpah tadi di depan saya, bakalan diam ketika mengajari mereka? Sekarang bilang pada mereka, apa metode yang sudah mendarah daging dalam sistem pengajaran saya!”
“Anak-anak dengar,” Kata Abdi “Penjejalan materi adalah satu-satunya cara untuk belajar. Itulah metode yang akan diterapkan Pak Del.”
“HAH??”
“Ngerti kamu !?” Pak Delmora menunjuk Yoshi dengan pecutnya, Yoshi menepis pecut itu.
“Pak Abdi, kok jadi begini?” Lia protes.
“Yoshi,” Panggil Abdi “Jika kamu gak suka, coba jelaskan beberapa kasus yang pernah kamu alami. Sekarang, kami ada diposisi yang memegang power dan kami bisa membuat peraturan. Jika kamu ingin mematahkan kami, kamu jelas harus lebih pintar dari kami! Sekarang,dengan kasus kamu jualan terompet saja sudah terbukti kamu tidak kuat dan tidak pintar makanya kamu kalah sama pedagang itu!”
“APA? Lo pernah mau jual terompet lo??” Thoriq memotong.
“Diam, Njing!” Sentak Yoshi.
“Sekarang,” Kata Pak Del “Murid-murid di kelas saya harus memakai ini,” Lanjutnya, sambil menunjukkan ikat kepala berwarna putih, bertuliskan kata BODOH. “
“Apaan, tuh!?” Tanya Thoriq
“Aisshh, bandana bodoh?” Weni ikutan bertanya
“Siapapun yang memakai ini, harusnya merasa malu dan harus berusaha lebih keras lagi untuk the next test. Sangat penting ya, merasa malu jika kamu gagal. Ini seperti piala bergilir, siapapun yang mendapat nilai jelek pada akhir test, dia wajib pakai bandana ini, sampai ada siswa yang dapat nilai terburuk di akhir test, dia bisa menyerahkan bandana ini kepadanya. Mengerti??”
“Mengerti!!”
“Palingan yang sering pakai nanti Mariana sama Lusi.” Weni tertawa.
“Heh! Jaga tuh omongan!!” Sentak Lusi.
“Siapa yang nilainya paling jelek pada test terakhir?”
Mariana menunjuk tangan. Pak Del menyuruhnya maju dan memasang bandana bertuliskan ‘bodoh’ itu ke kepala Mariana. Seisi kelas tertawa.
“Cocok! Cocok!” Seru Yoshi.
“Diam!” Mariana merengut pada Yoshi, lalu duduk lagi dikursinya.
Soalpun dibagikan.
“Soal Aritmatika SMA. Lima soal, waktu limabelas menit. Kerjakan!”
“Sekelompok orang ingin pergi dari daerah A ke daerah B, menempuh perjalanan..”
“Dalam Parralelogram ABCD, dimana AB lebih besar dari AD..”
“A dan B sedang balapan motor, dimana kecepatan A adalah..”
“Jika sekelompok orang butuh 8 jam untuk memindahkan kardus sebanyak 20.000 buah..”
“Aduh, pusing, euy..” Kata Mariana dalam hati.
“Gila! Susah juga!” Thoriq melirik Weni yang tekun, sepertinya bisa mengerjakan.
“Aisshh, ngomong-ngomong Yuki Kato lagi ngapain ya sekarang..?” Pikir Weni, masih sempatnya mikirin Yuki Kato.
“WAKTU HABIS!!” gelegar Pak Del. Semua menghentikan pekerjaannya. Yoshi meregangkan ototnya, lalu menguap.
Abdi berdiri dan mengambil kertas jawaban mereka dan langsung memeriksanya. Semuanya tegang menunggu. Tak sampai lima belas menit, Abdi selesai memeriksa semua tes barusan dan membagikannya lagi.
“Ini untuk si bodoh Mariana,”
“Thoriq Syahdan!”
“Lusi,”
“Baik, tak satupun dari kalian yang nilainya sempurna. Saya sangat menyesal!” Tutur Pak Del.
“Eh, saya dapat 80, nih!” Ujar Thoriq, sambil memamerkan nilainya.
“Saya juga! 95 malah! Almost perfect!” Weni bangga.
“DENGAR! Nilai 99 atau NOL itu sama saja! Jika tidak dapat 100, itu tidak ada artinya!” Pak Del memukulkan pecutnya ke lantai, dan suara cetar itu kembali membahana. Lama kelamaan, anak-anak jadi terbiasa dengan suara itu. Sudah kebal dan tidak kaget lagi.
“Nah, sekarang, siapa yang dapat giliran pakai bandana?” Tanya Abdi. Lusi lirak lirik malu mau menunjuk tangan.
“Kamu ya, Lus? Nilaimu 60, kan?”
Mariana melihat nilainya yang ternyata 65.
“YESS!!” Dia berdiri dan menuju meja Lusi. Mariana melepaskan bandana dan memasangkan ‘piala bergilir’ itu pada Lusi.
“Kamu, orang terakhir yang jadi bodoh di kelas ini, Lus! Selamat!!” Seru Mariana. Lusi merengut sambil membetulkan letak bandananya. Yoshi menoleh ke belakang sambil cengar cengir.
“Gimana, Yosh?” Tanya Lusi.
“Cocok banget! Jadi makin kelihatan bego lo!” Yoshi tertawa dan membalikkan badan, lalu menggeser mejanya mepet ke meja Mariana.
“Sini, Ndut, geser meja lo. Jawaban yang nomor tiga ini harusnya gimana? Jawaban lo benar kan nomer tiga?”
“Iya. Jawaban nomer dua gue salah, lo benar. Ayo tukeran jawaban yang benar,” Sahut Mariana, lalu melihat kertas jawaban Yoshi.
“Ooh, yang nomer 3 ini lo harus mulai dari si C dulu ngitungnya. Gini..”
Lusi melihat kedekatan itu dengan iri. Benci sekali melihat mereka berdua yang sok akrab dan tambah benci dengan bandana konyol ini, yang membuatnya terlihat tambah bodoh. Maka, dilepasnya bandana itu dan melemparkan ke Yoshi.
“Pak Abdi, saya mau berhenti aja!” Teriak Lusi.
“Heh, kenapa?”
“Abis, saya gak rido pakai begini-beginian. Lagipula dari awal, ITB bukan prioritas saya, kok!”
Lia menatapnya tidak mengerti.
“Kenapa, Lusi?” Tanyanya. Lusi tidak menjawab dan langsung keluar kelas. Seisi kelas terdiam.
“Lusi malu banget pakai ini, gitu?” Tanya Yoshi sambil memegang bandana itu.
Thoriq berdiri,
“Gue susul dia. Biasanya, dibeliin bubble tea juga luluh!” Katanya.
“DIAM!” Pecut Pak Del mengarah ke lantai dekat Thoriq.
“Duduk kamu! Tidak ada murid yang boleh menyusul dia! Pelajaran kita belum selesai. Sebentar lagi akan ada tes lanjutan soal Trigonometri. Jadi stay here!”
“Thoriq duduk, Thor.” Kata Abdi, lalu menatap murid-muridnya. “Sekarang kalian mengerti, inti dari pemakaian bandana itu? Siapa yang tidak kuat mental akhirnya terseleksi.”
Abdi tersenyum melihat Yoshi dan Mariana. Karena kalianlah sebetulnya Lusi keluar dari kelas ini, bukan karena malu pakai bandana bodoh, batinnya.
*
“Bu Nina, Anda harus menghentikan ini! Pak Abdi sudah keterlaluan. Dia memanggil pak Delmora, hanya untuk menakuti anak-anak!” Lia berkata penuh emosi. Abdi meliriknya dan geleng-geleng kepala.
“Jadi saya musti bagaimana?” Tanya Bu Nina, sambil memijit-mijit kepalanya yang pusing.
“Ibu harus tegas. Hentikan kelas itu sekarang juga!! Dia, maksudnya Pak Del, selalu memukulkan pecutnya!”
“Pecut?” Bu Nina panik.
“Ya, Bu. Suaranya sampai cetar-cetar, gitu. Masa Ibu gak dengar sih?”
“Lia, jangan melebih-lebihkan. Pak Del hanya memukulkan ke lantai, gak sampai kena ke anak-anak, kan?” Abdi buka suara.
“Ya, tapi itu cukup bikin anak-anak takut. Sekarang Lusi Nareswari, sudah keluar dari kelas itu. Bu Nina, jika terjadi sesuatu sama Lusi, Anda tanggung jawab!” Kata Lia.
“Kenapa saya? Ya, ke Abdi dong!” Elak Bu Nina.
Gerombolan guru-guru masuk ke ruang bu Nina.
“Hallo-hallo.. Saya dengar, Lusi keluar dari kelas itu, ya?” Tanya pak Sudiskam “Berarti, Anda gagal, Pak Abdi. Silahkan Anda keluar dari sekolah ini. Menyerahlah!”
“Hey, siapa yang bilang gitu? Lusi tidak keluar, dia hanya istirahat.” Sahut Abdi. Lia melongo.
“Pak! Lusi itu keluar. Dia ngambek karena malu pakai-pakai bandana bodoh itu. Pak Del juga memukul pecut. Itu kejam. Hukuman terkejam yang pernah saya tahu!” Kata Lia.
“Kamu memang bodoh, Lia. Lusi keluar bukan karena pakai bandana itu. Ini masalah cinta. Kamu tuh kayak gak pernah muda aja, sih! Gak pernah pacaran, ya?” Kata Abdi.
“Apa??” Lia marah dikatain gak pernah pacaran.
“Oke, begini, jika dalam waktu tiga hari Lusi gak hadir juga dalam kelas khusus, berarti bubar!” Seru Pak Sudiskam “Dan anak-anak kelas khusus, akan kembali dalam kelas reguler. Begitu, ya Bu Nina?”
Bu Nina hanya menarik napas. Dia bingung dengan segala kontroversi yang tak kunjung usai ini. Dia malah melihat-lihat brosur dari tour and travel yang menawarkan wisata belanja seminggu di Paris. Dia ingin refreshing…
“Saya akan cari gantinya.” Kata Abdi.
“Tidak semudah itu!”
Di pintu, berdiri Sherwin Raffa. Ketika semua guru melihatnya, Raffa cengar-cengir.
“Mau apa, Raffa?” Tanya seorang guru.
“Ah, enggak Pak, cuma pas tadi lewat kenapa ada rame-rame jadi saya mampir. Ya udah saya pergi..”
Raffa lari terbirit-birit.
“Saya tahu, dia ingin masuk ITB.” Kata Abdi. Guru-guru tertawa.
“Yang mimpi Raffa atau Abdi ya? HAHA!”
“Sudahlah Pak Abdi, daripada berdebat, sekarang cari saja Lusi, buktikan kalau dia bisa diajak masuk lagi ke kelas itu.” Kata Pak Sudiskam.
“Saya jelas gak akan pergi. Saya harus mengawasi anak-anak yang sedang diajar Pak Del.” Kata Abdi, lalu melirik Lia. “Ntar ada yang kena pecut, gimana?”
“Jadi, saya??”
“Terserah.”Jawab Abdi singkat. “Saya gak butuh anak yang kembali ke kelas karena terpaksa.”
“Ya, udah, ini tanggungjawab saya sebagai gurunya. Saya akan cari dia!” Lia keluar ruangan.
“Ingat ya Pak Abdi, tiga hari lagi, lima siswa harus hadir dalam kelas.” Guru-guru meninggalkan ruang Bu Nina.
*
Lia berjalan menyusuri koridor, bermaksud pergi mencari Lusi. Yoshi melihat dan menyusul langkahnya.
“Lia!” Panggilnya. Lia menoleh.
“Mau cari Lusi, ya? Saya ikut.”
“Jangan. Pak Abdi bakal marah kalau kamu gak di kelas nanti.”
“Gak apa-apa, saya ijin nanti. Lagipula, saya tadi udah ngatain Lusi, saya menyesal. Saya ini cowoknya, tapi tega kayak gitu.” Kata Yoshi. “Saya tuh cuma ingin, dia gak terlalu manja sama saya.”
Lia diam sebentar.
“Ya udah, ayo kita berangkat.”
Mereka berjalan beriringan.
“By the way, emang kamu mau cari kemana?”
Lia menggelengkan kepala.
“Gak tahu juga. Mungkin ke rumahnya.”
“Dia gak bakalan pulang ke rumah.” Kata Yoshi. “Saya tahu, dimana tempat yang bakal didatangi Lusi kalau lagi galau.”
*
Di kelas, hanya tinggal bertiga, Mariana, Weni dan Thoriq, mengerjakan soal-soal Trigonometri yang memuakkan.
“Gue mau cari Lusi juga kayaknya,” Kata Thoriq.
“Halah, lo sih emang pengen aja bolos kaya si Yonce,” Tukas Mariana.
“Aduh, ketahuan gue..”
CETAARRR!! Suara pecut itu lagi.
“Jangan ngobrol!! Kerjakan cepaaat!” Pak Del murka. Thoriqpun mengkeret.
*
Lia memandang gedung empat lantai itu. Musik jedar jedur terdengar dari bawah sini. Yoshi menunjuk ke atas.
“Ini tempatnya. Dulu, Lusi selalu disini sebelum pacaran sama saya.”
“Dia anak dugem?” Tanya Lia.
“Lebih dari itu. Parah pokoknya. Ayo masuk.” Kata Yoshi. Tanpa sadar, Lia memegangi tangan Yoshi dan melangkah masuk ke gedung itu.
Di dalam,
“Hallo Yoshi!! Kemana aja, lama gak keliatan?” Sapa anak-anak tanggung itu, yang sedang party-party. Lia memandang sekeliling dengan tatapan ngeri.
“Siapa nih, Yosh? Pacar baru, ya? Kok udah tua?”
“Gue cari Lusi, dia kesini, gak?” Tanya Yoshi, tak menghiraukan pertanyaan mereka.
“Oh, gue liat tadi. Langsung ke lantai tiga kayaknya. Biasa, sama the pinky sweety.” Jawab seseorang.
“Ayo.” Ajak Yoshi.
“Apa itu the pinky sweety?” Lia bertanya. Yoshi berusaha melepaskan gandengan tangan Lia karena merasa risih.
“Ntar kamu juga tahu. Sebentar, saya ke toilet dulu. Lia langsung aja ke lantai tiga.”
Mereka berpisah, Lia menaiki tangga dengan ragu. Benar. Di lantai ini, dia melihat Lusi, sedang berkerumum bersama cewek-cewek dengan dandanan aneh.
“Lusi…” Panggilnya. Lusi menoleh dan kaget.
“Bu Lia! Kok tahu saya disini??”
“Ayo kembali ke kelas. Semua nunggu kamu.”
“Gak mau!” Lusi merengut.
*
Sementara di kelas, yang ada hanya tinggal bertiga itu mulai tidak semangat. Abdi tidak kehilangan akal. Ini harus dibuat permainan lagi agar mereka tidak jenuh dengan soal-soal.
“Apa kamu sudah mengajari mereka metode pingpong?” Tanya Pak Del. Abdi mengangguk.
“Wah, Pak Delmora tahu juga permainan pingpong kami?” Tanya Thoriq.
“Ya tahulah. Saya yang mengajarinya pada orang ini.”
“OOOO” semua melongo.
“Jadi, Pak Abdi ini murid Anda juga, Pak Del?” Tanya Mariana.
“Lucu! Gimana Pak Del waktu mudanya? Pasti ganteng ya? Lebih ganteng dari Pak Abdi!” Cerocos Weni.
“Diam kalian! Itu sudah lama. Beliau ini, guru saya jaman saya SD.”
“Kalau permainan kartu?” Tanya Pak Del.
“Oh, itu belum. Anda mau mengajari mereka?”
“Main kartu? Saya bisa! Apa, remi, poker? Kiu-kiu?” Tangan Thoriq bergerak seperti mengocok kartu.
“Bukan itu!” Pak Del mengeluarkan kotak kartu remi. “Perhatikan baik-baik, jangan ada yang berkedip. Dalam permainan kartu ini ada 52 kartu. Jika kita jumlahkan seluruh angkanya, berapa yang akan di dapat?”
“Hmm…”
“CEPAT!!” CETAR!!!
“Oeh, eh, berapa ya?”
Semua menghitung tapi tidak tahu berapa jumlah yang dimaksud.
“364!” Jawab Pak Del.
“Ya! Saya baru mau jawab, Pak. 364!” Kata Thoriq.
“Kalian pasti pernah main kartu Remi, kan?” Tanya Abdi “Jumlah semua angkanya adalah 364, mendekati 365, jumlah hari pada satu tahun.”
“Tuh, benar gue!” Kata Thoriq.
“Oh, baru kepikir!” Kata Weni.
“Aturannya sangat sederhana. Very simple! Kalian, melawan dua orang, berhadapan. Masing-masing pegang satu set kartu. Dipegang dalam keadaan dibalik, ketika akan menjatuhkan ke meja, kalian balik kartu itu, dan lihat angkanya. Misal,”
Pak Del menjatuhkan satu kartu dan terbukalah kartu dua hati.
“Nih, 2”
Kemudian, jatuh kartu As,
“Tambah 1 sama dengan 3.”
Lalu jatuh kartu wajik lima,
“Tiga tambah lima, sama dengan delapan,”
Lalu jatuh lagi sekop enam
“Delapan, tambah enam, 14. Begitu seterusnya. Dan, yang duluan mencapai angka 364, dialah pemenangnya.”
“Hampir terlalu mudaaah!!” Kata Thoriq senang.
“Sekarang cobalah. Bilangan ini dimulai dari satu yaitu kartu As, sampai 13 yaitu kartu King.. Tapi, kalian harus dapat angka 364 secepatnya. Latihan ini akan mengaktifkan otak kamu. Lebih efektif dari latihan soal penjumlahan biasa.”
“Aturannya sama, yang kalah, dia yang pakai bandana bodoh ini. Mulai dari Mariana dan Thoriq dulu. Siap, ya. Mulai!” Pak Del mengkomando.
*
Di kelab malam..
“Hey, hey, siapa sih dia?” Tanya seorang cewek anak genk.
“Dia guru gue. Santai aja, gue yang handle,” Kata Lusi. Lia begidik. Ini sepertinya bukan genk biasa. Tampaknya, the pinky sweety ini genk motor matic. Gawat. Kenapa gak si Abdi aja sih yang kesini kalau begini ceritanya?
“Sebaiknya Bu Lia pulang aja, Ibu gak pantas ada disini. Saya gak akan balik ke kelas. Yuk, saya antar ke bawah.” Kata Lusi.
“Lusi!” Panggil Yoshi.
“Yosh? Oh, lo rupanya yang ngajak Bu Lia? Ngapain lo nyusulin gue? Sana, belajar aja yang tekun sama cewek itu!” Kata Lusi. Abdi benar, pikir Lia. Ini persoalan cemburu. Lusi cemburu melihat kedekatan Yoshi dan Mariana dalam kelas. Ah, kenapa aku tidak peka?, pikir Lia.
*
Di kelas, Mariana sudah memakai bandana bodoh. Dialah yang kalah dari Thoriq. Kini giliran Mariana melawan Weni. Dan sialnya, Weni yang menang karena telah duluan mencapai angka 364. Diluar kelas, Raffa mengintip bersama Bu Nina, melihat permainan itu.
“Keren, ya Bu?” Tanya Raffa setelah menyadari Kepala Sekolah ikutan mengintip.
“Wow, ini metode menarik. Bisa memperlambat Alzheimer, kalo kata seminar yang Ibu ikuti kemarin.”
“Sekarang Ibu ikutan aja ke dalam. Ayo saya temani.” Kata Raffa.
“Enggak ah, malu. Kamu saja,” Bu Nina mendorong tubuh Raffa, namun Raffa bertahan dengan memegang kusen pintu. Bu Nina terus mendorong badan Raffa sambil tertawa-tawa.
“Thoriq, sekarang kamu lawan Mariana lagi. Dia benar-benar pecundang malam ini,” Suara Abdi, terdengar dari luar.
“Bentar Pak, saya mau ke bawah beli minuman dulu. Hauuusss..” Kata Thoriq. Abdi menyodorkan uang.
“Nih, beli minuman sekalian buat semua. Juga cemilan-cemilan. Jangan kelamaan belinya.”
“Oke dokeh, Bapake!!” Thoriq menerima lembar seratus ribuan itu dengan gembira dan melangkah keluar. Namun kakinya terhenti melihat Raffa dan Bu Nina mengintip.
“Eitttsss! Ada pengintip! Woy, Pak Abdi, Pak Del, ada pengintip!!”
Raffa dan Bu Nina, lari terbirit-birit.
*
“Lus, jangan lebay, deh! Gue ama Mariana tuh gak ada apa-apa. Kalau mau sih udah gue pacarin dari dulu!”
“Ya karena kalian teman kecil makanya lo ngerasa gak bisa sama dia. Padahal cinta banget!!” Teriak Lusi putus asa.
“Oke, gue teman kecilnya dan kami udah barengan dari belum lahir. Tapi, kenapa gue pilih lo jadi cewek gue? Ya karena gue cintanya sama lo! Puas?? Udahlah, sekarang ikut gue dan Lia balik ke sekolah!” Kata Yoshi.
Lusi menggelengkan kepala dan menunduk. Hatinya sudah terlanjur terluka.
“Hey, berhubung tadi Lusi udah terlanjur bilang mau gabung lagi sama the pinky sweety, gak bisa kalian begitu aja membawanya pergi. Ada tantangannya. Bu Guru yang baik mau melakukannya?” Tanya seorang anggota genk.
“Apa tantangannya? Biar gue yang lakuin buat Lusi,” Kata Yoshi.
“Berhubung ini genk motor khusus cewek, jadi yang melakukannya harus cewek. Ya bu guru ini, deh.”
“Kita main Chicken Run.” Kata mereka. Lusi dan Yoshi kaget. Setahu mereka, Lia tidak bisa samasekali naik motor.
“Wah, jangan itu dong,” Kata Lusi.
“Lusi, lo diam. Sekarang urusannya antara guru lo dan kami. Kalo guru lo mau nerima dan menang, lo boleh balik ke sana.”
“Oke, saya terima!!” Kata Lia.
“IBU!!”
“LIA!”
Lusi dan Yoshi berteriak.
Diperjalanan pulang ke sekolah,
“Yoshi, memangnya permainan Chicken Run itu kayak apa, sih?”
Yoshi tersenyum kecil. Itulah Lia, yang ceroboh dan selalu anggap enteng sesuatu. Yoshi tak mau berkomentar lagi.
“Entar, kamu tanya sama Pak Abdi aja apa itu Chicken Run.”
*
Lia menghampiri Abdi yang sedang meminyaki rantai dengan oli. Abdi mendongak.
“Kenapa?”
Lia menceritakan apa yang terjadi semalam sampai akhirnya dia menerima tantangan main Chicken Run.
“HAH? Kamu mau main Chicken Run?” Abdi kaget.
“Emangnya Chicken Run itu apa??”
Abdi lalu bilang, bahwa Chicken Run itu balapan motor di jalan yang lurus dan berakhir di tembok. Yang menginjak rem duluan dalam balapan, dia kalah. Mereka, harus menginjak rem disaat hampir di garis yang ditentukan, yaitu di ujung tembok,
“Sudah saya duga….Jadi, saya harus naik motor?”
“Ya, dan kamu bisa??”
Lia menggeleng. Abdi sudah menduga. Dia lalu menyerahkan kunci motor pada Lia.
“Pakai motor saya buat latihan. Kapan racingnya digelar?”
“Dua hari lagi. Tapi…., saya bisa gak yaaa?” Lia mulai ragu.
“Segampang kamu menerima tantangan itu. Ingat, keep going, untill you hit the wall. Jangan pernah mengerem di tengah racing karena kamu akan kalah. Mengeremlah saat kamu hampir menabrak batas yang ditentukan.”
Abdi meninggalkan Lia. Sambil melangkah dia berkata bodoh pada cewek itu. Tapi kemudian dia merasa salut, karena Lia mau melakukan itu, untuk Lusi.
*
Disaat murid-murid jogging pagi hari di lapangan Bougenville, Lia juga mati-matian berlatih naik motor. Dia pernah bisa naik motor dulu ketika SMA. Sekarang, hampir lupa. Apalagi, motor Abdi bukan motor matic. Motor bebek yang beratnya naudzubillah. Berkali-kali Lia jatuh dan berusaha menegakkan motor itu lagi.
“Lia! Kalau motor saya rusak, kamu harus ganti!” Teriak Abdi.
Tepat jam 8 pagi, setelah mandi dan sarapan, mereka memulai kelas khusus mereka.
Di kelas, tersisa empat orang murid. Pak Del membagikan soal. Ini tidak seperti biasanya. Ini metode lain lagi dari Pak Delmora. Soal Matematika IPA berjumlah 15 soal dan harus dikerjakan dalam waktu 22,5 menit. Berarti, 1 soal mereka harus mengerjakan dalam waktu 1 menit 30 detik.
“Saya membagikan 2 lembar. Lembar pertama adalah soal, lembar kedua, adalah jawabannya. Tapi, ketika mengerjakan latihan soal itu, kertas jawabannya dibalik dulu. Ketika kalian tidak bisa menjawab, kalian intip lembar jawabannya, kemudian kembali mencoba mengerjakan. Ingat, lembar jawaban, hanya berisi jawaban, bukan berisi cara mengerjakan. Tugas kalian ya mengerjakan sampai ketemu hasil yang sama persis dengan kertas jawaban. Mengerti?”
“Jika kita melihat lembar jawaban, tapi tetap gak ngerti, gimana Pak?” Tanya Weni.
“Berarti kamu memang bodoh!” Jawab Pak Del, membuat Weni merengut. Semua menoleh padanya sambil cekikikan. Pecut Pak Del kembali membahana.
“Kalian jangan cekikikan meledek. Belum tentu kalian juga bisa! Gunakan 30 detik pertama untuk memahami soal, jika bisa langsung kerjakan, jika tidak, lihat lembar jawaban. Jika sudah tahu jawabannya, mulai menghitung dan menjawab. Pada latihan pertama ini, mungkin kalian akan tekor waktu. Tapi lama kelamaan, makin sering latihan, kalian akan bisa mengerjakan semua soal dalam waktu 22,5 menit, atau bahkan kurang dari itu. Sekarang, mulai!”
“Dalam persamaan pertama, X2 + 2X…” Yoshi mengerut alis.
“Dalam persamaan X2 + 2X – a = 0 adalah…” Mariana memangku tangan. Aduh, gak ngerti nih gue..
“Jika a adalah..” Thoriq berpikir keras.
“Hmm, apa jawabannya kita harus mensubtitusi x ini dengan -3?” Kata Weni dalam hati.
“Oke! Sekarang, coba liat lembar jawabannya..” Perintah Pak Del.
Semua melihatnya dan jawabannya adalah x = – 3.
“YESS!!” Seru Weni. Semua menoleh.
“Benar, lo?” Tanya Yoshi. Weni mengangguk-angguk.
“Nah, seperti itulah. Jadi, dalam waktu 30 detik, kalian sudah membaca dan memikirkan jawabannya. Begitu melihat kertas jawaban, kalian sebetulnya sudah tahu apakah jawaban kalian tadi benar atau salah….”
Istirahat, Yoshi membicarakan soal kekhawatirannya pada Thoriq dan Weni. Lia akan melakukan tantangan berbahaya untuk mengembalikan Lusi ke kelas ini.
“Dia nekat, tahu!” Ujarnya. Semua saling pandang.
“Gak boleh ada yang gantiin? Misal, Pak Abdi?” Tanya Thoriq.
“Gak,” Yoshi menggeleng. Karena itu genk motor cewek, maka yang harus balapan ya musti cewek.
“Sebetulnya, gue gak terlalu setuju Bu Lia menerima tantangan itu,” Kata Weni “Apalagi hanya untuk memaksa Lusi balik ke kelas ini. Kalau dia memang niat masuk ITB, dia gak bisa menggunakan alasan karena seseorang.”
“Ya juga, sih,” Kata Thoriq “Tapi lo tahu, Lusi tuh masuk kelas ini karena ada Kakanda Yoshi. Terus, racingnya gak bisa dibatalin, gitu, Yosh?”
“Ya, gimana lagi? Udah terlanjur. Ohya, gue jadi mikir tentang Lia, meski sebetulnya seperti menentang kelas ini, tapi aslinya, dia mendukung. Buktinya, dia mau melakukan itu untuk Lusi supaya kembali. Supaya kelas ini gak dibubarkan karena kurang murid.” Kata Yoshi.
“Aslinya, dia mendukung, Yosh. Bu Lia itu supervisornya Pak Abdi, dia akan protes, ketika Pak Abdi mulai menyakiti kita. Terasa, kan?” Kata Weni.
Mereka mengangguk-angguk.
“Ohya, Yosh,” Thoriq celingukan, “..mumpung gak ada si Mardut, gue mau bilang, kalau kedekatan lo sama si Ndut, bisa aja bikin Lusi cemburu. Lo kudu hargai perasaan Lusi, dong. Dia kan cewek lo. Lo sering gue sindir dalam kelas gak ngerasa, ya!?”
“Iya, nih. Gue aja yang bukan Lusi, risih lihatnya! Lo berdua mesra banget! Duduk deketan, belajar bareng, ke kantin bareng, mana se-grup lagi!” Protes Weni.
“Emang gue sama si Ndut mesra, gitu? Masa, sih? Perasaan biasa aja, deh!” Elak Yoshi.
“Ya elo biasa aja, orang lain terganggu.” Timpal Thoriq.
Kemudian, Yoshi berjanji akan lebih hati-hati lagi. Yoshi mengakui, bahwa masuknya Mariana ke kelas khusus itu seperti mengembalikan masa-masa kedekatan mereka berdua, sebelum dia jadian dengan Lusi. Thoriq menepuk pundaknya.
“Ngomong-ngomong, kapan sih balapannya?” Tanya Thoriq.
“Besok.”
“BESOK!?”
*
Lia sudah di parkiran motor, akan menuju ke tempat balapan yang ditentukan. Thoriq, Weni dan Yoshi minta ijin Abdi untuk mendampingi Lia balapan. Jadi, di kelas nanti hanya akan ada Mariana. Abdi tidak keberatan asal setelah balapan selesai, mereka harus segera kembali ke kelas. Abdi mendekati Lia.
“Lia, nanti disana, mereka tidak akan mengerem sampai menabrak tembok.” Katanya. Lia hanya diam, sambil memakai helm.
“Sebetulnya, kamu tidak perlu melakukan ini demi Lusi. Kita sudah ada di tahap KKSP. Kita sudah melalui masa mempertahankan Kelas Khusus ketika Mariana masuk. Jika dalam tahap ini ada lagi murid yang harus dipertahankan, sebetulnya menurut saya tidak perlu. Guru-guru itu tidak perlu menghalangi kelas ini karena pernah terbukti kita telah pernah mendapat 5 murid. Soal nanti sampai akhir kita hanya dapat 1 murid, sebetulnya tidak masalah. Itu seleksi alam. Makanya, sebetulnya saya tidak begitu peduli dengan guru-guru lain. Mereka terlalu mengada-ada untuk mendepak saya dari sekolah ini. Saya yakin, empat lainnya tidak akan pernah mundur lagi.”
“Tapi,” Lia ragu. Ada hal diluar itu yang membuatnya ingin melakukan ini. Karena Lusi. Iya, karena Lusi. My dearest student..
“Oke, jika kamu tetap ingin melakukan itu, silahkan. Ingat ya, jangan berhenti, sampai kamu menabrak temboknya! Itu aturan dalam setiap balapan Chicken Run. Ingat, bertahanlah, jangan mengerem duluan, sampai kamu menabrak temboknya!”
Yoshi sudah siap diatas motor milik Abdi, menunggu Lia yang akan diboncengnya. Di sebelahnya, Thoriq sudah berboncengan dengan Weni siap juga berangkat. Mereka bertiga akan mendampingi Lia, menyaksikan balapan itu.
“Yonce!” Mariana berlari menghampiri Yoshi. “Nce, Lusi itu sebetulnya cemburu sama kita, kan? Bukan karena bandana itu?”
“Enggak tahu.” Jawab Yoshi.
“Tolong bilang sama dia, kalau kita gak ada apa-apa. Ya?” Mariana menatap Yoshi, berharap.
“Gitu aja? Ada pesan-pesan lain? Mie Goreng sama Jus Jeruk?” Goda Yoshi “Ya, ntar gue bilang gitu ke dia.”
“Ayo berangkat!” Kata Lia lalu duduk di boncengan Yoshi.
“Kalian semua, hati-hati, ya!” Ujar Mariana pada semua, tapi tatapannya tetap ke Yoshi. Mereka berempat berangkat dan Mariana kembali ke Kelas Khusus. Dalam kelas, Mariana lebih banyak diam. Dia merasa jadi orang paling munafik saat ini, karena ketika melepas Yoshi pergi tadi dan menyuruhnya bilang pada Lusi bahwa mereka ‘gak ada apa-apa’, ada sebagian dirinya yang hilang dan hampa. Seperti tidak yakin, jika diantara dia dan Yoshi memang tidak ada apa-apa.
Mereka tiba di tempat yang ditentukan. Di sebuah jalan perlintasan yang sepi dan lurus, di dekat sebuah perumahan baru daerah Batununggal yang jauh darimana-mana. Dari tempat mereka berdiri sekarang, terlihat mobil berseliweran di atas jalan tol. Para anggota genk the pinky sweety sudah menunggu, begitu juga Lusi.
Yoshi menyerahkan motor Abdi untuk dipakai Lia dan menatap gurunya itu dengan perasaan campur aduk.
“Hati-hati, ya..” Ucapnya lirih.
Lia membawa motor itu sampai ke garis start yang ditentukan. Lawannya, sudah menggerung-gerung motornya hingga asapnya mengepul. Motor dia matic, sedangkan Lia, motor bebek biasa yang memakai gigi. Entahlah, pikir Lia. Yang penting aku akan berusaha, katanya dalam hati. Weni bersembunyi di balik badan Thoriq karena ngeri melihat Lia akan bertanding.
“Siaaaapp!!” Kata seorang anak genk memberi komando. “GO!!”
Dan balapan dimulai. Lawan Lia yang memakai motor matic melaju duluan, sementara, Lia melaju lambat karena memakai perseneling.
Lia memusatkan pikiran untuk tidak oleng dan jatuh seperti pada saat latihan. Perlahan laju motornya bertambah dan bertambah. Di depannya ada sawah membentang. Rupanya ini jalan yang belum jadi. Terngiang perkataan Abdi:
“Bertahan, jangan mengerem sampai menabrak tembok. Bertahan, bertahan…”
Lia menambah gas. Lawannya di depan sana sudah berhenti tepat di garis jalan yang belum jadi.
“Bertahan…Bertahan…Jangan mengerem. Tapi, MANA TEMBOKNYAA????”
Lia terus melaju dan melayang, kemudian terlempar ke sawah berlumpur. Semua yang menyaksikan kaget dan berhamburan berlari. Lusi menutup mulutnya.
“Astaga, Bu Lia!!”
“LIA!!”
Yoshi, Thoriq dan Weni berlarian menghampiri. Lia merangkak keluar dari lumpur sementara motor Abdi berada sepuluh meter tak jauh darinya. Kakinya serasa patah.
Yoshi turun ke sawah untuk menolong Lia.
“Kamu kenapa enggak ngerem??” Tanya Yoshi. Sementara semua anggota genk mentertawainya.
“Ya, ampun! Kenapa dia sampai jatuh ke sawah? Benar-benar bodoh!”
“HAHAHA..”
“Gimana Lus? Guru lo ini gak tau aturan main.”
“Dia kalah!”
“Selamat! Lo tetap di genk ini, Lus!”
“Tidak. Sayalah yang menang,” Kata Lia “Aturannya, yang pertama menginjak rem yang kalah. Ya, kan? Saya tidak mengerem samasekali sampai sawah itu menghentikan saya.”
Semua anggota genk terdiam. Benar juga. Lusi menghampiri Lia.
“Kenapa, Bu? Kenapa Ibu lakukan ini untuk saya?” Tanya Lusi. “Bu, meski saya gak masuk kelas itu lagi, kan gak ada pengaruhnya apa-apa sama Ibu. Kelas itu juga akan tetap jalan tanpa saya. Ya, kan?”
Lia tersenyum meski badannya serasa rontok dan patah semua.
“Karena kamu murid saya, Lusi. Saya sudah terlanjur jatuh cinta sama kalian berempat. Saya ingin sekali, apapun caranya, kalian berempat tambah Mariana, bisa sukses.” Jawabnya lalu menatap murid-muridnya. Bibir Lusi bergetar menahan tangis yang akan pecah. Dia terharu sekali mendengar Lia ngomong begitu. Perempuan ini meski tampaknya polos dan lugu, tapi hatinya tulus. Lusi tidak akan melupakan kejadian ini seumur hidupnya.
“Lia, nih pakai,” Yoshi menyodorkan tisu basah.
“Heh, kamu udah siapkan ini?” Tanya Lia.
“Perasaan saya gak enak aja jadi saya siapin.” Jawab Yoshi.
“Oke, Lusi, kita kembali ke sekolah!!” Teriak Thoriq dan Weni bersamaan.
“Maaf ya teman-teman, saya harus kembali ke sekolah. Perjanjiannya kan seperti itu.” Lusi berpamitan pada teman-temannya yang memandangnya kecewa. Merekapun pulang.
“Lusi, heh, dengar, ya!” Kata Yoshi di perjalanan pulang “Sekali lagi gue tegasin: Gue sama Mariana gak ada apa-apa. Awas kalo lo berbuat aneh-aneh lagi, sampai merugikan orang lain kayak gini.”
“Abis lo gak pernah romantis ke gue, gak seperti ke dia.”
“Kapan gue romantis ke dia? Lagian, tindakan gue nyusulin lo ke klub itu kurang romantis apa?”
“Oke, oke, gue percaya.” Tukas Lusi, sambil melirik ke arah Yoshi, lalu tersenyum. Yoshi mengacak rambutnya.
*
Menjelang siang, Yoshi, Thoriq, Weni dan Lusi kembali ke kelas khusus. Disana, Mariana masih duduk tenang mengerjakan soal dan latihan-latihan. Abdi dan Pak Del menatap mereka.
“Oh, kamu kembali, Lusi? Gimana, mood kamu sudah baikan, setelah kemarin pundung[2]?” Tanya Abdi. Lusi tertawa,
“Ya, Pak! Saya telah menemukan hal menarik tadi dari Bu Lia,” Jawabnya.
“Baik,” Kata Abdi “Sekarang semua duduk. Khusus Lusi, saya akan memberi soal dobel sebagai ganti tiga hari kemarin kamu gak masuk kelas ini. Nih!” Abdi menyodorkan satu bundle kertas berisi soal-soal pada Lusi.
“Bukan Lusi saja, semua juga harus mengerjakan.”
“HAAAH??”
“Tanggung jawab bersama. Solidaritas.” Kata Abdi.
Mariana menoleh pada Lusi dan memberikan buku catatan.
“Nih, buat lo. Gue mencatat semua materi selama lo gak masuk. Silahkan dipelajari.”
Lusi menerimanya, lalu tersenyum.
“Thanks.”
Thoriq dan Weni melihat gencatan senjata itu dengan hati lega. Selega-leganya. Mereka berdoa, semoga Mariana dan Yoshi bisa menjaga perasaan Lusi, dengan tidak bertindak konyol seperti kemarin-kemarin.
Tak lupa, Pak Del memasangkan bandana bodoh di kepala Lusi sebagai orang terakhir yang harusnya memakai ini, sebelum Lusi memutuskan keluar kemarin.
Dan, Lia menatap Abdi dan murid-muridnya sambil tersenyum. Ada kebanggaan dalam hati ketika dia berhasil untuk keep going until hit the wall. Karena, dia tidak ingin kehilangan mereka. Murid-murid yang telah membuatnya jatuh hati.
**