Airmata Para Idiot
Kurang lebih satu setengah jam dihajar soal-soal, akhirnya mereka keluar dari GOR. Mariana melipat kertas jawaban yang disalinnya tadi seraya melihat ke depan. Kru TWIN TV sudah menanti mereka. Mariana meraba perutnya. Lapar. Rencananya, mereka akan ke sekolah dulu, sebelum pulang. Pak Abdi dan empat guru luar biasa sudah menunggu di kelas untuk evaluasi.
“Gue lapar, Yosh..” Gumam Lusi.
“Sama.” Yoshi melirik kru TV yang terus mengejar mereka dan tentu saja, Rafika, si presenter cerewet itu, terus saja menginterogasi seputar try out yang baru saja mereka jalani.
“Kita ke Selasih dulu, yuk. Makan. Kalian pasti pada lapar, kan? Jangan kuatir deh bayarnya, on me!” Kata Lusi.
“Thor, Lusi bener. Abis ini kan kita ke sekolah lagi. Kita udah janji mau mau evaluasi sama Pak Abdi.” Bisik Yoshi ke Thoriq. Thoriq manggut-manggut dan meneruskan pesan Yoshi tadi kepada yang lain. Mereka harus makan dulu sebelum ke sekolah.
“APA? Kalian mau evaluasi setelah ini, tapi sebelumnya mau makan dulu?” Rafika mendengar rupanya.
“Yaaa, begitulaah!!”
Thoriq menutup mulutnya karena merasa salah omong.
Di Selasih, Rumah Makan berkonsep taman, yang tidak jauh dari GOR Citra dibanjiri kru TV dan para fans murid-murid kelas khusus. Anak-anak Kelas Khusus itu berusaha makan setenang mungkin, meski sebetulnya tidak tenang. Mereka makan, sambil sesekali melayani permintaan mereka untuk tanda tangan juga foto bersama.
“Jangan lupa tag foto saya di FB kalian ya..” Pesan Thoriq. Mereka menjerit-jerit.
“Wha! Kakak punya FB? Add saya dooong. Nama FB Kak Thoriq apa??”
“Gue benar-benar gak tenang,” Keluh Lusi, lalu meletakkan sendoknya. Napsu makannya hilang.
*
Di gerbang sekolah, Rafika Asmara dan kru Mata Telinga Rafika sudah menunggu mereka. Begitupun dengan para guru SMA BS yang sedari awal menyenangi ide peliputan reality show ini.
“Pemirsa, sekarang, Yoshi, Thoriq dan lainnya sudah kembali ke sekolah. Setelah tadi sempat makan dulu, sekarang, mereka akan menemui Pak Abdi, untuk evaluasi hasil dari try out ini. Penasaran, kan, dengan hasil try out mereka? Makanya, ayo deh Pemirsa, ikuti saya teruusss..Yuuukk..”
Keenam murid kelas khusus masuk kelas. Di dalam sana, sudah menunggu Abdi, empat guru luar biasa dan Lia Dahlia. Guru-guru SMA BS yang lain hanya bisa manyun ketika kru TWIN TV melarang mereka masuk kelas karena alasan sempit. Batal deh wajah mereka nampang di TV. Padahal, mereka bela-belain datang ke sekolah meskipun ini hari Minggu.
“Weitss!” Thoriq hampir terjengkang melihat empat punggawa guru ada juga dalam kelas itu. “Apa Anda semua juga fans kami, hingga perlu menyambut kami seperti ini?”
“Bodoh! Jangan konyol!” Sergah Abdi “Semuanya sekarang, duduk!”
Mereka menempati bangkunya masing-masing.
“Satu hal lagi yang musti kalian tahu: Pukullah besi selagi panas!” Lanjut Abdi, lalu berdiri di depan kelas.
“Maksudnyaaa?”
“Maksudnya,” Sambar Pak Ohm “Mumpung masih panas, masih mengepul-ngepul, kami akan segera mengevaluasi hasil try out kalian hari ini. Kalian menyalin jawaban kalian kan tadi?”
Semua mengangguk, mengeluarkan kertas jawaban mereka dan menyerahkan pada Pak Ohm.
“Tujuannya adalah, kami akan menemukan titik lemah kalian, dan menguatkannya!” Seru Pak Del.
“Mana kertas soalnya, Yosh?” Abdi meminta pada Yoshi, kemudian melirik pada kru TV.
“Kalian, silahkan ambil gambarnya. Tapi tidak usah ada omongan dari presenter berisik itu!” Kata Abdi menunjuk Rafika. Rafika diam, dan merasa tidak nyaman. Ya, hal yang paling membuatnya tidak nyaman adalah ketika disuruh diam.
“Jadi, bagaimana kalian mengerjakannya?”
“Yaa, kayak gitu deh, Pak.” Yoshi menjawab tak acuh.
“Bisa. Saya sih yakin bisa.” Thorik menimpali.
“Bagus, dong. Saya harap hasilnya juga bagus.” Ujar Abdi, lalu melihat empat punggawa guru yang sedang memeriksa hasil jawaban mereka. Kru Tv menyorot mereka satu satu.
“Saya juga sih, Pak, saya berhasil menyelesaikan semuanya.” Sambung Mariana. Lusi, Weni dan Raffa mengangguk-angguk setuju.
“Syukurlaaahh!” Lia berteriak exited, kemudian mengambil sikap sempurna lagi karena sadar, dirinya sedang disorot kamera.
Sepuluh menit kemudian, mereka selesai memeriksa. Tapi wajah-wajah itu menunjukkan ketidakpuasan. Semua mulai tidak enak hati. Pak Del berdiri.
“Baik, kita mulai saja,”
“Aduh, gue gak mau dengar!” Thoriq menutup kuping.
“Tenang, kayaknya gak ada yang perlu dikuatirin!” Tukas Yoshi, lalu menyuruh mereka diam. Pak Del menulis di papan tulis. Dia menulis nama-nama murid kelas khusus dengan prosentasi. Anak-anak mengerut alis.
“Yoshi Arvin, 5%, Lusi Nareswari 5%, Mariana 5%, Weni Dyah 5%, Sherwin Raffa 5%, Thoriq Syahdan 5%. Artinya…” Kalimat Pak Del menggantung,
“Jika saya perkirakan, passing grade kalian nilainya adalah E.”
Sepi. Hanya tik tok jam dinding mendominasi ruangan. Anak-anak menelan ludah. Mereka tidak percaya. Dengan kerja sekeras itu, masa hasilnya hanya itu?
“Kalian masih jauh dari ITB. Passing grade untuk masuk kesana tinggi, nilai kalian harus lebih dari 53%.” Ujar Pak Del lagi.
“Maksudnya, mereka tidak akan lolos ITB?” Rafika bertanya.
“Kemungkinan lolos bahkan kurang dari 5%” Jawab Abdi. Pimpinan kru menyuruh kameramen mematikan kamera. Kemudian, mereka tergesa-gesa membereskan peralatan syutingnya dan buru-buru kabur dari kelas itu. Rafika berdiri di depan kelas.
“Terimakasih atas kerjasamanya selama ini. Selamat belajar!” Rafika keluar dari kelas.
“Pak Abdi,” Panggil Yoshi setelah seluruh kru dan guru-guru SMA BS pergi dari sana. “Apa maksudnya ini? Kita udah belajar kayak gitu, ini hasilnya?”
“Inilah level kalian yang sebenarnya. Saya akan lakukan re-orientasi. Kalian akan masuk camp seperti awal dulu.”
“Pak Abdi pembohong!” Teriak Weni, sambil terisak “Kata Bapak, jika kami belajar dengan cara seperti yang Bapak ajarkan, kami bisa masuk ITB. Begitu kan, Pak? Kalau begitu, saya berhenti!!”
Semua terdiam.
“Saya malu! Kalian juga semua malu, kan? Ini akan masuk berita di TV! Kita semua akan malu!!” Seru Weni. “SMA kita gak akan pernah seperti yang diharapkan. Kita memang pecundang!!”
Mariana berdiri,
“Benar.” Katanya, sambil terisak juga “Duapuluh kali ikut ujian, tetap aja nilai kita akan segitu!”
“Ndut, duduk! Apa-apaan, sih!” Yoshi menoleh pada Mariana.
“Ya, kan? Padahal, cara belajar kita sudah seperti itu. Ya, kan Pak? Kita memang mustahil masuk PTN manapun!! SAYA JUGA BERHENTI!”
Thoriq berdiri, diikuti Raffa. Yoshi melihat semua temannya berdiri, kecuali Lusi. Lusi melihat Yoshi, jika Yoshi berdiri dan menyatakan keluar dari kelas ini, dia juga akan melakukannya. Tapi, kalau Yoshi bertahan, dia juga akan bertahan.
“Nah, ini. Kalian terlalu terpaku pada apa yang kalian dengar. Kalian gak mau mempelajari kenapa kalian bisa dapat E seperti itu? Dasar, bodoh, tetaplah bodoh!” Kata Abdi. Ini diluar dugaannya. Dia mengira, anak-anak akan lebih terpacu belajar dengan diumumkannya nilai itu sekarang. Toh ini hanya try out?
“BERHENTI MENGEJEK, PAK ABDI!!” Teriak Thoriq. “CUKUP! Saya sudah tidak tahan dikatain bodoh lagi!! Sampai sejauh ini, kami sudah berjuang untuk itu. Saya sampai kurang tidur, Pak! Saya udah mengorbankan semuanya, band, teman-teman, keluarga, semuanya!! TAPI BAPAK TETAP NGATAIN SAYA BODOH???”
Badan Thoriq bergetar menahan tangis.
“Dan kamu akan berhenti, Thoriq? Membiarkan diri kamu selalu menjadi tersangka pencurian atau pemukulan?”
“MASA BODOOOOH!! Anda benar-benar tidak mengerti perasaan saya!!”
“Memangnya kamu mengharapkan apa dari try out? Ini hanya uji coba, bukan ujian yang sebenarnya. HALOOOO?? Ujian yang sebenarnya masih sekitar 6 bulan lagi. MASIH.” Ujar Abdi.
“Kalian terlalu dikuasai perasaan, makanya gak bisa berpikir logis. Makanya, kalian akan tetap bodoh seperti ini!”
“Pak Abdi, sudah cukup!” Lia menengahi.
“Tidakkah kalian semua kaget?” Pak Ohm angkat bicara. “Dengan dapat nilai 5% di try out awal ini, harusnya kalian bisa memprediksi hasil akhir nanti.”
“Kami semua disini, sudah tahu, kalian pasti akan dapat nilai itu.” Ujar Pak Del.
“HAAAAAH???”
“Tapi, kenapa kami tetap menyuruh kalian ikut try out?”
“TUNGGU!” Yoshi menyela, “Anda semua sudah tahu, kenapa tidak berbuat sesuatu? Bukannya saya pernah usul untuk mempercepat pelajaran?” Yoshi mengatur napasnya, “Satu lagi, Pak. Apa karena kami anak SMA BS dan ingin masuk ITB, maka kami jadi terlihat beneran jadi idiot? Jangan bodohi kami, Pak!”
“Udah, Yosh.” Kata Weni, sambil menangis “Gue keluar!!” Lalu pergi meninggalkan kelas. Semuanya, ikut pergi. Kecuali Lusi dan Yoshi.
“Anak-anak!” Lia berteriak “Hey, tunggu, mau kemana??”
“Lia, gak udah dikejar!” Sergah Abdi.
“Heh?”
“Jangan dikejar!!”
Abdi menatap Lusi yang tampaknya ragu akan pergi atau tidak. Setelah semua temannya pergi, Yoshi duduk lagi.
“Yoshi, lo gak ikut pergi??”
“Lusi, ini adalah hidupmu sendiri,” Ujar Abdi “Putuskanlah sendiri.”
“Pak, semuanya sudah menyerah, bagaimana ini?” Lia kebingungan.
“Ujian adalah untuk orang-orang yang tepat. Mereka yang ingin berhenti, berhentilah.”
“Pak, sudahlah! Diluar nanti, mereka akan diejek karena gagal, tidak baik menyakiti mereka terus-terusan.” Kata Lia.
“Yoshi, hari ini cukup. Kamu boleh pulang. Senin dan Selasa, kalian saya liburkan. Dua hari libur, bagus untuk refreshing. Lupakan try out ini, segarkan otakmu dengan jalan-jalan, main band atau apapun. Rabu kamu datang ke Taman Bougenville jam setengah enam, kita mulai lagi Training Camp tahap dua.”
“Cukup, Pak. Jangan permainkan kami. Kita sudah pernah Training Camp seperti itu, dan faktanya, nilainya hanya 5%.”
“Kamu jangan kuatir, training kali ini, hanya berfungsi setelah tes try out.”
“Baik,” Yoshi berdiri “Saya mungkin tidak akan datang.”
Lia hanya bisa memandang mereka dan tidak bisa mengejar karena pasti tidak akan boleh sama Abdi.
“Abdi, kali ini, kamu pasti dipecat.” Ujarnya.
“Huuft, begitulah.” Jawab Abdi sambil lalu.
*
Yoshi berbaring di rumput lapangan bola itu dan memandangi gedung apartemen yang setengah jadi. Ini hari pertama libur dari dua hari yang disuruh Abdi. Dia ingin memberitahu teman-temannya bahwa Training Camp dimulai hari Rabu. Yoshi yakin, mereka tidak keluar dan berhenti. Mereka hanya liburan. Dia ingin mengSMS mereka, tapi apa daya, monitor hapenya ngeblank seperti pikirannya yang juga ngeblank. Terlintas Mariana dalam pikirannya. Dia ingin minta tolong. Segera Yoshi bangkit dan pergi ke rumah Mariana.
*
Abdi baru saja selesai mengeprint program baru untuk Training Camp tahap 2. Dia menyerahkan satu lembar print-an pada Lia. Hanya berupa grafik yang pastinya, tidak dimengerti guru muda itu.
“Apa ini?”
“Tolong fotokopikan saja, dan serahkan kepada murid-murid Kelas Khusus.” Jawab Abdi. Lia mengerut alis.
“Ohya jangan lupa, Asisten, kasur-kasur harus dijemur, kalo enggak, baunya apek dan gak enak ditidurin.”
“Itu tugas saya juga? Astaga!!”
“Siapa lagi??”
“Oke, oke. Baiklaaaahh!!” Lia merengut “Ohya, jika nanti yang kembali ke camp hanya Lusi dan Yoshi gimana?”
“Ya gak gimana-gimana. Kenapa? Kamu kuatir banget sih sama aku? Kamu takut aku dipecat dan kamu takut aku gak ngajar disini lagi?”
“Hah! Pertanyaan itu lagi!! Saya hanya kuatir sama murid-murid!!”
“Lia, kalo di depanmu murid-murid kelaparan, sedangkan kamu hanya punya satu pancing dan kamu tahu cara mencari ikan untuk mereka. Apa yang bakal kamu lakukan?”
“Hmmmmmm…” Lia garuk-garuk kepala. “Aku bakal, memberi mereka ikan.”
“Nah!” Abdi menepuk tangannya “Itulah, kenapa kamu selalu salah. Kamu cinta sama mereka, tapi sekaligus meremehkan mereka. Kamu ragu, mereka gak akan bisa dapat ikan. Apakah kamu berencana ngasih ikan sepanjang hidup mereka? Tidak mungkin kan? Saat mereka lulus nanti, kamu akan kaget, mendapati kenyataan bahwa mereka bukan murid manismu lagi. Dunia yang lain sudah merenggutnya. Daripada ngasih mereka ikan, saran saya mending kasih saja pancingannya dan ajari mereka memancing. Suruh mereka mancing sendiri. Dapat banyak atau sedikit, itu tergantung dari usaha mereka. Jadi, kesimpulannya apa? Kita sebagai guru, hanya memberikan pancingannya. Jika mereka mau memancing atau tidak, ya itu pilihan mereka.”
Lia terdiam.
“Lia, guru yang baik, bakal berusaha, meski jika siswanya tidak bisa melakukan apapun. Dia kan terus mengajari dan mengajari dan mendukung mereka. Kasih spirit positif. Kasih semangat, bahwa mereka takkan kalah. Jangan memanjakan mereka. Biarlah mereka bisa memanjat sendiri dinding yang terjal. Ujian adalah salah satu dinding itu. Paham? Kalau sudah paham, segera fotokopiin lembar yang tadi dan bagikan pada mereka.”
*
Mariana mendengar suara-suara sumbang dari bawah sana. Di warung ramai orang membicarakan SMA BS yang dapat nilai jelek di try out. Mariana sebal sekali. Segera dia turun bermaksud membela diri.
“Sekarang kalian tahu, kan? Neng itu emang gak bakat masuk ITB segala! Saya sih hanya kasian kemarin melihatnya nangis-nangis gitu. Padahal dalam hati sih udah tahu! Hahahahaha ..”
“Bi Santi, jangan ngomong gitu, Bi..”
Ibunya Mariana menoleh. Mariana menghentikan langkah di tangga. Itu suara Yoshi.
“Eh, Yoshi, ada apa? Mau kasih uang arisan Ibu kamu? Atau mau makan? Ayo, makan aja disini. Ambil sendiri ya!”
“Kenapa Bibi tidak percaya si Ndut? Dia itu pintar, saya tahu. Dia juga udah berjuang sungguh-sungguh.”
“Yonce?” Mariana turun dari tangga.
“Ndut, ayo ikut. Gue ada perlu.”
Mariana menurut dan buru-buru mencari sandal.
“Ohya, jangan lupa bawa hape lo.”
*
Semua yang menerima SMS dari Mariana yang berbunyi: “Pesan dari Yoshi: Rabu besok jam 5.30 harap datang ke Taman Bougenville. Training camp kedua akan dimulai. Ini pesan dari Pak Abdi” langsung berkerut dahi. Pesan ini dari Yoshi, yang menyampaikan pesan Pak Abdi, dari hape Mariana. Aneh.
Aku gak akan datang, gumam Weni. Dia melemparkan hapenya dan kembali membaca majalah fashion dan sesekali stalking TL-nya Yuki Kato. Sementara itu Lusi yang sedang di Jakarta dengan kakak-kakaknya seperti diingatkan sesuatu begitu menerima SMS itu. Dia hanya bisa memendam tanya dalam hati: Haruskah memang Mariana yang bersama Yoshi, bukan aku?
Sementara itu, disisi kota yang lain.
“Oi, Thoriq!” Panggil Abdi ketika ketemu anak band itu di depan supermarket.
“Oh, Pak Abdi, ngapain Pak?”
“Beli rokok. Ohya, kamu punya korek?”
“Dih, kenapa gak beli sekalian di dalam?”
“Uang saya cuma cukup buat beli rokok.”
“Gak punya, Pak. Saya gak ngerokok. Di band kami, semua sepakat untuk gak ngerokok.” Tukas Thoriq. Abdi menyeretnya untuk menepi. Dia melirik casing gitar yang dijinjing Thoriq.
“Thor, kamu udah terima soal?”
“Soal apa?”
Abdi menarik napas. Besok waktunya masuk camp, kenapa anak tengil di depannya ini belum nerima soal tentang grafik itu? Dasar, asisten gak berguna!
“Ah, sudahlah. Ohya, apa kamu tahu, apa hambatan terbesar seseorang?”
“Tauk, ah! Kenapa tiba-tiba nanya hal serius?”
“Eh saya mau cerita ya, tujuan saya adalah, membuat kalian masuk ITB. Supaya SMA BS tetap tegak berdiri. Supaya guru-guru bodoh kalian itu tetap mengajar. Karirku sebagai pengacara juga meningkat. Saat kamu masuk ITB, persepsi orang soal kamu bakalan berubah juga. Jadi akan saling menguntungkan..” Abdi tolah toleh dan menemukan seseorang yang keluar supermarket sambil merokok. Dicegatnya orang itu, kemudian pinjam koreknya. Thoriq melangkah pergi. Abdi mengikutinya.
“Artinya, kita harus saling mendukung. Tapi kehidupan biasanya gak akan membiarkan kita maju dengan mudah. Selalu saja ada yang menghalangi. Tahu gak apaan?”
Thoriq melirik gurunya itu sambil angkat bahu.
“Manusia itu seonggok daging yang gampang dihancurkan oleh perasaan! Keras kepala, cemburu, minder, pikiran-pikiran aneh, yang semuanya itu bisa bikin kita gagal. Thoriq, kendalikan perasaan itu dan yakin, itu akan menguntungkan kamu. Itu tantangannya!!”
“Pak! Stop bicara tantangan dan kemenangan. Apa pentingnya sih? Pusing saya!!”
“Hey, jalan hanya terbuka buat pemenang saja! Gak ada jalan untuk pecundang! Kamu bisa dibilang bodoh dan disingkirkan masyarakat, tapi kalo kamu berusaha dan dapat hasil bagus, kamu bisa menaklukkan mereka! Perlu ujian untuk itu. Saat kamu lulus, percayalah, lingkunganmu akan berubah. Semuanya!!”
Thoriq menatap gurunya itu.
“Makanya, jangan jadi bodoh yang membiarkan peluangnya hilang gara-gara menuruti perasaanmu.”
Sebuah angkot berhenti tepat di dekat mereka dan turunlah sesosok perempuan yang sangat mereka kenal. Lia Dahlia.
“AKHIRNYAA!!” Teriak Lia bahkan kakinya belum menyentuh tanah. “Thoriq!”
Lia lari mendekati mereka sambil menyodorkan kertas berisi grafik itu. Thoriq menerima dan membacanya.
“Apaan, nih, Pak?”
Abdi hanya tersenyum.
*
Rabu pagi jam 5.25. Abdi dan Lia sudah menunggu di Taman Bougenville. Belum satupun murid yang datang. Lia bilang ini akan gagal.
“Belum. Belajar itu seperti obat. Ketika kamu dikasih soal yang tidak kamu mengerti, perasaanmu akan tidak enak dan kamu pasti akan sakit.”
“Punya analogi yang lebih baik, gak? Kenapa musti obat dan sakit?”
“Enggak.” Abdi cuek sambil membenahi batu bata yang akan dia jadikan track untuk jalan cepat. Lia menoleh dan melihat Yoshi! Dia datang dengan wajah kucel habis bangun tidur.
“Hey, Yoshi! Aduh, syukur deh kamu datang! Mana yang lain??” Lia senang banget Yoshi muncul.
“Hmmm,”
“Hmmm kenapa?”
“Saya sih udah SMS, udah ngomong juga ke yang lain. Tapi,..” Yoshi mengangkat bahu.
“Satu menit lagi menuju 5.30!” Seru Abdi. “Yoshi, sin pangkat dua X sama dengan?”
“Dua sin x cos x” Jawab Yoshi mantab.
“Tangen X sama dengan?”
“Satu per cos pangkat dua X!”
“Dua pangkat X?”
“Log dua di kali dua pangkat X”
Lia menginterupsi, “Kalian nih ngapain, sih? Kok malah…”
“X pangkat 3?”
“Enam X”
“BAGUS!” Puji Abdi.
“Gimana dengan grafik ini?” Tanya suara Thoriq dan semuanya menoleh. Lia sumringah. Tidak hanya Thoriq, tapi keempat temannya yang lain juga ada disana. Mereka sudah siap dengan ransel di pundak, mau ikutan Training Camp tahap dua.
“Kalian telat satu menit!” Seru Abdi.
“Enggak, menurut jamnya Raffa ini tepat 5.30!” Balas Mariana.
“Menurut jam saya, kalian telat!”
“Salah, jam Bapak Rolex palsu! Punya Raffa asli!” Samber Mariana lagi.
“UDAH! Yang penting kan mereka udah datang!” Potong Lia.
“Eeee, saya datang bukan karena ingin!” Kata Weni.
“Sama, karena saya gak ngerti soal grafik ini,” Balas Thoriq.
“Kalau saya, karena di rumah banyak tekanan, mending camping aja deh disini,” Jawab Raffa.
“Kalau saya hanya ingin cari Yoshi,” Tutur Lusi.
“Hah?” Yoshi melotot “Alasan apa itu?”
“Ayo! Training Camp tahap dua, akan segera dimulai. Taro semua tas kalian di Aula. Setelah itu, kita kembali ke sini dan mulai Study Tournya.” Abdi berdiri.
“Tunggu!” Mariana menginterupsi “Saya belum memutuskan ikut ini atau enggak.”
Semua mengangguk,
“Sama. Saya hanya jengkel dengan soal grafik ini,” Sambung Thoriq.
“Nah, saya bilang tadi, kalian bersiap dulu. Setelah itu, kita pergi ke tempat Study Tour!” Jawab Abdi.
“HAAAAH?”
“SEKARANG!!”
*
Mereka tiba di jalan Ganesha. Dengan bermalasan-malasan mereka mendekati gerbang ITB.
“Inilah gerbang yang dimaksud! Kalian lihat pohon Bougenville yang lebat itu!” Ujar Abdi.
“Whaaa!!” Teriak Thoriq “Gue sering lihat di belakang sekolah!! Tapi yang di sekolah masih imut.”
“Gerbangnya kuno, ya?” Gumam Raffa.
“Yoshi, kita foto-foto, yuk!” Lusi mengeluarkan handphonenya.
“Oke, cukup melihat-lihatnya. Sekarang kita masuk!” Seru Abdi dan berjalan mendahului. Anak-anak ternganga melihat kampus besar yang tertata asri itu. Sepertinya berbagai jenis pohon dan bunga-bungaan ada disini. Termasuk Bougenville.
“Jadi inikah ITB itu?” Thoriq menggumam.
“Ayo, kita jalan sampai ke dalam sana. Ada sesuatu yang saya mau tunjukkan ke kalian.” Ujar Abdi.
“Ini namanya Plawid, Plaza Widya Nusantara. Kalian lihat kolam bulat itu?” Tunjuk Abdi, “Longoklah ke dasarnya, ada apa disana?”
Anak-anak berlari dan melongokkan kepalanya. Karena airnya sedikit keruh, mereka kurang bisa tahu apa yang ada disana. Tapi, sepertinya ada bayangan peta.
“Saya tahu. Itu peta Indonesia! Dari Merauke, sampai Sabang.” Jawab Yoshi.
“Betul. Kolam ini dinamai Intel, atau Indonesia Tenggelam.”
Anak-anak tersenyum.
“Dulu, waktu jaman saya, air mancur terbesarnya, muncul dari kota Bandung, memancar ke atas sejauh dua meter.” Jelas Abdi, kemudian menunjuk ke sebuah monumen.
“Sekarang baca tulisan yang ada di monumen itu,”
Anak-anak berlari lagi, untuk membaca tulisan di monumen berbentuk mirip piringan hitam di dekat kolam, yang ditunjuk Abdi.
“Sekali teman tetap teman…” Desis mereka membaca tulisan disana. Abdi tersenyum, kemudian menghampiri murid-muridnya.
“Ini Friendship Monument, Anak-anak!” Tukas Abdi. “Semua yang pernah diterima di kampus ini, akan menjadi teman selama-lamanya, meski kalian DO, putus kuliah ataupun lulus dengan gemilang. Tidak ada bekas teman dalam kampus ITB.”
Anak-anak termenung. Tiba-tiba dada mereka bergemuruh kencang.
“Tapi rasanya tidak mungkin,…” Raffa mendesis.
“Ini namanya afirmasi atau penegasan, bahwa kalian ingin sekali masuk sini dan akan terwujud suatu saat nanti. Ini sangat penting untuk mendukung pencapaian cita-cita.” Kata Abdi. “Beberapa detik yang lalu, kalian takkan pernah terpikir benar-benar akan masuk ITB. Sekarang bagaimana? Bisa bayangkan, tahun depan kalian akan berjalan di tempat ini.”
“Tapi, kenyataannya, kami hanya dapat nilai 5%” Kata Raffa. Abdi mengeluarkan kertas dari sakunya. Kertas soal grafik itu.
“Nah, jawabannya ada disini. Yoshi, tolong beri tahu jawabannya.”
“Kenapa kudu saya sih, Pak!”
“Kamu gak tahu?”
“Grafik itu,” Jawab Yoshi sebelum dikatain bodoh lagi “..dimulai dari nomor 4, naik sampai 12 dan menjadi 1. Itu angka bulan. Ya kan?”
Abdi mengangguk.
“Ooooh, begituuu.” Seru yang lain.
“Garis vertikal, tertinggi 80, terendahnya 30. Jadi,..”
“Oh, ngerti! Itu nilai kami, kan?” Sambar Weni.
“Lalu, arti dua garis ini apa Yosh?” Tanya Abdi.
“Nah, itu yang saya gak ngerti.”
“Payah! Oke, saya kasih petunjuk,” Abdi melipat kertas itu dan,
“Mahasiswa ITB! Selamat pagi! Kenalkan nama saya Abdi Wiriaatmadja dan enam anak di depan saya ini adalah murid-murid SMA Bhinekka Sentausa yang terkenal nakal dan bodoh. Nilai mereka rata-rata hanya 3. ”
“HAAAAHH…” Anak-anak mengerut alis. Lia maju mau protes.
“Mahasiswa ITB semuanya, dengar saya. Tahun ajaran baru nanti, para idiot ini akan ikut SNMPTN dan akan masuk ITB…”
“Pak Abdi, tolong hentikan. Anak-anak akan malu!!” Kata Lia.
“Adakah diantara kalian, yang punya nilai kurang dari 50, ketika kalian di SMA?? Jika ada, tolong tunjukkan dirimu di depan anak-anak bodoh ini. Tolong angkat tangan kalian dan menghadap ke depan saya.”
Semua terdiam dan hanya menatap gerombolan Abdi.
“MUSTAHIL!” Seru Yoshi.
“Gak akan ada, Pak!” Samber Mariana. Abdi tersenyum.
“Mariana, dan semua yang tidak percaya, tengok ke belakang kalian sana!” Abdi menunjuk dengan dagunya. Anak-anak menoleh dan terganga. Ada dua orang mahasiswa menunjuk tangannya. Setelah itu, di penjuru lain, ada beberapa orang juga menunjuk tangan. Abdi menunjuk tiga orang mahasiswa untuk menghadapnya. Dua cowok, satu cewek.
“Terimakasih sebelumnya,” Kata Abdi “Tapi maukah kalian sharing sedikit pada kami?”
“Gak masalah, Pak!” Jawab si mahasiswa.
“Berapa nilai kalian waktu di SMA?”
“Hm, sekitar 53-an Pak,” Jawab mahasiswa yang memakai baju kotak-kotak.
“Saya 48,” Jawab mahasiswa yang pakai kaos ‘SWEDEN’.
“Saya malah 47,” Jawab mahasiswi sambil senyum malu.
“Tapi, buktinya, kalian sukses masuk ITB, kan?” Abdi bertanya pada ketiga mahasiswa itu.
“Ya, begitulah..”
“Saya tahu. Tak seperti orang gagal, seorang yang berhasil, pasti memiliki impian. Jadi, saat tahu nilai kalian segitu, kenapa kalian tetap ingin masuk Institut ini?”
“Saya masih punya banyak semangat, Pak.” Tutur si kotak-kotak. “Saya tidak pernah capek berusaha. Saya ingin masuk ITB. Benar, ketika berhasil masuk sini, semuanya berubah!”
Kalimat itu di-iya-kan oleh kedua orang yang lain.
“Oke, terimakasih banyak, maaf mengganggu waktu kalian.”
“Sama-sama, Pak!”
Mereka bertigapun bubar. Abdi menoleh pada murid-muridnya.
“Nah, apakah kalian mengerti sekarang? Gambar grafik ini adalah peningkatan nilai kalian untuk masuk ITB. Hasil try out hanya menggambarkan jika ujian dilakukan sekarang. Jadi, mereka yang ingin dapat nilai bagus harus memiliki ‘Power of Study’ yang lebih sampai sebelum bulan Mei.”
“Power of Study?” Lia menggumam.
“Iya, seperti olahraga, power dan stamina itu penting, Lia. Power juga penting dalam belajar. Dengar, Anak-anak! Jika kalian terus berusaha, dengan seluruh kekuatanmu, maka hasilnya akan merangkak naik. TAPI, jika hasil kalian seperti grafik yang lurus, mustahil akan berhasil. Kalau kalian terus melihat ke atas, kalian akan lupa apa yang terjadi di bawah. Sekarang, kalian harus menguatkan titik lemah kalian, dan berusaha sebaik mungkin, hingga kenyataan akan menjadi kenyataan.”
“Halah, seperti biasa, Bapak berbohong seperti penjahat!” Tukas Yoshi.
“Terserah, saya hanya bicara yang sebenarnya. Kamu Weni, Raffa, Lusi, Thoriq, Mariana dan kamu Yoshi, buatlah hasil kalian seperti grafik melengkung, dan bulan Agustus nanti, pastikan kalian akan menjadi mahasiswa ITB, seperti mereka!! Kalian akan berjalan di kampus ini dengan perasaan yang sulit kalian ungkapkan!!”
Anak-anak sekali lagi terdiam dan tanpa sadar, airmata menggenang di pelupuk mata.
*
Dua minggu kemudian, hasil tes try out yang mereka ikuti kemarin sudah datang ke sekolah. Meski sudah tahu hasilnya, tetap saja Abdi ingin membagikan hasil itu kepada mereka. Lagipula, selama training camp dua minggu kemarin, mereka tampak sudah tidak peduli dengan hasil try out. Semuanya lancar-lancar saja.
“Baik, saya akan bagikan hasil try out kemarin.”
Anak-anak membuka amplop berisi hasil itu dengan ogah-ogahan. Hasilnya, memang betul, peluang mereka untuk tembus PTN yang dikehendaki, hanya 5% saja.
“Benar, kan? Gak ada yang berubah disini,” Ujar Yoshi, manyun.
“Peluang masuk hanya 5%.” Tambah Mariana.
“Terimakasih atas pemberitahuannya.” Timpal Thoriq.
Weni dan Lusi malah langsung melipat lagi surat itu, sambil merengut. Hanya Raffa yang masih memandangi kertas itu tanpa berkedip.
“Oke, sudahlah…” Kata Yoshi “Mulai Januari, nilai kudu kita genjot!”
“Genjot? Emangnya becak??” Thoriq mengejek. Yoshi melemparnya dengan tip-ex.
“Kalau hasilnya tetap E gini gimana?” Mariana bertanya dengan suara lirih.
“Tenang, Ndut, semuanya akan baik-baik saja. Everything is under control, right??” Thoriq berusaha menghibur.
“Ih, kok lo jadi ikutan panggil Ndut, sih?” Mariana menoleh pada Thoriq.
“Kalo gue gak bisa tenang. Masalahnya Yeni sepupu gue yang punya ide sialan bikin Reality Show itu dan si Rafika cewek sok artis itu terus menerus SMS gue, mengejek dan meremehkan kita!” Kata Weni.
“Betul,” Mariana menimpali “Ikut ujian berapa kali juga, gak ada jaminan hasil kita akan meningkat,”
“Optimis dong, Ndut!” Yoshi menyentak, hingga Mariana menoleh.
“Oh, Tuhan, berkatilah usaha kami…” Thoriq berdoa.
Lusi yang duduk sebelah Raffa heran melihat anak culun itu terus-terusan melihat kertas hasil try out tanpa kedip. Dia mendekat dan melotot melihatnya.
“HAH?? Raffaaa…!!”
Semua menoleh.
“Kenapa??”
“Dia, dapat…”
Abdi mendekat dan meminta kertas itu dari tangan Raffa, lalu tersenyum.
“Ternyata,…”
“Kenapa, sih??”
Semua mendekati Raffa dan rebutan melihat kertas itu.
“HAH? Peluang dia 20%??!!”
“KEREEENNNN!!”
“Wah, selamat, Raffa!!”
“Kita hanya beda point 15% aja! Berarti kita juga udah dekat. Kita juga bisa!!” Teriak Weni, yang lain mengangguk setuju.
Raffa hanya tersenyum kecil dan hidungnya kembang kempis. Dia juga tidak percaya.
“Oke,” Abdi menatap murid-muridnya “Sekarang, lupakan try outnya dan kita konsentrasi untuk ulangan umum.”
**