Posts Tagged ‘yamapi’

Gambar

Airmata Para Idiot

Kurang lebih satu setengah jam dihajar soal-soal, akhirnya mereka keluar dari GOR. Mariana melipat kertas jawaban yang disalinnya tadi seraya melihat ke depan. Kru TWIN TV sudah menanti mereka. Mariana meraba perutnya. Lapar. Rencananya, mereka akan ke sekolah dulu, sebelum pulang. Pak Abdi dan empat guru luar biasa sudah menunggu di kelas untuk evaluasi.

“Gue lapar, Yosh..” Gumam Lusi.

“Sama.” Yoshi melirik kru TV yang terus mengejar mereka dan tentu saja, Rafika, si presenter cerewet itu, terus saja menginterogasi seputar try out yang baru saja mereka jalani.

“Kita ke Selasih dulu, yuk. Makan. Kalian pasti pada lapar, kan? Jangan kuatir deh bayarnya, on me!” Kata Lusi.

“Thor, Lusi bener. Abis ini kan kita ke sekolah lagi.  Kita udah janji mau mau evaluasi sama Pak Abdi.” Bisik Yoshi ke Thoriq. Thoriq manggut-manggut  dan meneruskan pesan Yoshi tadi kepada yang lain. Mereka harus makan dulu sebelum ke sekolah.

“APA? Kalian mau evaluasi setelah ini, tapi sebelumnya mau makan dulu?” Rafika mendengar rupanya.

“Yaaa, begitulaah!!”

Thoriq menutup mulutnya karena merasa salah omong.

Di Selasih, Rumah Makan berkonsep taman, yang tidak jauh dari GOR Citra dibanjiri kru TV dan para fans murid-murid kelas khusus. Anak-anak Kelas Khusus itu berusaha makan setenang mungkin, meski sebetulnya tidak tenang. Mereka makan, sambil sesekali melayani permintaan mereka untuk tanda tangan juga foto bersama.

“Jangan lupa tag foto saya di FB kalian ya..” Pesan Thoriq. Mereka menjerit-jerit.

“Wha! Kakak punya FB? Add saya dooong. Nama FB Kak Thoriq apa??”

“Gue benar-benar gak tenang,” Keluh Lusi, lalu meletakkan sendoknya. Napsu makannya hilang.

*

            Di gerbang sekolah, Rafika Asmara dan kru Mata Telinga Rafika sudah menunggu mereka. Begitupun dengan para guru SMA BS yang sedari awal menyenangi ide peliputan reality show ini.

“Pemirsa, sekarang, Yoshi, Thoriq dan lainnya sudah kembali ke sekolah. Setelah tadi sempat makan dulu, sekarang, mereka akan menemui Pak Abdi, untuk evaluasi hasil dari try out ini. Penasaran, kan, dengan hasil try out mereka? Makanya, ayo deh Pemirsa, ikuti saya teruusss..Yuuukk..”

Keenam murid kelas khusus masuk kelas. Di dalam sana, sudah menunggu Abdi, empat guru luar biasa dan Lia Dahlia. Guru-guru SMA BS yang lain hanya bisa manyun ketika kru TWIN TV melarang mereka masuk kelas karena alasan sempit. Batal deh wajah mereka nampang di TV. Padahal, mereka bela-belain datang ke sekolah meskipun ini hari Minggu.

“Weitss!” Thoriq hampir terjengkang melihat empat punggawa guru ada juga dalam kelas itu.  “Apa Anda semua juga fans kami, hingga perlu menyambut kami seperti ini?”

“Bodoh! Jangan konyol!” Sergah Abdi “Semuanya sekarang, duduk!”

Mereka menempati bangkunya masing-masing.

“Satu hal lagi yang musti kalian tahu: Pukullah besi selagi panas!” Lanjut Abdi, lalu berdiri di depan kelas.

“Maksudnyaaa?”

“Maksudnya,” Sambar Pak Ohm “Mumpung masih panas, masih mengepul-ngepul, kami akan segera mengevaluasi hasil try out kalian hari ini. Kalian menyalin jawaban kalian kan tadi?”

Semua mengangguk, mengeluarkan kertas jawaban mereka dan menyerahkan pada Pak Ohm.

“Tujuannya adalah, kami akan menemukan titik lemah kalian, dan menguatkannya!” Seru Pak Del.

“Mana kertas soalnya, Yosh?” Abdi meminta pada Yoshi, kemudian melirik pada kru TV.

“Kalian, silahkan ambil gambarnya. Tapi tidak usah ada omongan dari presenter berisik itu!” Kata Abdi menunjuk Rafika. Rafika diam, dan merasa tidak nyaman. Ya, hal yang paling membuatnya tidak nyaman adalah ketika disuruh diam.

“Jadi, bagaimana kalian mengerjakannya?”

“Yaa, kayak gitu deh, Pak.” Yoshi menjawab tak acuh.

“Bisa. Saya sih yakin bisa.” Thorik menimpali.

“Bagus, dong. Saya harap hasilnya juga bagus.” Ujar Abdi, lalu melihat empat punggawa guru yang sedang memeriksa hasil jawaban mereka. Kru Tv menyorot mereka satu satu.

“Saya juga sih, Pak, saya berhasil menyelesaikan semuanya.” Sambung Mariana. Lusi, Weni dan Raffa mengangguk-angguk setuju.

“Syukurlaaahh!” Lia berteriak exited, kemudian mengambil sikap sempurna lagi karena sadar, dirinya sedang disorot kamera.

Sepuluh menit kemudian, mereka selesai memeriksa. Tapi wajah-wajah itu menunjukkan ketidakpuasan. Semua mulai tidak enak hati. Pak Del berdiri.

“Baik, kita mulai saja,”

“Aduh, gue gak mau dengar!” Thoriq menutup kuping.

“Tenang, kayaknya gak ada yang perlu dikuatirin!” Tukas Yoshi, lalu menyuruh mereka diam. Pak Del menulis di papan tulis. Dia menulis nama-nama murid kelas khusus dengan prosentasi. Anak-anak mengerut alis.

“Yoshi Arvin, 5%, Lusi Nareswari 5%, Mariana 5%, Weni Dyah 5%, Sherwin Raffa 5%, Thoriq Syahdan 5%. Artinya…” Kalimat Pak Del menggantung,

“Jika saya perkirakan, passing grade kalian nilainya adalah E.”

Sepi. Hanya tik tok jam dinding mendominasi ruangan. Anak-anak menelan ludah. Mereka tidak percaya. Dengan kerja sekeras itu, masa hasilnya hanya itu?

“Kalian masih jauh dari ITB. Passing grade untuk masuk kesana tinggi, nilai kalian harus lebih dari 53%.” Ujar Pak Del lagi.

“Maksudnya, mereka tidak akan lolos ITB?” Rafika bertanya.

“Kemungkinan lolos bahkan kurang dari 5%” Jawab Abdi. Pimpinan kru menyuruh kameramen mematikan kamera. Kemudian, mereka tergesa-gesa membereskan peralatan syutingnya dan buru-buru kabur dari kelas itu. Rafika berdiri di depan kelas.

“Terimakasih atas kerjasamanya selama ini. Selamat belajar!” Rafika keluar dari kelas.

“Pak Abdi,” Panggil Yoshi setelah seluruh kru dan guru-guru SMA BS pergi dari sana. “Apa maksudnya ini? Kita udah belajar kayak gitu, ini hasilnya?”

“Inilah level kalian yang sebenarnya. Saya akan lakukan re-orientasi. Kalian akan masuk camp seperti awal dulu.”

“Pak Abdi pembohong!” Teriak Weni, sambil terisak “Kata Bapak, jika kami belajar dengan cara seperti yang Bapak ajarkan, kami bisa masuk ITB. Begitu kan, Pak? Kalau begitu, saya berhenti!!”

Semua terdiam.

“Saya malu! Kalian juga semua malu, kan? Ini akan masuk berita di TV! Kita semua akan malu!!” Seru Weni. “SMA kita gak akan pernah seperti yang diharapkan. Kita memang pecundang!!”

Mariana berdiri,

“Benar.” Katanya, sambil terisak juga “Duapuluh kali ikut ujian, tetap aja nilai kita akan segitu!”

“Ndut, duduk! Apa-apaan, sih!” Yoshi menoleh pada Mariana.

“Ya, kan? Padahal, cara belajar kita sudah seperti itu. Ya, kan Pak? Kita memang mustahil masuk PTN manapun!! SAYA JUGA BERHENTI!”

Thoriq berdiri, diikuti Raffa. Yoshi melihat semua temannya berdiri, kecuali Lusi. Lusi melihat Yoshi, jika Yoshi berdiri dan menyatakan keluar dari kelas ini, dia juga akan melakukannya. Tapi, kalau Yoshi bertahan, dia juga akan bertahan.

“Nah, ini. Kalian terlalu terpaku pada apa yang kalian dengar. Kalian gak mau mempelajari kenapa kalian bisa dapat E seperti itu? Dasar, bodoh, tetaplah bodoh!” Kata Abdi. Ini diluar dugaannya. Dia mengira, anak-anak akan lebih terpacu belajar dengan diumumkannya nilai itu sekarang. Toh ini hanya try out?

“BERHENTI MENGEJEK, PAK ABDI!!” Teriak Thoriq. “CUKUP! Saya sudah tidak tahan dikatain bodoh lagi!! Sampai sejauh ini, kami sudah berjuang untuk itu. Saya sampai kurang tidur, Pak! Saya udah mengorbankan semuanya, band, teman-teman, keluarga, semuanya!! TAPI BAPAK TETAP NGATAIN SAYA BODOH???”

Badan Thoriq bergetar menahan tangis.

“Dan kamu akan berhenti, Thoriq? Membiarkan diri kamu selalu menjadi tersangka pencurian atau pemukulan?”

“MASA BODOOOOH!! Anda benar-benar tidak mengerti perasaan saya!!”

“Memangnya kamu mengharapkan apa dari try out? Ini hanya uji coba, bukan ujian yang sebenarnya. HALOOOO?? Ujian yang sebenarnya masih sekitar 6 bulan lagi. MASIH.” Ujar Abdi.

“Kalian terlalu dikuasai perasaan, makanya gak bisa berpikir logis. Makanya, kalian akan tetap bodoh seperti ini!”

“Pak Abdi, sudah cukup!” Lia menengahi.

“Tidakkah kalian semua kaget?” Pak Ohm angkat bicara. “Dengan dapat nilai 5% di try out awal ini, harusnya kalian bisa memprediksi hasil akhir nanti.”

“Kami semua disini, sudah tahu, kalian pasti akan dapat nilai itu.” Ujar Pak Del.

“HAAAAAH???”

“Tapi, kenapa kami tetap menyuruh kalian ikut try out?”

“TUNGGU!” Yoshi menyela, “Anda semua sudah tahu, kenapa tidak berbuat sesuatu? Bukannya saya pernah usul untuk mempercepat pelajaran?” Yoshi mengatur napasnya, “Satu lagi, Pak. Apa karena kami anak SMA BS dan ingin masuk ITB, maka kami jadi terlihat beneran jadi idiot? Jangan bodohi kami, Pak!”

“Udah, Yosh.” Kata Weni, sambil menangis “Gue keluar!!” Lalu pergi meninggalkan kelas. Semuanya, ikut pergi. Kecuali Lusi dan Yoshi.

“Anak-anak!” Lia berteriak “Hey, tunggu, mau kemana??”

“Lia, gak udah dikejar!” Sergah Abdi.

“Heh?”

“Jangan dikejar!!”

Abdi menatap Lusi yang tampaknya ragu akan pergi atau tidak. Setelah semua temannya pergi, Yoshi duduk lagi.

“Yoshi, lo gak ikut pergi??”

“Lusi, ini adalah hidupmu sendiri,” Ujar Abdi “Putuskanlah sendiri.”

“Pak, semuanya sudah menyerah, bagaimana ini?” Lia kebingungan.

“Ujian adalah untuk orang-orang yang tepat. Mereka yang ingin berhenti, berhentilah.”

“Pak, sudahlah! Diluar nanti, mereka akan diejek karena gagal, tidak baik menyakiti mereka terus-terusan.” Kata Lia.

“Yoshi, hari ini cukup. Kamu boleh pulang. Senin dan Selasa, kalian saya liburkan. Dua hari libur, bagus untuk refreshing. Lupakan try out ini, segarkan otakmu dengan jalan-jalan, main band atau apapun. Rabu kamu datang ke Taman Bougenville jam setengah enam, kita mulai lagi Training Camp tahap dua.”

“Cukup, Pak. Jangan permainkan kami. Kita sudah pernah Training Camp seperti itu, dan faktanya, nilainya hanya 5%.”

“Kamu jangan kuatir, training kali ini, hanya berfungsi setelah tes try out.”

“Baik,” Yoshi berdiri “Saya mungkin tidak akan datang.”

Lia hanya bisa memandang mereka dan tidak bisa mengejar karena pasti tidak akan boleh sama Abdi.

“Abdi, kali ini, kamu pasti dipecat.” Ujarnya.

“Huuft, begitulah.” Jawab Abdi sambil lalu.

*

            Yoshi berbaring di rumput  lapangan bola itu dan memandangi gedung apartemen yang setengah jadi. Ini hari pertama libur dari dua hari yang disuruh Abdi. Dia ingin memberitahu teman-temannya bahwa Training Camp dimulai hari Rabu. Yoshi yakin, mereka tidak keluar dan berhenti. Mereka hanya liburan. Dia ingin mengSMS mereka, tapi apa daya, monitor hapenya ngeblank seperti pikirannya yang juga ngeblank. Terlintas Mariana dalam pikirannya. Dia ingin minta tolong. Segera Yoshi bangkit dan pergi ke rumah Mariana.

*

            Abdi baru saja selesai mengeprint program baru untuk Training Camp tahap 2. Dia menyerahkan satu lembar print-an pada Lia. Hanya berupa grafik yang pastinya, tidak dimengerti guru muda itu.

“Apa ini?”

“Tolong fotokopikan saja, dan serahkan kepada murid-murid Kelas Khusus.” Jawab Abdi. Lia mengerut alis.

“Ohya jangan lupa, Asisten, kasur-kasur harus dijemur, kalo enggak, baunya apek dan gak enak ditidurin.”

“Itu tugas saya juga? Astaga!!”

“Siapa lagi??”

“Oke, oke. Baiklaaaahh!!” Lia merengut “Ohya, jika nanti yang kembali ke camp hanya Lusi dan Yoshi gimana?”

“Ya gak gimana-gimana. Kenapa? Kamu kuatir banget sih sama aku? Kamu takut aku dipecat dan kamu takut aku gak ngajar disini lagi?”

“Hah! Pertanyaan itu lagi!! Saya hanya kuatir sama murid-murid!!”

“Lia, kalo di depanmu murid-murid kelaparan, sedangkan kamu hanya punya satu pancing dan kamu tahu cara mencari ikan untuk mereka. Apa yang bakal kamu lakukan?”

“Hmmmmmm…” Lia garuk-garuk kepala. “Aku bakal, memberi mereka ikan.”

“Nah!” Abdi menepuk tangannya “Itulah, kenapa kamu selalu salah. Kamu cinta sama mereka, tapi sekaligus meremehkan mereka. Kamu ragu, mereka gak akan bisa dapat ikan. Apakah kamu berencana ngasih ikan sepanjang hidup mereka? Tidak mungkin kan? Saat mereka lulus nanti, kamu akan kaget, mendapati kenyataan bahwa mereka bukan murid manismu lagi. Dunia yang lain sudah merenggutnya. Daripada ngasih mereka ikan, saran saya mending kasih saja pancingannya dan ajari mereka memancing. Suruh mereka mancing sendiri. Dapat banyak atau sedikit, itu tergantung dari usaha mereka. Jadi, kesimpulannya apa? Kita sebagai guru, hanya memberikan pancingannya. Jika mereka mau memancing atau tidak, ya itu pilihan mereka.”

Lia terdiam.

“Lia, guru yang baik, bakal berusaha, meski jika siswanya tidak bisa melakukan apapun. Dia kan terus mengajari dan mengajari dan mendukung mereka. Kasih spirit positif. Kasih semangat, bahwa mereka takkan kalah. Jangan memanjakan mereka. Biarlah mereka bisa memanjat sendiri dinding yang terjal. Ujian adalah salah satu dinding itu. Paham? Kalau sudah paham, segera fotokopiin lembar yang tadi dan bagikan pada mereka.”

*

            Mariana mendengar suara-suara sumbang dari bawah sana. Di warung ramai orang membicarakan SMA BS yang dapat nilai jelek di try out. Mariana sebal sekali. Segera dia turun bermaksud membela diri.

“Sekarang kalian tahu, kan? Neng itu emang gak bakat masuk ITB segala! Saya sih hanya kasian kemarin melihatnya nangis-nangis gitu. Padahal dalam hati sih udah tahu! Hahahahaha ..”

“Bi Santi, jangan ngomong gitu, Bi..”

Ibunya Mariana  menoleh. Mariana menghentikan langkah di tangga. Itu suara Yoshi.

“Eh, Yoshi, ada apa? Mau kasih uang arisan Ibu kamu? Atau mau makan? Ayo, makan aja disini. Ambil sendiri ya!”

“Kenapa Bibi tidak percaya si Ndut? Dia itu pintar, saya tahu. Dia juga udah berjuang sungguh-sungguh.”

“Yonce?” Mariana turun dari tangga.

“Ndut, ayo ikut. Gue ada perlu.”

Mariana menurut dan buru-buru mencari sandal.

“Ohya, jangan lupa bawa hape lo.”

*

            Semua yang menerima SMS dari Mariana yang berbunyi: “Pesan dari Yoshi: Rabu besok jam 5.30 harap datang ke Taman Bougenville. Training camp kedua akan dimulai. Ini pesan dari Pak Abdi” langsung berkerut dahi. Pesan ini dari Yoshi, yang menyampaikan pesan Pak Abdi, dari hape Mariana. Aneh.

Aku gak akan datang, gumam Weni. Dia melemparkan hapenya dan kembali membaca majalah fashion dan sesekali stalking TL-nya Yuki Kato. Sementara itu Lusi yang sedang di Jakarta dengan kakak-kakaknya seperti diingatkan sesuatu begitu menerima SMS itu. Dia hanya bisa memendam tanya dalam hati: Haruskah memang Mariana yang bersama Yoshi, bukan aku?

Sementara itu, disisi kota yang lain.

“Oi, Thoriq!” Panggil Abdi ketika ketemu anak band itu di depan supermarket.

“Oh, Pak Abdi, ngapain Pak?”

“Beli rokok. Ohya, kamu punya korek?”

“Dih, kenapa gak beli sekalian di dalam?”

“Uang saya cuma cukup buat beli rokok.”

“Gak punya, Pak. Saya gak ngerokok. Di band kami, semua sepakat untuk gak ngerokok.” Tukas Thoriq. Abdi menyeretnya untuk menepi. Dia melirik casing gitar yang dijinjing Thoriq.

“Thor, kamu udah terima soal?”

“Soal apa?”

Abdi menarik napas. Besok waktunya masuk camp, kenapa anak tengil di depannya ini belum nerima soal tentang grafik itu? Dasar, asisten gak berguna!

“Ah, sudahlah. Ohya, apa kamu tahu, apa hambatan terbesar seseorang?”

“Tauk, ah! Kenapa tiba-tiba nanya hal serius?”

“Eh saya mau cerita ya, tujuan saya adalah, membuat kalian masuk ITB. Supaya SMA BS tetap tegak berdiri. Supaya guru-guru bodoh kalian itu tetap mengajar. Karirku sebagai pengacara juga meningkat. Saat kamu masuk ITB, persepsi orang soal kamu bakalan berubah juga. Jadi akan saling menguntungkan..” Abdi tolah toleh dan menemukan seseorang yang keluar supermarket sambil merokok. Dicegatnya orang itu, kemudian pinjam koreknya. Thoriq melangkah pergi. Abdi mengikutinya.

“Artinya, kita harus saling mendukung. Tapi kehidupan biasanya gak akan membiarkan kita maju dengan mudah. Selalu saja ada yang menghalangi. Tahu gak apaan?”

Thoriq melirik gurunya itu sambil angkat bahu.

“Manusia itu seonggok daging yang gampang dihancurkan oleh perasaan! Keras kepala, cemburu, minder, pikiran-pikiran aneh, yang semuanya itu bisa bikin kita gagal. Thoriq, kendalikan perasaan itu dan yakin, itu akan menguntungkan kamu. Itu tantangannya!!”

“Pak! Stop bicara tantangan dan kemenangan. Apa pentingnya sih? Pusing saya!!”

“Hey, jalan hanya terbuka buat pemenang saja! Gak ada jalan untuk pecundang! Kamu bisa dibilang bodoh dan disingkirkan masyarakat, tapi kalo kamu berusaha dan dapat hasil bagus, kamu bisa menaklukkan mereka! Perlu ujian untuk itu. Saat kamu lulus, percayalah, lingkunganmu akan berubah. Semuanya!!”

Thoriq menatap gurunya itu.

“Makanya, jangan jadi bodoh yang membiarkan peluangnya hilang gara-gara menuruti perasaanmu.”

Sebuah angkot berhenti tepat di dekat mereka dan turunlah sesosok perempuan yang sangat mereka kenal. Lia Dahlia.

“AKHIRNYAA!!” Teriak Lia bahkan kakinya belum menyentuh tanah. “Thoriq!”

Lia lari mendekati mereka sambil menyodorkan kertas berisi grafik itu. Thoriq menerima dan membacanya.

“Apaan, nih, Pak?”

Abdi hanya tersenyum.

*

            Rabu pagi jam 5.25. Abdi dan Lia sudah menunggu di Taman Bougenville. Belum satupun murid yang datang. Lia bilang ini akan gagal.

“Belum. Belajar itu seperti obat. Ketika kamu dikasih soal yang tidak kamu mengerti, perasaanmu akan tidak enak dan kamu pasti akan sakit.”

“Punya analogi yang lebih baik, gak? Kenapa musti obat dan sakit?”

“Enggak.” Abdi cuek sambil membenahi batu bata yang akan dia jadikan track untuk jalan cepat. Lia menoleh dan melihat Yoshi! Dia datang dengan wajah kucel habis bangun tidur.

“Hey, Yoshi! Aduh, syukur deh kamu datang! Mana yang lain??” Lia senang banget Yoshi muncul.

“Hmmm,”

“Hmmm kenapa?”

“Saya sih udah SMS, udah ngomong juga ke yang lain. Tapi,..” Yoshi mengangkat bahu.

“Satu menit lagi menuju 5.30!” Seru Abdi. “Yoshi, sin pangkat dua X sama dengan?”

“Dua sin x cos x” Jawab Yoshi mantab.

“Tangen X sama dengan?”

“Satu per cos pangkat dua X!”

“Dua pangkat X?”

“Log dua di kali dua pangkat X”

Lia menginterupsi, “Kalian nih ngapain, sih? Kok malah…”

“X pangkat 3?”

“Enam X”

“BAGUS!” Puji Abdi.

“Gimana dengan grafik ini?” Tanya suara Thoriq dan semuanya menoleh. Lia sumringah. Tidak hanya Thoriq, tapi keempat temannya yang lain juga ada disana. Mereka sudah siap dengan ransel di pundak, mau ikutan Training Camp tahap dua.

“Kalian telat satu menit!” Seru Abdi.

“Enggak, menurut jamnya Raffa ini tepat 5.30!” Balas Mariana.

“Menurut jam saya, kalian telat!”

“Salah, jam Bapak Rolex palsu! Punya Raffa asli!” Samber Mariana lagi.

“UDAH! Yang penting kan mereka udah datang!” Potong Lia.

“Eeee, saya datang bukan karena ingin!” Kata Weni.

“Sama, karena saya gak ngerti soal grafik ini,” Balas Thoriq.

“Kalau saya, karena di rumah banyak tekanan, mending camping aja deh disini,” Jawab Raffa.

“Kalau saya hanya ingin cari Yoshi,” Tutur Lusi.

“Hah?” Yoshi melotot “Alasan apa itu?”

“Ayo! Training Camp tahap dua, akan segera dimulai. Taro semua tas kalian di Aula. Setelah itu, kita kembali ke sini dan mulai Study Tournya.” Abdi berdiri.

“Tunggu!” Mariana menginterupsi “Saya belum memutuskan ikut ini atau enggak.”

Semua mengangguk,

“Sama. Saya hanya jengkel dengan soal grafik ini,” Sambung Thoriq.

“Nah, saya bilang tadi, kalian bersiap dulu. Setelah itu, kita pergi ke tempat Study Tour!” Jawab Abdi.

“HAAAAH?”

“SEKARANG!!”

*

            Mereka tiba di jalan Ganesha. Dengan bermalasan-malasan mereka mendekati gerbang ITB.

“Inilah gerbang yang dimaksud! Kalian lihat pohon Bougenville yang lebat itu!” Ujar Abdi.

“Whaaa!!” Teriak Thoriq “Gue sering lihat di belakang sekolah!! Tapi yang di sekolah masih imut.”

“Gerbangnya kuno, ya?” Gumam Raffa.

“Yoshi, kita foto-foto, yuk!” Lusi mengeluarkan handphonenya.

“Oke, cukup melihat-lihatnya. Sekarang kita masuk!” Seru Abdi dan berjalan mendahului. Anak-anak ternganga melihat kampus besar yang tertata asri itu. Sepertinya berbagai jenis pohon dan bunga-bungaan ada disini. Termasuk Bougenville.

“Jadi inikah ITB itu?” Thoriq menggumam.

“Ayo, kita jalan sampai ke dalam sana. Ada sesuatu yang saya mau tunjukkan ke kalian.” Ujar Abdi.

“Ini namanya Plawid, Plaza Widya Nusantara. Kalian lihat kolam bulat itu?” Tunjuk Abdi, “Longoklah ke dasarnya, ada apa disana?”

Anak-anak berlari dan melongokkan kepalanya. Karena airnya sedikit keruh, mereka kurang bisa tahu apa yang ada disana. Tapi, sepertinya ada bayangan peta.

“Saya tahu. Itu peta Indonesia! Dari Merauke, sampai Sabang.” Jawab Yoshi.

“Betul. Kolam ini dinamai Intel, atau Indonesia Tenggelam.”

Anak-anak tersenyum.

“Dulu, waktu jaman saya, air mancur terbesarnya, muncul dari kota Bandung, memancar ke atas sejauh dua meter.” Jelas Abdi, kemudian menunjuk ke sebuah monumen.

“Sekarang baca tulisan yang ada di monumen itu,”

Anak-anak berlari lagi, untuk membaca tulisan di monumen berbentuk mirip piringan hitam di dekat kolam, yang ditunjuk Abdi.

Sekali teman tetap teman…” Desis mereka membaca tulisan disana. Abdi tersenyum, kemudian menghampiri murid-muridnya.

“Ini Friendship Monument, Anak-anak!” Tukas Abdi. “Semua yang pernah diterima di kampus ini, akan menjadi teman selama-lamanya, meski kalian DO, putus kuliah ataupun lulus dengan gemilang. Tidak ada bekas teman dalam kampus ITB.”

Anak-anak termenung. Tiba-tiba dada mereka bergemuruh kencang.

“Tapi rasanya tidak mungkin,…” Raffa mendesis.

“Ini namanya afirmasi atau penegasan, bahwa kalian ingin sekali masuk sini dan akan terwujud suatu saat nanti. Ini sangat penting untuk mendukung pencapaian cita-cita.” Kata Abdi. “Beberapa detik yang lalu, kalian takkan pernah terpikir benar-benar akan masuk ITB. Sekarang bagaimana? Bisa bayangkan, tahun depan kalian akan berjalan di tempat ini.”

“Tapi, kenyataannya, kami hanya dapat nilai 5%” Kata Raffa. Abdi mengeluarkan kertas dari sakunya. Kertas soal grafik itu.

“Nah, jawabannya ada disini. Yoshi, tolong beri tahu jawabannya.”

“Kenapa kudu saya sih, Pak!”

“Kamu gak tahu?”

“Grafik itu,” Jawab Yoshi sebelum dikatain bodoh lagi “..dimulai dari nomor 4, naik sampai 12 dan menjadi 1. Itu angka bulan. Ya kan?”

Abdi mengangguk.

“Ooooh, begituuu.” Seru yang lain.

“Garis vertikal, tertinggi 80, terendahnya 30. Jadi,..”

“Oh, ngerti! Itu nilai kami, kan?” Sambar Weni.

“Lalu, arti dua garis ini apa Yosh?” Tanya Abdi.

“Nah, itu yang saya gak ngerti.”

“Payah! Oke, saya kasih petunjuk,” Abdi melipat kertas itu dan,

“Mahasiswa ITB! Selamat pagi! Kenalkan nama saya Abdi Wiriaatmadja dan enam anak di depan saya ini adalah murid-murid SMA Bhinekka Sentausa yang terkenal nakal dan bodoh. Nilai mereka rata-rata hanya 3. ”

“HAAAAHH…” Anak-anak mengerut alis. Lia maju mau protes.

“Mahasiswa ITB semuanya, dengar saya. Tahun ajaran baru nanti, para idiot ini akan ikut SNMPTN dan akan masuk ITB…”

“Pak Abdi, tolong hentikan. Anak-anak akan malu!!” Kata Lia.

“Adakah diantara kalian, yang punya nilai kurang dari 50, ketika kalian di SMA?? Jika ada, tolong tunjukkan dirimu di depan anak-anak bodoh ini. Tolong angkat tangan kalian dan menghadap ke depan saya.”

Semua terdiam dan hanya menatap gerombolan Abdi.

“MUSTAHIL!” Seru Yoshi.

“Gak akan ada, Pak!” Samber Mariana. Abdi tersenyum.

“Mariana, dan semua yang tidak percaya, tengok ke belakang kalian sana!” Abdi menunjuk dengan dagunya. Anak-anak menoleh dan terganga. Ada dua orang mahasiswa menunjuk tangannya. Setelah itu, di penjuru lain, ada beberapa orang juga menunjuk tangan. Abdi menunjuk tiga orang mahasiswa untuk menghadapnya. Dua cowok, satu cewek.

“Terimakasih sebelumnya,” Kata Abdi “Tapi maukah kalian sharing sedikit pada kami?”

“Gak masalah, Pak!” Jawab si mahasiswa.

“Berapa nilai kalian waktu di SMA?”

“Hm, sekitar 53-an Pak,” Jawab mahasiswa yang memakai baju kotak-kotak.

“Saya 48,” Jawab mahasiswa yang pakai kaos ‘SWEDEN’.

“Saya malah 47,” Jawab mahasiswi sambil senyum malu.

“Tapi, buktinya, kalian sukses masuk ITB, kan?” Abdi bertanya pada ketiga mahasiswa itu.

“Ya, begitulah..”

“Saya tahu. Tak seperti orang gagal, seorang yang berhasil, pasti memiliki impian. Jadi, saat tahu nilai kalian segitu, kenapa kalian tetap ingin masuk Institut ini?”

“Saya masih punya banyak semangat, Pak.” Tutur si kotak-kotak. “Saya tidak pernah capek berusaha. Saya ingin masuk ITB. Benar, ketika berhasil masuk sini, semuanya berubah!”

Kalimat itu di-iya-kan oleh kedua orang yang lain.

“Oke, terimakasih banyak, maaf mengganggu waktu kalian.”

“Sama-sama, Pak!”

Mereka bertigapun bubar. Abdi menoleh pada murid-muridnya.

“Nah, apakah kalian mengerti sekarang? Gambar grafik ini adalah peningkatan nilai kalian untuk masuk ITB. Hasil try out hanya menggambarkan jika ujian dilakukan sekarang. Jadi, mereka yang ingin dapat nilai bagus harus memiliki ‘Power of Study’ yang lebih sampai sebelum bulan Mei.”

Power of Study?” Lia menggumam.

“Iya, seperti olahraga, power dan stamina itu penting, Lia. Power juga penting dalam belajar. Dengar, Anak-anak! Jika kalian terus berusaha, dengan seluruh kekuatanmu, maka hasilnya akan merangkak naik. TAPI, jika hasil kalian seperti grafik yang lurus, mustahil akan berhasil. Kalau kalian terus melihat ke atas, kalian akan lupa apa yang terjadi di bawah. Sekarang, kalian harus menguatkan titik lemah kalian, dan berusaha sebaik mungkin, hingga kenyataan akan menjadi kenyataan.”

“Halah, seperti biasa, Bapak berbohong seperti penjahat!” Tukas Yoshi.

“Terserah, saya hanya bicara yang sebenarnya. Kamu Weni, Raffa, Lusi, Thoriq, Mariana dan kamu Yoshi, buatlah hasil kalian seperti grafik melengkung, dan bulan Agustus nanti, pastikan kalian akan menjadi mahasiswa ITB, seperti mereka!! Kalian akan berjalan di kampus ini dengan perasaan yang sulit kalian ungkapkan!!”

Anak-anak sekali lagi terdiam dan tanpa sadar, airmata menggenang di pelupuk mata.

*

            Dua minggu kemudian, hasil tes try out yang mereka ikuti kemarin sudah datang ke sekolah. Meski sudah tahu hasilnya, tetap saja Abdi ingin membagikan hasil itu kepada mereka. Lagipula, selama training camp dua minggu kemarin, mereka tampak sudah tidak peduli dengan hasil try out. Semuanya lancar-lancar saja.

“Baik, saya akan bagikan hasil try out kemarin.”

Anak-anak membuka amplop berisi hasil itu dengan ogah-ogahan. Hasilnya, memang betul, peluang mereka untuk tembus PTN yang dikehendaki, hanya 5% saja.

“Benar, kan? Gak ada yang berubah disini,” Ujar Yoshi, manyun.

“Peluang masuk hanya 5%.” Tambah Mariana.

“Terimakasih atas pemberitahuannya.” Timpal Thoriq.

Weni dan Lusi malah langsung melipat lagi surat itu, sambil merengut. Hanya Raffa yang masih memandangi kertas itu tanpa berkedip.

“Oke, sudahlah…” Kata Yoshi “Mulai Januari, nilai kudu kita genjot!”

“Genjot? Emangnya becak??” Thoriq mengejek. Yoshi melemparnya dengan tip-ex.

“Kalau hasilnya tetap E gini gimana?” Mariana bertanya dengan suara lirih.

“Tenang, Ndut, semuanya akan baik-baik saja. Everything is under control, right??” Thoriq berusaha menghibur.

“Ih, kok lo jadi ikutan panggil Ndut, sih?” Mariana menoleh pada Thoriq.

“Kalo gue gak bisa tenang. Masalahnya Yeni sepupu gue yang punya ide sialan bikin Reality Show itu dan si Rafika cewek sok artis itu terus menerus SMS gue, mengejek dan meremehkan kita!” Kata Weni.

“Betul,” Mariana menimpali “Ikut ujian berapa kali juga, gak ada jaminan hasil kita akan meningkat,”

“Optimis dong, Ndut!” Yoshi menyentak, hingga Mariana menoleh.

“Oh, Tuhan, berkatilah usaha kami…” Thoriq berdoa.

Lusi yang duduk sebelah Raffa heran melihat anak culun itu terus-terusan melihat kertas hasil try out tanpa kedip. Dia mendekat dan melotot melihatnya.

“HAH?? Raffaaa…!!”

Semua menoleh.

“Kenapa??”

“Dia, dapat…”

Abdi mendekat dan meminta kertas itu dari tangan Raffa, lalu tersenyum.

“Ternyata,…”

“Kenapa, sih??”

Semua mendekati Raffa dan rebutan melihat kertas itu.

“HAH? Peluang dia 20%??!!”

“KEREEENNNN!!”

“Wah, selamat, Raffa!!”

“Kita hanya beda point 15% aja! Berarti kita juga udah dekat. Kita juga bisa!!” Teriak Weni, yang lain mengangguk setuju.

Raffa hanya tersenyum kecil dan hidungnya kembang kempis. Dia juga tidak percaya.

“Oke,” Abdi menatap murid-muridnya “Sekarang, lupakan try outnya dan kita konsentrasi untuk ulangan umum.”

**

Gambar

 

6

Pertarungan Dua Guru Bahasa Inggris

 

            “Lia, giliran kamu mengajar Bahasa Inggris untuk mereka.” Kata Abdi.

Hidung Lia kembang kempis. Jadi, perbudakan ini berakhir dan dia diangkat menjadi guru Bahasa Inggris untuk anak Kelas Khusus? Ini sanjungan. Berarti, ilmunya diakui sama seperti guru-guru aneh bin ajaib itu??

            “Masa percobaan seminggu.” Lanjut Abdi. Lia mengacungkan dua jempolnya dengan gembira.

            “No problem, Sir!”

*

            Bu Nina kemudian memerintahkan Abdi untuk melatih guru-guru SMA BS untuk menjadi profesional dan berdedikasi seperti guru-guru yang dipanggil Abdi untuk mengajar di Kelas Khusus. Abdi bersedia. Maka, mulai hari ini, Abdi juga memberi training kepada guru-guru. Dimulai dengan kelas motivasi terlebih dulu. Guru-guru mengikuti training itu dengan hati menggondok. Pasalnya, jika mereka menolak, maka surat pemecatan siap ditandatangani Bu Nina. Mereka tak punya pilihan lain.

*

            Sementara itu, sudah tiga hari, Lia mengajar di kelas khusus. Anak-anak mau tak mau mengakui, jika cara mengajar Lia ini membosankan. Setelah mendapat metode belajar yang istimewa dari tiga guru yaitu Pak Del, Pak Wid dan Pak Ohm yang bersemangat, Lia mereka nilai sangat kaku dan konvensional. Hanya teori, teori dan teori.

            “Perhatikan, Anak-anakku, ini adalah bentuk kalimat Present Perfect Tense, jadi, kita harus meletakkan apa sesudah ‘have’…?”

Tampang anak-anak lesu. Mereka mengantuk.

            “Heh, lo ngerasa ini mbosenin gak sih?” Bisik Yoshi pada Weni yang duduk di sebelahnya. Weni mengacungkan jempol tanda setuju.

            “Kita gak punya guru English lain yang kompeten selain dia, tahu gak? Emangnya sekolah punya dana lebih buat manggil guru English? Tiga guru ajaib itu kan sukarelawan. Bentar lagi juga hengkang dari sini. Emangnya mereka mau  dibayar makan siang terus-terusan?” Kata Thoriq.

            “Meski secara pribadi Bu Lia itu menyenangkan, tapi gak bisa gue pungkiri, cara mengajarnya sangat buruk,” Lusi menimpali.

            “Bener. Dia seperti ngomong sendiri pas ngajar, ya Lus?” Mariana mengomentari.

            “Gawatnya, English itu bukan bahasa kita. Gue gak pernah ngerti dengan teori-teori Bahasa Inggris. Jadi kudunya, kita dapat guru yang canggih seperti trio guru ajaib itu…” Weni mengeluh.

            “Gue juga benci English, Wen!” Timpal Raffa dengan suara keras hingga semua menoleh.

            “SSSTTT!!” Serempak mereka menempelkan telunjuk mereka ke arah Raffa.

            “Kenapa, Raffa?” Lia menoleh “Kenapa English itu buat kamu?”

            “Eeh, enggak Bu,” Raffa cengengesan. Yoshi mendelik padanya, memperingatkan untuk tidak memasang tampang bloon lagi.

            “Ehm, gini Lia Cantik, kami lagi merencanakan liburan Tahun Baru. Ya kan, Teman-teman!?” Thoriq angkat bicara, sebelum si bloon Raffa menjawab.

            “Ooh, itu. Ya, saya setuju. Nah, PR buat besok ya, coba kalian tulis karangan bertema rencana liburan Tahun Baru, in English.” Kata Lia.

Anak-anak menunduk lesu. Kok jadi dikasih PR?

            “Kita lanjut, yuk. Sekarang, jika penggunaan preposition itu bagaimana…”

Abdi yang memperhatikan kelas itu dari luar, merasa cara mengajar Lia jauh dari harapannya. Dia terpikir mencari seseorang yang bisa mengajari mereka English dengan metode spektakuler dan tentu saja, mau dibayar hanya dengan makan siang.

*

            Esoknya, ketika Abdi datang, Lia langsung menyerahkan print-an hasil kerja kerasnya semalaman. Itu adalah programnya dalam Kelas Khusus.

            “Gimana, Pak. Program ini sesuai harapan kamu?”

Abdi melirik kertas itu tanpa menyentuhnya. Dia tidak butuh program kaku seperti itu.

            “Saya gak butuh itu, Lia.”     

            “Heeehh? Pak, tunggu. Itu adalah program dasar yang sesuai dengan kurikulum! English yang saja ajarkan berguna buat ujian juga setelah mereka lulus nanti!”

            “Yang kita butuhkan adalah, English untuk UN dan SNMPTN! Kita udah gak ada waktu buat belajar teori yang bejibun seperti itu. Anak-anak akan mual.”

            “Hah, Pak Abdi, kamu kasar sekali…! Pak, kamu kan sudah menyerahi saya tanggungjawab pegang English untuk kelas khusus. Jika Matematika ada Pak Del, Fisika ada Pak Wid dan..”

            “Ya! Itulah masalahnya. Saya ‘kan hanya kasih kamu waktu percobaan seminggu dan belum seminggu anak-anak sudah merasa bosan sama kamu.”

Lia membela diri jika anak-anak tidak mungkin bosan pada pelajarannya. Mereka hanya lelah. Terlalu banyak teori yang harus mereka pelajari dan hapalkan. Itu wajar.

Kemudian Abdi bilang, bahwa dia akan mencari guru Bahasa Inggris yang benar-benar dibutuhkan anak-anak kelas khusus untuk saat ini, di waktu yang sempit dan kritis.

            “Jadi, saya harus kemana?” Lia bertanya dengan nada sedih.

            “To the trash!”

*

            Malamnya, ketika Lia sedang makan malam bersama teman-teman SMAnya di sebuah mall, dia melihat Abdi juga ada di mall itu. Dia curiga, Abdi mau kemana. Maka, dia ijin teman-temannya untuk pulang, karena ingin mengikuti Abdi. Diikutinya Abdi yang berputar-putar di mall itu dan mengagetkan. Abdi masuk ke sebuah tempat karaoke. Lia ikut masuk kesana dan betapa kagetnya dia ketika Abdi memergokinya.

            “Saya tahu kamu stalking saya. Ayo ikut.” Ujar Abdi. Lia tak berkutik.

Mereka duduk di lobi, menunggu orang yang dimaksud. Orang itu muncul, berseragam satpam. Rupanya, orang yang dicari Abdi bekerja sebagai sekuriti tempat karaoke ini.

            “Hello Abdi, how are you, and who’s the damn pretty-sweety girl?” Sapanya. Lia melongo. Satpam, tapi Englishnya fasih banget??

            “Lia, kenalkan, ini Mister Fanani Angelo.”

            “Mister Fanani Angelo??” Lia semakin melongo mendengar nama yang tak lazim disandang satpam.

Kemudian, Abdi menjelaskan jika Pak Fanani, dulu adalah guru Bahasa Inggrisnya ketika SMP. Dia punya metode mengajar Bahasa Inggris yang sangat baik dan menurut Abdi spektakuler. Sayangnya, banyak guru yang tidak menyukainya dan dia kena fitnah lalu dipecat dari sekolah. Kemudian, Pak Fanani bekerja pada kapal nelayan dan pernah menjadi intruktur tari erotis di sebuah klub malam di Australia.

            “Hah, instruktur tari erotis??” Lia terngangga.

            “Betul, Nona.” Pak Fanani mengedipkan sebelah matanya ke arah Lia “Wanna dance with me? Traratata traratata..” Pak Fanani melakukan gerakan tari salsa.

Lia gak bisa bernapas.

*

            “Untuk tiga guru lain, saya setuju sama kamu, Abdi. Tapi sekarang, kamu mengecewakan saya!!” Kata Lia sekeluarnya dari tempat karaoke.

            “Abdi? Sejak kapan kamu panggil saya Abdi?”

            “Sejak sekarang! Saya udah dobel-dobel gak respek sama kamu!!” Ujar Lia emosional. “Mau jadi apa anak-anak saya diajarin English sama orang bekas instruktur tari erotis! Kamu benar-benar gak tahu kriteria seorang pengajar!!”

            “Hey, hey, hey! Jangan sembarangan. Orang itu, guru saya waktu SMP.” Jawab Abdi.

            “Berapa puluh tahun yang lalu?? Dia lebih lama jadi instruktur tari erotis ketimbang jadi English teacher!”

            “Sudahlah, kamu tenang saja! Fokus saya adalah SNMPTN dan yakin, Mister Fanani bisa.” Abdi menjawab dengan tenang.

            “Abdi, jika kamu memperkerjakan dia di kelas khusus, guru-guru akan protes, dan kelas itu akan dibubarkan!”

Kemudian Abdi menghentikan langkah. Dia menatap rekan kerjanya itu sambil tersenyum. Lia sepertinya menentang Kelas Khusus itu, tapi disisi lain, mendukung. Dia juga sangat khawatir jika kelas itu dibubarkan para guru.

            “Kenapa, sih?”

            “Hah?”

            “Kenapa kamu begitu khawatir Kelas Khusus itu dibubarkan?”

Lia terdiam dan makin gugup. Iya, dia sendiri juga tidak menyadari kenapa begitu tidak inginnya dia jika kelas itu dibubarkan. Apa karena ada empat anak murid yang sudah meluluhlantakkan hatinya? Ada Yoshi, Lusi, Weni dan Thoriq? Atau ada hal lain?

            “Lia, kamu gak usah khawatir dengan saya. Saya bisa balik kerja jadi pengacara jika kelas itu dibubarkan. Sebetulnya, kamu tidak ingin saya pergi dari SMA BS kan?” Tanya Abdi, bikin Lia lemas lutut. Kurang ajar!

            “Gak sopan! OK, silahkan berbuat sesuka hati kamu untuk Kelas Khusus kesayangan kamu itu!!” Teriaknya kemudian, lalu lari meninggalkan Abdi.

            “GOTCHA!!” Seru Abdi tertawa.

*

 

            Mister Fanani masuk kelas dan anak-anak menyukainya dari pandangan pertama. Penampilannya tidak seperti seorang guru. Dia necis, dan badannya tegap dan bagus. Wajahnya bersih dan tampan.

            “Oke, panggil saya, Mister Fanani. Sebelum mulai pelajaran kita, saya mau tanya, apa yang bikin kalian tidak mengerti sama Bahasa Inggris?”

            “Saya gak ngerti dari SD, Pak!” Jawab Mariana.

            “Itu bukan jawaban, Ndut!” Sergah Yoshi  “Saya tidak mengerti soal Past Participle, Progressive Forms, dan beberapa kosa kata istilah juga tidak mengerti.” Jawab Yoshi.

Mister Fanani mengacungkan jempol. Yoshi melirik Mariana.

            “Gitu, jawabnya!!”

Mariana mencibir.

            “Tepat! Begitulah. Saya yakin diantara kalian, pasti punya kesulitan sendiri-sendiri. Mungkin seperti pretty boy di depan saya ini kesulitannya di Past Participle, mungkin yang dibelakang sana, tidak mengerti hal lain.”

Anak-anak cekikikan ketika Yoshi dibilang ‘pretty boy’ oleh Mister Fanani.

            “English itu banyak teori, betul. Dan sayangnya, kalian harus hapal. Tapi bukan berarti harus dipelajari secara teoritis.” Kata Mister, kemudian dia mengangkat tangan.

            “Sekarang semua berdiri. C’mon, stand up! Stand up, please, everybody!!”

Anak-anak berdiri.

            “Singkirkan kursi dan meja kalian. Kita kosongkan ruangan. Bentuk seperti ruangan dansa!”

            “Ooh, jangan!” Lia menutup mulutnya. Abdi menyeret Lia menjauh dari pintu kelas.

            “Lihat dari jauh. Jangan ikut campur!”

 

Kemudian, Mister menjelaskan bahwa ada dua hal yang perlu diterapkan dalam belajar Bahasa Inggris. Pertama, jangan ragu untuk ngomong Inggris meski belum fasih. Yang penting percaya diri. Seperti orang asing yang selalu pede bicara Bahasa meski belum lancar. Kedua, Bahasa Inggris akan lebih mudah dipelajari dengan bicara tentang cinta. Ada banyak lagu cinta yang bisa dipelajari struktur kalimatnya. Karena cinta, menurut Mister, adalah perasaan universal. Jadi dalam berbagai bahasa, cinta akan mengatakan hal yang sama. Begitu pula jika belajar Bahasa Inggris.

            “Jadi, kalian akan lebih mudah mengerti karena perasaan itu. Mari, kita rasakan cinta, dalam Bahasa Inggris.”

Mister juga bilang bahwa Bahasa Inggris dalam lagu cinta, mudah sekali dipelajari. Sangat simple. Saat cewek dan cowok falling in love, mereka tidak butuh kata-kata yang rumit.

            “Seperti rayuan Raja Gombal, gitu, Bapake??” Tanya Thoriq.

            “Mis…ter.” Mister meralat.

            “Oh, yes, Mister..”

            “Tepat! Sekarang, dengarkan lagu ini.” Mister menyetel lagu dari radio mini compo yang dibawanya tadi. Mengalunlah lagu I’m Yours-nya Jason Mraz. Anak-anak tersenyum senang. Intro lagu itu saja sudah bikin mereka pengen goyang.

“Well you done done me and you bet I felt it.

I tried to be chill but you’re so hot that I melted..”

Anak-anak menyanyi.

            “Jangan nyanyi doang, ayo sambil goyang. Ikuti saya!!” Kata Mister. Anak-anak ragu tapi ikutan goyang. Thoriq menyanyi dengan suara paling keras.

            “Wah si Yoshi mah bisa nih mainin terompetnya!!” Teriaknya.

“I won’t hesitate no more, no more

It cannot wait, I’M YOURS…”

            “Asyyikk! Teruskan Anak-anak!”

Tentu saja, kelas itu menarik perhatian. Banyak murid dan guru-guru yang mengintip. Beberapa diantara mereka juga nyanyi dan goyang, menirukan yang di dalam.

            “Kamu, itu yang ditengah, Raffa, kurang goyang. Ayo keraskan suara kamu dan goyang!”

 

But I won’t hesitate no more,no more
It cannot wait,I’m yours

(I won’t hesitate)
Open up your mind and see like me
(no more,no more)
Open up your plans and damn you’re free
Look into your heart and you’ll find that the sky is yours
(It cannot wait,I’m sure)

so please don’t,please don’t,please don’t
(There’s no need to complicate)
There’s no need to complicate
(Our time is short)
‘Cause our time is short
(This is our fate)
This is,this is,this is our fate
I’m yours

            “Whooooooho!!”

Anak-anak bertepuk tangan ketika lagu itu berhenti. Mereka merasa ringan, senang, dan bugar.

            “Waaah, gue merasa seperti di panggung!!” Teriak Thoriq.

            “Keren! Keren!” Yoshi bertepuk tangan “TOP!!”

            “Nah, menggerakkan badan, bisa membantu kamu menyerap ilmu. Kamu tahu? Yoshi, kamu punya hobi apa?”

            “Hm, main terompet, sama main skateboard.”

            “Oke,…and how about you, chic-lovely-beautiful Barbie?” Tanya Mister menunjuk Lusi.

            “Saya? Renang, Mister. Saya pernah juara III gaya dada 25 meter.”

            “Saya main gitar, Mister!” Thoriq menunjuk tangan.

            “GOOD!! Saya rasa kalian semua punya hobby dan kalian pasti bela-belain untuk bisa expert dengan hobi kalian itu. Nah, perlakukan English seperti itu. Jadikan dia hobi kamu. Lagu tadi, bisa kalian bedah kata-katanya, temukan Tenses-nya, temukan frasa-frasa. Kemudian, kalian harus percaya diri mengucapkannya. Lafalkan dengan benar agar lawan bicara mengerti. Katakan pada diri kalian: English is my second language!! Seperti lagu tadi, I’M YOURS!

Open up your plans and damn you’re free
Look into your heart and you’ll find that the sky is yours

Ucapkan dengan jelas, dan cepat. Seperti Jason Mraz bernyanyi. Semakin kamu banyak bicara dan latihan, semakin banyak kata yang kamu mengerti!!” Mister bicara berapi-api penuh semangat.

            “Jadi, bisa dibilang, ini kekuatan persuasi, ya Mister?” Tanya Yoshi.

            “EXCELLENT!!”

            “Yess, gue mulai senang pelajaran ini!!” Timpal Thoriq.

            “Saya juga!”

            “Gue jugaaa!”

            “Jadi kita sepakat, kalo Bu Lia membosankan?” Tanya Weni, diluar konteks.

            “Iya! Lo benar, Wen.” Kata Thoriq.

            “Selama mengajar, dia kayak ngomong sendiri. Kita semua jadi mengantuk dan gak ngerti apa yang dia terangkan…” Kata Weni.

            “Jangan gitu, ah. Lia udah berusaha yang terbaik buat kita.” Bantah Yoshi.

Sementara Lia yang mendengar itu, hanya bisa menunduk sedih. Ternyata, begitu ya?

            “STOP! STOP!” Potong Mister “Dengan belajar lagu English yang kalian sukai,  pengetahuan English kamu meningkat. Kalian bisa mulai dari lagu-lagu yang mudah. Seperti lagu-lagu The Beatles…”

Lia masuk ke dalam kelas.

            “Saya tidak setuju!!” Potongnya “Saya tidak setuju, Anda menganggap English begitu mudahnya!”

            “Lia!” Teriak Abdi.

            “Mereka tidak akan mengerti soal grammar, syntax dan lain-lain. Anak-anak akan hanya tahu bahasa gaul.”

            “Lia, pelajaran kamu juga kurang efektif saya lihat!” Kata Abdi.

            “Saya sudah mempelajarinya.” Kata Mister “Lagu-lagu dalam Bahasa Inggris kadang tidak mudah. Mereka akan memahami English secara umum. Ini, saya sudah menelitinya.” Mister mengangkat kertas bertuliskan “100 Tipe Frasa English Populer”

“Ini diambil dari lagu-lagu Elvis Presly sampai Adele, terpilihlah 100 frasa populer, yang biasa dipakai saat ujian. Ini akan menjadi dasar ujian SNMPTN.”

“Gak mungkin! Anda jangan menyesatkan saya dan anak-anak. Lagipula tahu apa Anda soal mengajar? Anda sudah tidak menjadi guru sejak berpuluh tahun lalu. Apa yang bisa diharapkan dari seorang instruktur tari erotis??”

            “HAAAAHHH???!”

            “Tari erotis??”

Semua terdiam. Mister juga mendadak diam.

            “Lia, bukan itu masalahnya. Sekarang, apakah dia bisa mengajar atau tidak.” Bantah Abdi.

            “Tapi saya punya metode yang lebih baik dari dia!” Ujar Lia.

            “Baik, saya akan mengambil jalan tengah,” Kata Abdi “Kita akan lakukan tantangan, metode siapa yang paling efektif: Mister Fanani atau kamu. Tantangannya, akan diadakan tes English dalam tiga hari kedepan. Anak-anak Kelas Khusus diajar Mister dan Lia terserah kamu ambil murid mana. Kita adu metode kalian. Yang menang, akan mengajar di kelas khusus.”

            “He, Pak Tua. Berhenti menggunakan kami sebagai pertaruhan seenak perut Anda sendiri!” Tukas Yoshi.

            “Baik, saya terima tantangannya!!” Kata Lia, tegas.

*

            Lia menceritakan tantangan itu dengan para guru. Pak Sudiskam merasa ini peluang yang baik untuk mengalahkan Abdi. Maka, ditunjuklah Rosalind Aninsa Arusha, siswa pindahan dari Jakarta. Dia tidak lulus UN tahun lalu sebab ketika UN berlangsung dia malah dirawat karena penyakit tipes yang kritis. Oleh orangtuanya, dia dipindahkan ke Bandung dan tinggal bersama neneknya. Nilainya tidak cukup untuk masuk SMA Favorit maka, SMA BS lah pilihannya. Satu point lagi, Rosalind tinggal di Amerika sejak kecil dan baru kembali ke Indonesia kelas 2 SMP.

            “Jadi, Bahasa Inggrisnya tidak diragukan lagi, bukan?” Kata Pak Sudiskam. Lia tersenyum. Kemenangan terpampang di matanya.

 

            “Why me, Miss Lia?” Tanya Rosalind.

            “Please, Rosalind. Help me...” Kata Lia. Rosalind tertunduk pasrah.

Maka selama dua hari, anak Kelas Khusus belajar keras dengan Mister, sementara Rosalind belajar mati-matian dengan Lia.

*

            Keesokan hari, anak-anak Kelas Khusus curhat bahwa mereka tidak siap dengan tantangan itu.  Abdi dan Mister memberi sedikit pengarahan agar mereka tenang menghadapi tes ini. Mereka ciut setelah mendengar bahwa penantang mereka adalah anak yang pernah sekolah di Amerika.

            “Tidak masalah. Selama kalian yakin bisa pasti akan bisa. Begini, kalian harus menang. Ingat, harus menang. Jika kalah, Lia akan mengajar kalian selama 6 bulan ke depan. Kalian akan mempertaruhkan hidup kalian ditangan orang seperti itu. Lia baik, memang. Tapi secara pribadi, bukan sebagai pengajar. Dia lebih baik menangani hal yang lain. Waktu kalian mepet.”

            “Hapalkan saja 100 phrases ini selama dua hari. Dijamin, kalian akan bisa mengerjakan soal tantangannya!” Seru Mister.

            “Lia itu konvensional dan pastinya, didukung guru-guru. Dalam tiga hari ke depan, kita buktikan, bahwa metode kita benar.” Kata Abdi.

*

            Sementara itu di ruang guru, Lia menyodorkan beberapa buku untuk Rosalind belajar.

            “Nah, Rosalind, materi mana yang kira-kira kamu gak ngerti?”

            “Saya rasa, grammar.”

            “Baik, selama dua hari, kita akan full belajar grammar. Ingat ya, tidak ada kata slang dalam pelajaran kita. Kamu samasekali tidak boleh menggunakan kata-kata gaul. Harus English baku. Siap?”

            “Siap,” Rosalind mengangguk patuh.

            Di Kelas Khusus, mereka mengikuti metode Mister, yaitu menghapalkan 100 phrases dengan menggunakan lagu sambil berolahraga. Kelas Khusus berkeringat dan hot, sementara di ruang guru, Lia dan Rosalind serius dan dingin. Dua pemandangan yang kontras.

            “Oke, oke, kalian sudah cukup bagus.” Kata Mister. “Sekarang, saya tes ya, coba kamu Lusi, buat kalimat dengan menggunakan 1 dari 100 phrases ini. Ayo,”

            “Saya, Mister?” Lusi kaget, dan tidak siap “Hm, apa ya?”

            “Coba aja, pengakuan cinta sama cowok. Jadi, dasarnya ya, I Love You.”

            “Halaaah, biasa ngomong ke Yoshi ajaaaa ‘Yoshi gue suka elu, karena permainan terompet lo’!” Ujar Thoriq.

            “Ye!” Lusi mendorong Thoriq. “Sebentar, hm,…” Dia melirik Yoshi.

            “Hm ok, begini: I love Yoshi, what is a very good trumpet player.”

            “Oooo, Lusi, jika kamu bicara tentang Yoshi, berarti kamu harus menggunakan…APA? bukan WHAT.. Tapi,…?”

            Semua sudah geregetan ingin menjawab, Lusi bengong. Apa ya?

            “Ooh, oh, ya! I love Yoshi who is a very good trumpet player!”

            “YEAH!!” Mister dan Abdi bersorak. “Excellent!”

            “Oke, yang terpenting dari tes nanti adalah konteks. Ingat ujian SNMPTN, yang penting adalah ketepatan dan bagaimana kita melihat konteks. Sekarang, kita latihan wacana dan membedahnya.”

            “Satu lagi yang terpenting, apa? Kamu tahu, Yoshi?” Tanya Abdi.

            “Hah, apa ya?”

            “Informasi, adalah kekuatannya. Siapapun yang mengerti bahwa soal-soal SNMPTN adalah bagaimana melihat konteks, akan mengambil banyak keuntungan. Fakta, bahwa ketidaktahuan itu mengerikan. Kalian akan belajar ngalor ngidul tanpa arah. Maka, beruntunglah kalian yang selama satu setengah bulan ini banyak mendapat informasi inti bagaimana mengerjakan soal secara efektif. Ujian, adalah miniatur dari kehidupan, dimana yang cerdik dan mengetahui informasi, yang bisa memenangkannya!”    

Di ruang yang lain, Lia stress mengajari Rosalind yang sangat lemah dalam grammar, terutama tentang relative pronoun. Tapi, Lia tidak akan menyerah. Disodorinya Rosalind dengan setumpuk soal-soal yang berhubungan dengan grammar. Rosalind kecapekan dan ketiduran akhirnya.

*

Hari tantangan.

            Murid-murid dari kelas khusus sudah duduk dengan rapi. Sang penantang belum hadir dalam kelas. Mereka penasaran, siapakah yang akan dihadirkan Lia sebagai penantang mereka. Lima belas menit kemudian, datanglah Lia dan seorang murid perempuan yang cantik. Yoshi dan Thoriq saling lempar pandang. Rupanya Rosalind, anak baru pindahan dari Jakarta, yang sempat jadi bahan perbincangan hot beberapa bulan lalu. Namun, sejak tahu dia berperangai kurang menyenangkan dan jutek abis, perlahan perbincangan itupun berhenti. Rosalind menjadi anak baru yang terlupakan.

            Rosalind duduk di hadapan anak-anak Kelas Khusus. Kepalanya tegak, seolah siap menantang mereka.

Seorang guru datang, membawa soal. Abdi menerimanya.

            “Ini soal Bahasa Inggris SNMPTN tahun 2007. Silahkan dikerjakan dengan baik. Ada 15 soal, dengan waktu 20 menit. Baca baik-baik sebelum menjawab.”

Soalpun dibagikan. Semua mengerjakan dengan tenang.  Lia hampir bersorak gembira ketika melihat Rosalind sudah mengerjakan hampir separuh soal, sedangkan anak Kelas Khusus, belum. Mereka terlihat hati-hati dalam membaca soal. Mungkin mereka tidak mengerti soalnya, pikir Lia.

            “SELESAI!” Ujar Abdi, ketika sudah 20 menit. Kertas jawaban dikumpulkan. Lia ditugaskan Abdi memeriksa jawaban anak Kelas Khusus dan Mister memeriksa jawaban Rosalind. Semua tegang menantinya. Betapa kagetnya Lia, ketika mendapati jawaban anak kelas khusus hampir semua benar. Dia merenung, kenapa bisa begini?

            “Ingat Lia, penilaiannya adalah, jawaban benar dikalikan 4 dan jawaban yang salah dikurangi 1,” Abdi mengingatkan. Lia gemetar mendengarnya. Sejauh ini, Rosalind sudah salah 4. Dia terus memeriksa.

            “Lusi, 49.” Kata Lia, sambil membagikan kertas jawaban pada Lusi.

            “Weni, 50. Raffa, 60 , jawaban kamu benar semua.”

            “Weeeiiisshhh!!” Semua bersorak.

            “Mariana, 45. Yoshi, 45 dan Thoriq 45.”

Semua diam, menanti Mister mengumumkan nilai Rosalind. “ Dan, Rosalind, dapat nilai, 40.”

            “WAAH!!”

            “Artinya, dia kalah???”

Rosalind, malu dan hanya bisa tertunduk. Abdi berdiri dan berkata,

            “Lia, kamu tahu gak kenapa kamu kalah?”

            “Ya, Saya kurang info, saya gak mengerti, kalau soal-soal ini berupa wacana yang jawabannya berdasarkan konteks. Kemarin, Rosalind saya jejali dengan materi saja.”

            “Satu lagi, Lia. Kamu hanya bergantung pada Rosalind. Kamu lihat anak Kelas Khusus, yang belajar bersama-sama. Mereka lebih semangat dan saling mendukung. Selama tiga hari ini, Mister melihat persahabatan yang kuat dalam Kelas Khusus. Itu juga bisa mendukung sebuah keberhasilan. Sedang kamu, katanya kamu ini guru, masa gak ngerti hal ini?”

            “Nah, seperti janjinya, yang kalah, akan berhenti mengajar English.” Kata Abdi. Semua memprotes.

            “Hey, Pak! Kita gak pernah dengar itu! Yang saya dengar, yang menang yang ngajar Bahasa Inggris di Kelas Khusus!” Tukas Yoshi. Semua mengangguk setuju. 

            “Hmm, sebetulnya, diluar kelas, saya bikin perjanjian dengan Abdi, bahwa jika dia kalah, dia harus berlutut di depan saya, sementara jika saya yang kalah, saya harus berhenti mengajar English. Itu, sih..”    

            “HAAAHHH??”

            “Bu Lia bercanda…”

            “Perjanjian konyol dan kekanak-kanakan,” Ujar Thoriq, geleng-geleng kepala.

“Tidak. Kami tidak bercanda. Sekarang, saya pamit. Saya akan keluar.” Kata Lia.

            Anak-anak mengejarnya ketika Lia pergi meninggalkan ruangan. Abdi, dengan tenang, berjalan ke ruangan Bu Nina. Sekali lagi, dia sudah merencanakan sesuatu.

Lia berhenti di Taman Bougenville karena langkahnya dihalangi murid-murid kelas khusus.

            “Bu, jangan pergi!”

            “Tapi saya harus!”

            “Lia, kamu gak harus mengartikannya secara harfiah. Berhenti mengajar, bukan berarti kamu keluar dari sekolah ini! Lia gak harus menuruti setiap perintah Pak Abdi!” Kata Yoshi.

            “Bu, Ibu ini orangnya gak gampang nyerah. Saya ingat ketika balapan Chicken Run itu.” Sahut Lusi.

            “Atau, Lia udah kepikir ngajar di tempat lain, ya? Di SMA DPU, mungkin?” Tanya Thoriq. Semua mengeplak kepalanya.

            “Hey, kalian ini ngomong apa sih? Baiklah, saya lupa ucapkan selamat, kalian telah berhasil melewati tantangan itu, utamanya Raffa yang nilainya paling tinggi…”

            “Ya udah, Bu. Ibu kerjasama aja sama Mister ngajar Bahasa Inggris. Pasti lebih seru. Ya? Ya?” Kata Mariana. Semua mengiyakan.

            “Tapi, dia benar. Pak Abdi benar. Saya gak cukup baik untuk mengirim kalian ke ITB. Saya lemah, saya bodoh..”         

            “Ngomong apa sih?” Sergah Yoshi “Kami juga semua lemah. Tapi ingat gak, kami semua gak akan disini, kalau Lia gak ikutan kelas ini dari awal.”

            “Kelas khusus itu akan kurang, tanpa Bu Lia!” Teriak Lusi.  

            “Lia, Pak Abdi itu memang sarkas. Dia kasar, dingin, kaku dan terlalu berterusterang. Kata dunia begini, ya itulah yang harus dilakukan. Tapi lama-lama, saya mulai mengerti jalan pikiran dia.” Kata Yoshi, semua menyimak. Lia tertegun.

            “Pak Abdi itu, akan hanya marah pada orang yang bersikap berlebihan. Katanya, seseorang harus membantu orang yang sedang menolong dirinya sendiri.” Yoshi menarik napas sebelum melanjutkan “Sebetulnya, Lia  dan Pak Abdi itu cocok. Pak Abdi yang kasar dan penuh perhitungan, sedangkan Lia sensitif dan ceroboh. Itu keseimbangan yang keren!”

Semua tersenyum.

            “Anak-anak!” Teriak Bu Nina. “Hey, Anak-anak, dengar ini. Saya dapat surat dari Abdi untuk Lia.”

            “Saya bacakan, ya! Hm!hm!” Bu Nina mengubah suaranya jadi tegas seperti Abdi.

            “Dengan hormat, saya memang meminta kamu berhenti mengajar English, tapi saya tidak pernah memintamu pergi dari SMA BS. Mulai sekarang, Lia Dahlia, akan membimbing murid-murid belajar soal-soal Tes Potensi Akademik di Kelas Khusus.”

            “HAAAAHHH!!” Semua mendelik.

            “Eeh, tunggu Bu Nina, saya gak pernah ngajar… Ilmu Psikologi kayak gitu..”

            “Nih, langsung dijawab: Pengalaman, tidak menjadi soal. Saya sudah siapkan metode rahasia untuk mengajar. Sekian dan terimakasih.”

Bu Nina melipat surat itu,

            “Nah, begitu ya Lia. Ini bukan saja perintah Abdi, tapi perintah saya!”

Lia terpaku. Dalam hatinya bingung, tapi juga bahagia. Ternyata, dia masih dibutuhkan di sini, terutama di Kelas Khusus. Jujur, dia memang sudah tidak bisa mundur, demi melihat wajah-wajah berseri penuh semangat itu. Rasanya tidak tega..

             

**

dragonzakura158dc

 

Bab 4

Keep Going.. Till You Hit The Wall

 

            Tadi malam, setelah murid-muridnya tidur, Abdi memboyong beduk masjid yang sudah tidak terpakai dan dibawa ke dalam ruang tidur mereka. Camp konsentrasi kelas khusus itupun berdentum-dentum karena suara beduk, tepat jam lima pagi. Abdi membunyikannya. Anak-anak yang sudah tahu itu beduk akal-akalan Abdi, tetap tidak mau bangun. Lusi dan Weni malah tertawa cekikikan di balik selimut mereka. Sementara, Thoriq dan Yoshi, tidak terbangun samasekali.

            Abdi tak kehilangan akal, dipukulnya kentongan yang dia pinjam dari pos siskamling di RT-nya, di telinga mereka. Thoriq kesal dan melempar bantalnya ke arah Abdi.

            “BANGUN!! Tidak ada kesuksesan untuk orang malas!!”

Semuanya merangkak terbangun dari kasurnya masing-masing. Abdi menuju  ruangan sebelahnya yang lebih kecil, dimana disana, tertidur dengan nyenyaknya, The Sleeping Beauty, Lia Dahlia.

            “Hooi! Asisten! Bangun! Kerja, kerja!!”

            “APAA?? Ini masih malam..” Lia mengigau.

            “Addduuh, gue masih mabok ama tes kemarin..” Kata Thoriq yang menunggu di depan pintu kamar mandi aula, dengan mata terpejam. Di dalam, Lusi sudah setengah jam, belum selesai juga. Weni menggedor pintu.

            “Lus, ngapain lo? Jangan semedi disitu!”

            “Lagian Pak Abdi ngapain sih ngebangunin jam segini??”

            “Sudah! Jangan mengeluh. Kita mulai kelasnya sekarang!!” Seru Abdi yang datang tiba-tiba.

            “Pak ,saya belum mandi!!” Teriak Thoriq.

            “Ke mushala sana, sikat gigi dan cuci muka saja. Kita sarapan dulu. Saya udah masak buat kalian.”

            “HAAAHHH???”

Kelas khusus sementara menjelma menjadi ruang makan.

            “Ini hari terakhir kalian di camp karena saya  anggap kebiasaan buruk kalian sudah banyak yang berubah. Hari ini, kalian boleh pulang ke rumah. Setelah itu, kalian masuk Kelas Khusus Super Pemantapan. Saya kasih tahu, dalam KKSP, kalian berangkat dari rumah seperti biasa, hanya datang lebih pagi, setengah enam. Kalian akan sarapan dulu di sekolah. Sekarang, lihat baik-baik menu sarapan ini..”

            Anak-anak menatap makanan mereka dengan tidak napsu. Ini terlalu pagi untuk sarapan.

            “Sarapan ini, baik sekali untuk kalian. Sarden, mengandung DHA, bagus buat mengembangkan daya ingat dan kemampuan belajar, begitu juga dengan kerang, kedelai, nasi dan susu, semuanya mengandung vitamin B1, B6, B12. Semuanya ini, disebut vitamin otak. Kalian harus makan seperti ini setiap pagi!”

            Anak-anak dan Lia diam sambil sarapan, membiarkan Abdi mengoceh sendiri.

            “Dan, kunyah makanan dengan benar, sehingga urat-urat di otak kalian akan berkembang, nutrisi yang kalian makan, akan cepat mengalir ke otak. Jadi, pastikan kalian mengunyah dengan benar.”

            “Makanan ini darimana, Pak? Yakin deh, bukan Bapak masak.” Celetuk Weni.

            “Memang. Semua makanan ini, disupport penuh dari ibunya Mariana.”

Mariana menoleh kaget.

            “HAH??”

*

            “Nah sekarang, tes pagi, soal Matematika yang kemarin.”

            “Laaagii?”

            “Pengulangan, adalah kunci dasar untuk berhasil. Sekarang, kita ulangi soal ujian yang kemarin, saya sudah siapkan jawabannya, nanti seperti biasa, memeriksa bersama partner grup.”

            “Serius, Pak? Soal yang kemarin lagi?” Tanya Thoriq.

            “Aduh, Pak.  Mending langsung dibahas aja deh. Soal kemarin itu jelas susaaaah.” Saran Weni.

            “Thanks to somebody…” Sindir Lusi sambil melirik Mariana.

            “Maaf  ya, Teman-teman. Ini semua gara-gara gue mau masuk kelas ini, ya?” Mariana berkata lirih. “Kalian semua capek ya mengerjakan soal yang kemarin?”

Yoshi yang duduk di seberang mejanya, menendang kursi Mariana.

            “Gak apa-apa, Dut. Nyantai aja. Udah kerjain lagi. Sekarang musti benar semua kayak kemarin, ya!”

            “Gak usah nendang kursi dong tapinya!” Sentak Mariana dan membalas melempar penghapus ke arah Yoshi. “Tau, ah. Kayaknya gak yakin dapat seratus.”

            “Harus!!” Yoshi memungut penghapus Mariana di lantai.

“Makanya usaha. Mikiiirrr!” Kata Yoshi sambil mengembalikan penghapus itu.

            “E, eh.. Gak bokinan[1] di kelas ya!!” Sindir Thoriq.

Lusi melihat pertengkaran-tapi-mesra keduanya itu dengan hati mendongkol. Selama Mariana masuk kelas ini, Yoshi sering banget membela teman kecilnya itu, baik ketika diserang Abdi, maupun ketika diserang anak-anak. Terasa banget, deh, kalau Yoshi menaruh perhatian lebih pada Mariana.

            “Stop bercandanya. Sekarang, mulai!” Seru Abdi, semua tenggelam dalam soal-soal, kecuali Lusi. Dia loading 5 menit untuk menerima kenyataan itu, sebelum akhirnya, dia memejamkan mata, menarik napas dan mulai mengerjakan.

Lia mendekati Abdi.

            “Pak, Anda seakan menggali dan menggali terus mereka. Mau sedalam apa, Pak? Apa sih rencana Anda terhadap mereka? Kenapa harus Matematika terus yang dites-kan disini? Apa karena Anda dulu masuk jurusan Matematika, jadi Anda merasa Matematika itu spesialis Anda?”

Abdi diam sebentar, kemudian menyerahkan stopwatch pada Lia.

            “Tolong di-handle dulu, saya mau pergi sebentar. Ada janji sama seseorang untuk dijemput.”       

            “Siapa?”

            “Guru spesialis Matematika yang legendaris. Tunggu saja!” Abdi mengedipkan sebelah matanya dan keluar dari kelas. Di parkiran, Abdi melajukan motor bebeknya menuju sebuah rumah tempat Legenda Matematika yang dimaksud.

*

            Lusi mengikuti Yoshi dan Mariana yang pergi makan berdua di kantin. Sementara, Weni dan Thoriq memilih untuk belajar di perpustakaan. Lusi memperhatikan mereka dari jauh. Yoshi sudah benar-benar tidak peduli dirinya. Dia hanya peduli cewek itu. Menyebalkan! Kelas khusus ini jadi seperti sarana mereka untuk kembali dekat. Memang, sebelum dia masuk dalam kehidupan Yoshi, Mariana sudah ada disana. Tapi, sejak jadian, Yoshi total menjauhi gadis itu, demi dirinya. Kenapa sekarang jadi begini? Tuh, malah tuker-tukeran makanan, lagi! Ugh, Lusi makin mendongkol.

            “Mariana! Gak asyik banget lo!” Semprot seseorang tiba-tiba. Mariana dan Yoshi jelas kaget. “Lo masuk kelas khusus biar bisa dekat sama dia!? Munafik lo! Kemarin lo bilang kaga bakalan masuk sana, sekarang malah asyik dua-duaan. Pengkhianat lo!”

            “Eeeh, tenang. Ini bukan seperti yang lo kira!” Mariana membela diri. Seisi kantin melihat pada mereka. Lusi yang berada tak jauh disana juga bengong dengan penyerangan yang tiba-tiba itu.

            “Lo siapa?” Tanya Yoshi.

            “HAH! Dia nanya ‘Gue siapa’?? Apa lo gak cerita, Mar? Syal itu dari siapa?? Hah??!”

            “Cerita dan udah dikasihin, tapi,…” Mariana kelagepan, tidak bisa bicara karena cewek itu langsung menyemprotnya bertubi-tubi.

            “Udahlah! Gue TAHU! Syal itu gak nyampe kan ke dia!? Lo emang suka sama dia, jadi pasti kado itu lo buang, ya kan ?!!”

            “Tunggu, cewek ini siapa, Ndut?” Tanya Yoshi.

            “Ya, ya, lo berdua emang munafik!! Terutama elo, Mar! Lo beneran pengkhianat. Mulai sekarang, gue bukan sobat lo lagi!!” Teriaknya kayak orang stres dan lari meninggalkan kantin.

            “TITAAAA!!”

Setelah Tita pergi, semua bernapas lega dan melanjutkan aktivitasnya.

            “Jadi, itu yang namanya Tita?” Tanya Yoshi.

Mariana mengangguk lemas, lalu menepuk jidatnya sendiri.

*

            Rumah Delmora Digdaya, Sang Legenda Matematika itu sepi. Di depan, masih terpasang plang “Rumah Cerdas Delmora”. Seingat Abdi, dua tahun lalu dia kesini, tempat ini masih ramai. Ini sanggar tempat dimana Sang Legenda mendirikan klub Matematika untuk pelajar. Ya, sebetulnya, semacam les Matematika, tapi dengan metodenya sendiri. Abdi cukup kenal dengannya. Bukan, lebih dari cukup, Abdi sangat sangat mengenal Pak Delmora, sejak dia berusia 7 tahun.

Sang Legenda, adalah guru Matematika Abdi ketika SD. Cara mengajarnya masih sangat lekat dalam ingatan. Gara-gara Pak Del, dirinya jadi berminat pada ilmu Matematika dan sempat keterima di ITB jurusan Matematika. Sayang, dia melewatkan kesempatan bagus itu dengan mengabaikan belajar.

            “Permisi….” Abdi mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Pintu depan itu dibiarkan terbuka. Ruang-ruang yang dulu dipakai untuk kelas-kelas, masih utuh, hanya sepi. Rumus-rumus buatan Pak Del masih terpajang rapi di dinding. Ada apa gerangan, Abdi bertanya-tanya.

            “Pak..? Pak Del…?” Abdi terus masuk ke dalam.

            “Saya tahu kamu datang. Sudah tercium baunya.” Kata sebuah suara. Abdi menoleh. Pak Del keluar dari sebuah ruangan gelap seperti bayangan hantu. Dandanannya tidak berubah. Dari dulu, dandannya seperti itu; Pakaian Pencak Silat lengkap dengan pecut di tangan. Selain terkenal sebagai Legenda Matematika, Pak Del juga aktivis penggiat Seni Bela Diri Pencak Silat dan Kuda Lumping. Karenanya, penampilannya sangat sangat nyentrik.

            “Apa kabar, Pak?” Abdi mencium tangannya.

            “Baik,” Lelaki tua itu terkekeh “Kamu apa kabarnya, Nak? Kok baru sekarang kesini?”

Abdi menyulut rokoknya sambil melihat sekeliling. Ada apa dengan tempat ini?

            “Sepi, ya?” Tanya Pak Del sebelum ditanya “Saya sudah bubarkan sekolah ini. Saya ingin istirahat, berhenti mengajar Matematika. Kamu tidak usah tanya saya apa sebabnya.”

Abdi menatap gurunya itu.

            “Tapi,…”

            “Saya sudah bilang tidak.”

            “Saya mohon, Pak.” Abdi memelas “Saya minta dengan hormat, Bapak datang ke SMA BS untuk mengajar anak murid saya yang akan masuk ke ITB.”

            “ITB?” raut wajah itu berubah. “Kenapa harus mereka?”

Abdi menceritakan secara singkat kenapa sampai dia berbuat sejauh ini, untuk anak-anak itu. Pak Del manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggot putihnya yang panjang.

            “Tapi, menurut saya, metode saya sudah ketinggalan jaman. Lihat, sudah tidak ada lagi yang mau mendaftar di sekolah ini. Mereka beralih pada metode dari luar negeri. Tidak ada yang menghargai metode saya.” Gumamnya lirih. “Metode saya, dibuang seperti sampah. Karenanya, saya pikir, saya harus menyerah dan berhenti mengajari Matematika dengan metode itu. Dua tahun lalu, saya berjuang untuk berhenti dan saya berhasil. Sekolah ini perlahan akan menghilang, demikian juga ilmu saya.”

            “Pak Tua, saya kesini bukan mau dengar keluhan seperti itu!” Kata Abdi. “Dengar, Pak, apa Anda masih merasa nyaman dengan teori dan metode Anda? Atau malah Anda merasa nyaman diolok-olok seperti itu? Baik, jika Anda berdiam seperti ini, orang juga gak akan peduli, Anda akan mati atau hidup.”

            “Eeeh, jaga mulutmu!” Sentak Pak Del “Apa-apaan sih kamu! Anak kecil ngomong seperti itu!”

            “Saya hanya mau bilang, Pak, semua anak yang belajar sama Bapak, yang berhasil Bapak kirim ke ITB masih tertulis disana, di tembok itu. Bahkan, nama saya juga ada disana meski saya sudah di DO. Itu BUKTI, bahwa Anda mampu! Teori Anda terbukti BISA! Artinya, Anda masih punya harapan, dan karenanya plang ‘Rumah Cerdas Delmora’ masih terpasang didepan! Atau…”

Abdi menunjuk pada tembok berisi nama-nama.

            “Atau semua nama-nama ini BOHONG! Nama-nama ini Anda karang sendiri??”

Pak Del menatap tajam bekas anak muridnya ini. Abdi tak mau kalah, dia juga balas menatap gurunya itu.

            “Kamu kira, mengajari murid-murid SMA dengan nilai rata-rata 3, itu mudah? Kamu nekat mengirim mereka ke ITB!”

            “Benar, saya memang nekat. Karena itu saya sukses jadi pengacara.” Jawab Abdi.

            “Kamu yakin mereka bisa?”

“SANGAT YAKIN!”           

“Kamu tidak akan terganggu dengan cara mengajar saya yang mungkin agak sedikit ekstrim??”

            “Tidak!”

            “Baik,” Pak Del memukulkan pecut kuda lumpingnya ke lantai sehingga suara cetar membahana, menggelegar dalam ruangan itu.

“Metode penjejalan materi pada siswa adalah satu-satunya jalan! Kamu harus menjunjung idealisme ini dengan penghargaan yang tinggi!”

            “Pastinya, Pak! Cara apalagi yang lebih bagus daripada menjunjung tinggi idealisme kita?”

*

 

            Bubaran sekolah. Thoriq melihat teman-temannya pulang dengan riang gembira dari balik jendela Kelas Khusus. Sementara mereka sedang belajar Bahasa Inggris dengan tenang dibawah pengawasan Lia. Jam dua siang ini, adalah jadwal mereka belajar Bahasa Inggris.

            “Adeeeuuh, mereka enak banget pulang..” Keluhnya “Lah kita?? Belajar English. Yoshi, lagu apa yang bakal kita nyanyikan? Are You Lonesome Tonight? Atau No Woman No Cry? C’mon Yosh, mainkan terompet lo!”

Yoshi tidak mendengarkan celotehan Thoriq yang lagi stres. Dia sibuk belajar dan sesekali bertanya pada Mariana.

            “Ndut, ‘That’ disini nih maksudnya apa?”

            “Yang mana?” Mariana mendekat ke meja Yoshi.

Lusi melirik mereka dengan kesal. Mereka makin dekat. Kenapa sih Yoshi gak nanya ke gue aja? Sebal!

            “Hmmm,” Mariana berpikir sebentar, “Ngeliat tempatnya di situ sih kayaknya dia relative clause deh..”

            “Jadi jawabannya ‘So That’, gitu? Pakai SO, gitu?”

            “Bisaaa,… Tapi bentar dulu, kalau misal kalimatnya berubah jadi…”

Yoshi dan Mariana asyik diskusi, ada dering berbunyi. Itu dari hape Weni. Weni melihatnya dan matanya mendadak berbinar.

            “HAAAAHH, Yuki Kato mention gue!! Woy, guys! Yuki Kato balas mention gue!!” Weni berteriak full power.

Tapi sepi. Tidak ada yang menanggapi. Wenipun merengut dan memasukkan hapenya lagi ke saku. Ternyata, Yuki Kato tidak sekeren dan sebeken itu di mata teman-temannya.

           

            Pintu terbuka. Rupanya Abdi yang masuk dan dibelakang Abdi, ada seorang kakek tua berwajah tirus, dengan dandanan mirip pemain Kuda Lumping, masuk ke ruang kelas. Lia berdiri dan mengangguk hormat pada orang itu. Beberapa guru mengintil dari belakang dan tidak berani masuk kelas khusus. Mereka mengintip dari luar.

            “Siang, Anak-anak! Saya perkenalkan, seorang guru Matematika, yang akan mengajar kalian di Kelas Khusus Super Pemantapan. Dialah Legenda Matematika sepanjang jaman. Sambutlah, Pak Delmora Digdaya!!”

Anak-anak bertepuk tangan meriah. Tiba-tiba, CETARRR!! Pecut itu membahana menyentuh lantai. Anak-anak spontan mengkeret.

            “Tidak usah bertepuk tangan! Saya bukan artis!” Seru Pak Del. “Kenalkan, nama saya, Delmora Digdaya, berjuluk Setan Matematika dari ITB!”

            “Dari ITB !?”

            “SETAN?”

            “Aneh,” Desis Yoshi “Gak ada orang yang mau menyebut dirinya ‘Setan’, baru kali ini…”

            “Ini, adalah kumpulan tugas pertama kalian!!” Gelegar Pak Del sambil menepuk buntelan hitam yang dibawanya, lalu membuka ikatannya.

            “Kamu hanya perlu memecahkan, memecahkan dan memecahkan soal-soal ini!”

Anak-anak kaget. Kertas-kertas itu berwarna kekuningan dan lecek.

            “E, busyeeet!!” Seru Thoriq “Itu oleh-oleh si Buta Dari Goa Hantu ya, Pak?”

            “Aduuuh plis, deh…” Weni buka suara “Kita udah capek, ngerjain soal dari Pak Abdi!”

CETAARRR!!

            “Kalian anak-anak lemah!” Seru Pak Del. “Kalian harus menyelesaikan semua soal ini seperti mobil di balapan F1. Bercita-cita masuk ITB itu, berarti kalian harus siap seperti mesin hitung!”

            “Hey, Pak Tua, siapa yang mau jadi mesin hitung?” Tanya Yoshi.

            “Saya tidak bilang kalian harus jadi mesin hitung,” Kata Pak Del “Saya bilang, harus siap seperti mesin hitung!”

            “Ngomong apaan sih?” Yoshi masih melawan.

            “Kamu budek, apa? Masih muda kok sudah budek?”

            “Ye, bukan gitu maksud saya, Pak. Kita ini manusia, saya gak suka aja dibandingin sama mesin!” Jawab Yoshi.”Kalau mesin kan kita bakal pasif, kita dicetak, diinput,..”

            “Menurut kamu, tanpa inputan, tanpa cetakan, apa yang bisa kamu perbuat?”

Yoshi tidak bisa menjawab.

            “Sebentar, Pak Delmora, saya juga tidak setuju…” Kata Lia.

            “DIAM! Kalian semua, hanya bernilai rata-rata 3 saja, gak usah sok tahu! Gak usah sok membantah! Gak usah sok mengajari saya! Kalau kalian menganggap diri hebat karena pemikiran kalian original, kalian salah! Imajinasi saja berawal dari meniru. Sekarang, kamu mau bilang kalau kamu punya dasar pemikiran yang hebat? Orang yang bilang bahwa dia gak perlu cetakan dan masukan, adalah orang yang malas!”

            “Pak,” Abdi berbisik “Apa gak terlalu keras pada anak-anak?”

            “Lho! Kamu janji kan sama saya, gak akan ikut campur?”

            “Ya, sih..”

            “Kamu sudah sumpah tadi di depan saya, bakalan diam ketika mengajari mereka? Sekarang bilang pada mereka, apa metode yang sudah mendarah daging dalam sistem pengajaran saya!”

            “Anak-anak dengar,” Kata Abdi “Penjejalan materi adalah satu-satunya cara untuk belajar. Itulah metode yang akan diterapkan Pak Del.”

            “HAH??”

            “Ngerti kamu !?” Pak Delmora menunjuk Yoshi dengan pecutnya, Yoshi menepis pecut itu.

            “Pak Abdi, kok jadi begini?” Lia protes.

            “Yoshi,” Panggil Abdi “Jika kamu gak suka, coba jelaskan beberapa kasus yang pernah kamu alami. Sekarang, kami ada diposisi yang memegang power dan kami bisa membuat peraturan. Jika kamu ingin mematahkan kami, kamu jelas harus lebih pintar dari kami! Sekarang,dengan kasus kamu jualan terompet saja sudah terbukti kamu tidak kuat dan tidak pintar makanya kamu kalah sama pedagang itu!”

            “APA? Lo pernah mau jual terompet lo??” Thoriq memotong.

            “Diam, Njing!” Sentak Yoshi.

            “Sekarang,” Kata Pak Del “Murid-murid di kelas saya harus memakai ini,” Lanjutnya, sambil menunjukkan ikat kepala berwarna putih, bertuliskan kata BODOH. “    

            “Apaan, tuh!?” Tanya Thoriq

            “Aisshh, bandana bodoh?” Weni ikutan bertanya

            “Siapapun yang memakai ini, harusnya merasa malu dan harus berusaha lebih keras  lagi untuk the next test. Sangat penting ya, merasa malu jika kamu gagal. Ini seperti piala bergilir, siapapun yang mendapat nilai jelek pada akhir test, dia wajib pakai bandana ini, sampai ada siswa yang dapat nilai terburuk di akhir test, dia bisa menyerahkan bandana ini kepadanya. Mengerti??”

            “Mengerti!!”

            “Palingan yang sering pakai nanti Mariana sama Lusi.” Weni tertawa.

            “Heh! Jaga tuh omongan!!” Sentak Lusi.

            “Siapa yang nilainya paling jelek pada test terakhir?”

Mariana menunjuk tangan. Pak Del menyuruhnya maju dan memasang bandana bertuliskan ‘bodoh’ itu ke kepala Mariana. Seisi kelas tertawa.

            “Cocok! Cocok!” Seru Yoshi.

            “Diam!” Mariana merengut pada Yoshi, lalu duduk lagi dikursinya.

Soalpun dibagikan.

            “Soal Aritmatika SMA. Lima soal, waktu limabelas menit. Kerjakan!”

 

“Sekelompok orang ingin pergi dari  daerah A ke daerah B, menempuh perjalanan..”

“Dalam Parralelogram ABCD, dimana AB lebih besar dari AD..”

“A dan B sedang balapan motor, dimana kecepatan A adalah..”

“Jika sekelompok orang butuh 8 jam untuk memindahkan kardus sebanyak 20.000 buah..”

 

            “Aduh, pusing, euy..” Kata Mariana dalam hati.

            “Gila! Susah juga!” Thoriq melirik Weni yang tekun, sepertinya bisa mengerjakan.

            “Aisshh, ngomong-ngomong Yuki Kato lagi ngapain ya sekarang..?” Pikir Weni, masih sempatnya mikirin Yuki Kato.

            “WAKTU HABIS!!” gelegar Pak Del. Semua menghentikan pekerjaannya. Yoshi meregangkan ototnya, lalu menguap.

Abdi berdiri dan mengambil kertas jawaban mereka dan langsung memeriksanya. Semuanya tegang menunggu. Tak sampai lima belas menit, Abdi selesai memeriksa semua tes barusan dan membagikannya lagi.

            “Ini untuk si bodoh Mariana,”

            “Thoriq Syahdan!”

            “Lusi,”

            “Baik, tak satupun dari kalian yang nilainya sempurna. Saya sangat menyesal!” Tutur Pak Del.

            “Eh, saya dapat 80, nih!” Ujar Thoriq, sambil memamerkan nilainya.

            “Saya juga! 95 malah! Almost perfect!” Weni bangga.

            “DENGAR! Nilai 99 atau NOL itu sama saja! Jika tidak dapat 100, itu tidak ada artinya!” Pak Del memukulkan pecutnya ke lantai, dan suara cetar itu kembali membahana. Lama kelamaan, anak-anak jadi terbiasa dengan suara itu. Sudah kebal dan tidak kaget lagi.

            “Nah, sekarang, siapa yang dapat giliran pakai bandana?” Tanya Abdi. Lusi lirak lirik malu mau menunjuk tangan.

            “Kamu ya, Lus? Nilaimu 60, kan?”

Mariana melihat nilainya yang ternyata 65.

            “YESS!!” Dia berdiri dan menuju meja Lusi. Mariana melepaskan bandana dan memasangkan ‘piala bergilir’ itu pada Lusi.

            “Kamu, orang terakhir yang jadi bodoh di kelas ini, Lus! Selamat!!” Seru Mariana. Lusi merengut sambil membetulkan letak bandananya. Yoshi menoleh ke belakang sambil cengar cengir.

            “Gimana, Yosh?” Tanya Lusi.

            “Cocok banget! Jadi makin kelihatan bego lo!” Yoshi tertawa dan membalikkan badan, lalu menggeser mejanya mepet ke meja Mariana.

            “Sini, Ndut, geser meja lo.  Jawaban yang nomor tiga ini harusnya gimana? Jawaban lo benar kan nomer tiga?”

            “Iya. Jawaban nomer dua gue salah, lo benar. Ayo tukeran jawaban yang benar,” Sahut Mariana, lalu melihat kertas jawaban Yoshi.

            “Ooh, yang nomer 3 ini lo harus mulai dari si C dulu ngitungnya. Gini..”

Lusi melihat kedekatan itu dengan iri. Benci sekali melihat mereka berdua yang sok akrab dan tambah benci dengan bandana konyol ini, yang membuatnya terlihat tambah bodoh. Maka, dilepasnya bandana itu dan melemparkan ke Yoshi.

            “Pak Abdi, saya mau berhenti aja!” Teriak Lusi.

            “Heh, kenapa?”

            “Abis, saya gak rido pakai begini-beginian. Lagipula dari awal, ITB bukan prioritas saya, kok!”

Lia menatapnya tidak mengerti.

            “Kenapa, Lusi?” Tanyanya. Lusi tidak menjawab dan langsung keluar kelas. Seisi kelas terdiam.

            “Lusi malu banget pakai ini, gitu?” Tanya Yoshi sambil memegang bandana itu.

Thoriq berdiri,

            “Gue susul dia. Biasanya, dibeliin bubble tea juga luluh!” Katanya.

            “DIAM!” Pecut Pak Del mengarah ke lantai dekat Thoriq.

            “Duduk kamu! Tidak ada murid yang boleh menyusul dia! Pelajaran kita belum selesai. Sebentar lagi akan ada tes lanjutan soal Trigonometri. Jadi stay here!”

            “Thoriq duduk, Thor.” Kata Abdi, lalu menatap murid-muridnya. “Sekarang kalian mengerti, inti dari pemakaian bandana itu? Siapa yang tidak kuat mental akhirnya terseleksi.”

Abdi tersenyum melihat Yoshi dan Mariana. Karena kalianlah sebetulnya Lusi keluar dari kelas ini, bukan karena malu pakai bandana bodoh, batinnya.

*

            “Bu Nina, Anda harus menghentikan ini! Pak Abdi sudah keterlaluan. Dia memanggil pak Delmora, hanya untuk menakuti anak-anak!” Lia berkata penuh emosi. Abdi meliriknya dan geleng-geleng kepala.

            “Jadi saya musti bagaimana?” Tanya Bu Nina, sambil memijit-mijit kepalanya yang pusing.

            “Ibu harus tegas. Hentikan kelas itu sekarang juga!! Dia, maksudnya Pak Del, selalu memukulkan pecutnya!”

            “Pecut?” Bu Nina panik.

            “Ya, Bu. Suaranya sampai cetar-cetar, gitu. Masa Ibu gak dengar sih?”

            “Lia, jangan melebih-lebihkan. Pak Del hanya memukulkan ke lantai, gak sampai kena ke anak-anak, kan?” Abdi buka suara.

            “Ya, tapi itu cukup bikin anak-anak takut. Sekarang Lusi Nareswari, sudah keluar dari kelas itu. Bu Nina, jika terjadi sesuatu sama Lusi, Anda tanggung jawab!” Kata Lia.

            “Kenapa saya? Ya, ke Abdi dong!” Elak Bu Nina.

Gerombolan guru-guru masuk ke ruang bu Nina.

            “Hallo-hallo.. Saya dengar, Lusi keluar dari kelas itu, ya?” Tanya pak Sudiskam “Berarti, Anda gagal, Pak Abdi. Silahkan Anda keluar dari sekolah ini. Menyerahlah!”

            “Hey, siapa yang bilang gitu? Lusi tidak keluar, dia hanya istirahat.” Sahut Abdi. Lia melongo.    

            “Pak! Lusi itu keluar. Dia ngambek karena malu pakai-pakai bandana bodoh itu. Pak Del juga memukul pecut.  Itu kejam. Hukuman terkejam yang pernah saya tahu!” Kata Lia.

            “Kamu memang bodoh, Lia. Lusi keluar bukan karena pakai bandana itu. Ini masalah cinta. Kamu tuh kayak gak pernah muda aja, sih! Gak pernah pacaran, ya?” Kata Abdi.

            “Apa??” Lia marah dikatain gak pernah pacaran.

            “Oke, begini, jika dalam waktu tiga hari Lusi gak hadir juga dalam kelas khusus, berarti bubar!” Seru Pak Sudiskam “Dan anak-anak kelas khusus, akan kembali dalam kelas reguler. Begitu, ya Bu Nina?”

Bu Nina hanya menarik napas. Dia bingung dengan segala kontroversi yang tak kunjung usai ini. Dia malah melihat-lihat brosur dari tour and travel yang menawarkan wisata belanja seminggu di Paris. Dia ingin refreshing…

            “Saya akan cari gantinya.” Kata Abdi.

            “Tidak semudah itu!”

Di pintu, berdiri Sherwin Raffa. Ketika semua guru melihatnya, Raffa cengar-cengir.

            “Mau apa, Raffa?” Tanya seorang guru.

            “Ah, enggak Pak, cuma pas tadi lewat kenapa ada rame-rame jadi saya mampir. Ya udah saya pergi..”

Raffa lari terbirit-birit.

            “Saya tahu, dia ingin masuk ITB.” Kata Abdi. Guru-guru tertawa.

            “Yang mimpi Raffa atau Abdi ya? HAHA!”

            “Sudahlah Pak Abdi, daripada berdebat, sekarang cari saja Lusi, buktikan kalau dia bisa diajak masuk lagi ke kelas itu.” Kata Pak Sudiskam.

            “Saya jelas gak akan pergi. Saya harus mengawasi anak-anak yang sedang diajar Pak Del.” Kata Abdi, lalu melirik Lia. “Ntar ada yang kena pecut, gimana?”

            “Jadi, saya??”

            “Terserah.”Jawab Abdi singkat. “Saya gak butuh anak yang kembali ke kelas karena terpaksa.”

            “Ya, udah, ini tanggungjawab saya sebagai gurunya. Saya akan cari dia!” Lia keluar ruangan.

            “Ingat ya Pak Abdi, tiga hari lagi, lima siswa harus hadir dalam kelas.” Guru-guru meninggalkan ruang Bu Nina.

*

            Lia berjalan menyusuri koridor, bermaksud pergi mencari Lusi. Yoshi melihat dan menyusul langkahnya.

            “Lia!” Panggilnya. Lia menoleh.

            “Mau cari Lusi, ya? Saya ikut.”

            “Jangan. Pak Abdi bakal marah kalau kamu gak di kelas nanti.”

            “Gak apa-apa, saya ijin nanti. Lagipula, saya tadi udah ngatain Lusi, saya menyesal. Saya ini cowoknya, tapi tega kayak gitu.” Kata Yoshi. “Saya tuh cuma ingin, dia gak terlalu manja sama saya.”

Lia diam sebentar.

            “Ya udah, ayo kita berangkat.”

Mereka berjalan beriringan.

            “By the way, emang kamu mau cari kemana?”

Lia menggelengkan kepala.

            “Gak tahu juga. Mungkin ke rumahnya.”      

            “Dia gak bakalan pulang ke rumah.” Kata Yoshi. “Saya tahu, dimana tempat yang bakal didatangi Lusi kalau lagi galau.”

*

            Di kelas, hanya tinggal bertiga, Mariana, Weni dan Thoriq, mengerjakan soal-soal Trigonometri yang memuakkan.

            “Gue mau cari Lusi juga kayaknya,” Kata Thoriq.

            “Halah, lo sih emang pengen aja bolos kaya si Yonce,” Tukas Mariana.

            “Aduh, ketahuan gue..”

CETAARRR!! Suara pecut itu lagi.

            “Jangan ngobrol!! Kerjakan cepaaat!” Pak Del murka. Thoriqpun mengkeret.

*

Lia memandang gedung empat lantai itu. Musik jedar jedur terdengar dari bawah sini. Yoshi menunjuk ke atas.

“Ini tempatnya. Dulu, Lusi selalu disini sebelum pacaran sama saya.”

“Dia anak dugem?” Tanya Lia.

“Lebih dari itu. Parah pokoknya. Ayo masuk.” Kata Yoshi. Tanpa sadar, Lia memegangi tangan Yoshi dan melangkah masuk ke gedung itu.

Di dalam,

            “Hallo Yoshi!! Kemana aja, lama gak keliatan?” Sapa anak-anak tanggung itu, yang sedang party-party. Lia memandang sekeliling dengan tatapan ngeri.

            “Siapa nih, Yosh? Pacar baru, ya? Kok udah tua?”

            “Gue cari Lusi, dia kesini, gak?” Tanya Yoshi, tak menghiraukan pertanyaan mereka.

            “Oh, gue liat tadi. Langsung ke lantai tiga kayaknya. Biasa, sama the pinky sweety.” Jawab seseorang.

            “Ayo.” Ajak Yoshi.

            “Apa itu the pinky sweety?” Lia bertanya. Yoshi berusaha melepaskan gandengan tangan Lia karena merasa risih.

            “Ntar kamu juga tahu. Sebentar, saya ke toilet dulu. Lia langsung aja ke lantai tiga.”

Mereka berpisah, Lia menaiki tangga dengan ragu. Benar. Di lantai ini, dia melihat Lusi, sedang berkerumum bersama cewek-cewek dengan dandanan aneh.

            “Lusi…” Panggilnya. Lusi menoleh dan kaget.

            “Bu Lia! Kok tahu saya disini??”

            “Ayo kembali ke kelas. Semua nunggu kamu.”

            “Gak mau!” Lusi merengut.

*

            Sementara di kelas, yang ada hanya tinggal bertiga itu mulai tidak semangat. Abdi tidak kehilangan akal. Ini harus dibuat permainan lagi agar mereka tidak jenuh dengan soal-soal.

            “Apa kamu sudah mengajari mereka metode pingpong?” Tanya Pak Del. Abdi mengangguk.

            “Wah, Pak Delmora tahu juga permainan pingpong kami?” Tanya Thoriq.

            “Ya tahulah. Saya yang mengajarinya pada orang ini.”

            “OOOO” semua melongo.

            “Jadi, Pak Abdi ini murid Anda juga, Pak Del?” Tanya Mariana.

            “Lucu! Gimana Pak Del waktu mudanya? Pasti ganteng ya? Lebih ganteng dari Pak Abdi!” Cerocos Weni.

            “Diam kalian! Itu sudah lama. Beliau ini, guru saya jaman saya SD.”

            “Kalau permainan kartu?” Tanya Pak Del.

            “Oh, itu belum. Anda mau mengajari mereka?”

            “Main kartu? Saya bisa! Apa, remi, poker? Kiu-kiu?” Tangan Thoriq bergerak seperti mengocok kartu.

            “Bukan itu!” Pak Del mengeluarkan kotak kartu remi. “Perhatikan baik-baik, jangan ada yang berkedip. Dalam permainan kartu ini ada 52 kartu. Jika kita jumlahkan seluruh angkanya, berapa yang akan di dapat?”

            “Hmm…”

            “CEPAT!!” CETAR!!!

            “Oeh, eh, berapa ya?”

Semua menghitung tapi tidak tahu berapa jumlah yang dimaksud.

            “364!” Jawab Pak Del.

            “Ya! Saya baru mau jawab, Pak. 364!” Kata Thoriq.

            “Kalian pasti pernah main kartu Remi, kan?” Tanya Abdi “Jumlah semua angkanya adalah 364, mendekati 365, jumlah hari pada satu tahun.”

            “Tuh, benar gue!” Kata Thoriq.

            “Oh, baru kepikir!” Kata Weni.

            “Aturannya sangat sederhana. Very simple! Kalian, melawan dua orang, berhadapan. Masing-masing pegang satu set kartu. Dipegang dalam keadaan dibalik, ketika akan menjatuhkan ke meja, kalian balik kartu itu, dan lihat angkanya. Misal,”

Pak Del menjatuhkan satu kartu dan terbukalah kartu dua hati.

            “Nih, 2”

Kemudian, jatuh kartu As,

            “Tambah 1 sama dengan 3.”

Lalu jatuh kartu wajik lima,

            “Tiga tambah lima, sama dengan delapan,”

Lalu jatuh lagi sekop enam

            “Delapan, tambah enam, 14. Begitu seterusnya. Dan, yang duluan mencapai angka 364, dialah pemenangnya.”

            “Hampir terlalu mudaaah!!” Kata Thoriq senang.

            “Sekarang cobalah. Bilangan ini dimulai dari satu yaitu kartu As, sampai 13 yaitu kartu King.. Tapi, kalian harus dapat angka 364 secepatnya. Latihan ini akan mengaktifkan otak kamu. Lebih efektif dari latihan soal penjumlahan biasa.”

“Aturannya sama, yang kalah, dia yang pakai bandana bodoh ini. Mulai dari Mariana dan Thoriq dulu. Siap, ya. Mulai!” Pak Del mengkomando.

*

            Di kelab malam..

            “Hey, hey, siapa sih dia?” Tanya seorang cewek anak genk.

            “Dia guru gue. Santai aja, gue yang handle,” Kata Lusi. Lia begidik. Ini sepertinya bukan genk biasa. Tampaknya, the pinky sweety ini genk motor matic. Gawat. Kenapa gak si Abdi aja sih yang kesini kalau begini ceritanya?

            “Sebaiknya Bu Lia pulang aja, Ibu gak pantas ada disini. Saya gak akan balik ke kelas. Yuk, saya antar ke bawah.” Kata Lusi.

            “Lusi!” Panggil Yoshi.

            “Yosh? Oh, lo rupanya yang ngajak Bu Lia? Ngapain lo nyusulin gue? Sana, belajar aja yang tekun sama cewek itu!” Kata Lusi. Abdi benar, pikir Lia. Ini persoalan cemburu. Lusi cemburu melihat kedekatan Yoshi dan Mariana dalam kelas. Ah, kenapa aku tidak peka?, pikir Lia.

*

            Di kelas, Mariana sudah memakai bandana bodoh. Dialah yang kalah dari Thoriq. Kini giliran Mariana melawan Weni. Dan sialnya, Weni yang menang karena telah duluan mencapai angka 364. Diluar kelas, Raffa mengintip bersama Bu Nina, melihat permainan itu.

            “Keren, ya Bu?” Tanya Raffa setelah menyadari Kepala Sekolah ikutan mengintip.

            “Wow, ini metode menarik. Bisa memperlambat Alzheimer, kalo kata seminar yang Ibu ikuti kemarin.”   

            “Sekarang Ibu ikutan aja ke dalam. Ayo saya temani.” Kata Raffa.

            “Enggak ah, malu. Kamu saja,” Bu Nina mendorong tubuh Raffa, namun Raffa bertahan dengan memegang kusen pintu. Bu Nina terus mendorong badan Raffa sambil tertawa-tawa.

            “Thoriq, sekarang kamu lawan Mariana lagi. Dia benar-benar pecundang malam ini,” Suara Abdi, terdengar dari luar.

            “Bentar Pak, saya mau ke bawah beli minuman dulu. Hauuusss..” Kata Thoriq. Abdi menyodorkan uang.

            “Nih, beli minuman sekalian buat semua. Juga cemilan-cemilan. Jangan kelamaan belinya.”

            “Oke dokeh, Bapake!!” Thoriq menerima lembar seratus ribuan itu dengan gembira dan melangkah keluar. Namun kakinya terhenti melihat Raffa dan Bu Nina mengintip.

            “Eitttsss! Ada pengintip! Woy, Pak Abdi, Pak Del, ada pengintip!!”

Raffa dan Bu Nina, lari terbirit-birit.

*

 

“Lus, jangan lebay, deh! Gue ama Mariana tuh gak ada apa-apa. Kalau mau sih udah gue pacarin dari dulu!”

“Ya karena kalian teman kecil makanya lo ngerasa gak bisa sama dia. Padahal cinta banget!!” Teriak Lusi putus asa.

 “Oke, gue teman kecilnya dan kami udah barengan dari belum lahir. Tapi, kenapa gue pilih lo jadi cewek gue? Ya karena gue cintanya sama lo! Puas?? Udahlah, sekarang ikut gue dan Lia balik ke sekolah!” Kata Yoshi.

Lusi menggelengkan kepala dan menunduk. Hatinya sudah terlanjur terluka.

“Hey, berhubung tadi Lusi udah terlanjur bilang mau gabung lagi sama the pinky sweety, gak bisa kalian begitu aja membawanya pergi. Ada tantangannya. Bu Guru yang baik mau melakukannya?” Tanya seorang anggota genk.

“Apa tantangannya? Biar gue yang lakuin buat Lusi,” Kata Yoshi.

“Berhubung ini genk motor khusus cewek, jadi yang melakukannya harus cewek. Ya bu guru ini, deh.”

“Kita main Chicken Run.” Kata mereka. Lusi dan Yoshi kaget. Setahu mereka, Lia tidak bisa samasekali naik motor.

“Wah, jangan itu dong,” Kata Lusi.

“Lusi, lo diam. Sekarang urusannya antara guru lo dan kami. Kalo guru lo mau nerima dan menang, lo boleh balik ke sana.”

“Oke, saya terima!!” Kata Lia.

“IBU!!”

“LIA!”

Lusi dan Yoshi berteriak.

 

Diperjalanan pulang ke sekolah,

“Yoshi, memangnya permainan Chicken Run itu kayak apa, sih?”

Yoshi tersenyum kecil. Itulah Lia, yang ceroboh dan selalu anggap enteng sesuatu. Yoshi tak mau berkomentar lagi.

“Entar, kamu tanya sama Pak Abdi aja apa itu Chicken Run.”

*

            Lia menghampiri Abdi yang sedang meminyaki rantai dengan oli. Abdi mendongak.

            “Kenapa?”

Lia menceritakan apa yang terjadi semalam sampai akhirnya dia menerima tantangan main Chicken Run.

            “HAH? Kamu mau main Chicken Run?” Abdi kaget.

            “Emangnya Chicken Run itu apa??”

Abdi lalu bilang, bahwa Chicken Run itu balapan motor di jalan yang lurus dan berakhir di tembok. Yang menginjak rem duluan dalam balapan, dia kalah. Mereka, harus menginjak rem disaat hampir di garis yang ditentukan, yaitu di ujung tembok,

“Sudah saya duga….Jadi, saya harus naik motor?”

            “Ya, dan kamu bisa??”

Lia menggeleng. Abdi sudah menduga. Dia lalu menyerahkan kunci motor pada Lia.

            “Pakai motor saya buat latihan. Kapan racingnya digelar?”

            “Dua hari lagi. Tapi…., saya bisa gak yaaa?” Lia mulai ragu.

            “Segampang kamu menerima tantangan itu. Ingat,  keep going, untill you hit the wall. Jangan pernah mengerem di tengah racing karena kamu akan kalah. Mengeremlah saat kamu hampir menabrak batas yang ditentukan.”

Abdi meninggalkan Lia. Sambil melangkah dia berkata bodoh pada cewek itu. Tapi kemudian dia merasa salut, karena Lia mau melakukan itu, untuk Lusi.

*

            Disaat murid-murid jogging pagi hari di lapangan Bougenville, Lia juga mati-matian berlatih naik motor. Dia pernah bisa naik motor dulu ketika SMA. Sekarang, hampir lupa. Apalagi, motor Abdi bukan motor matic. Motor bebek yang beratnya naudzubillah. Berkali-kali Lia jatuh dan berusaha menegakkan motor itu lagi.

            “Lia! Kalau motor saya rusak, kamu harus ganti!” Teriak Abdi.

Tepat jam 8 pagi, setelah mandi dan sarapan, mereka memulai kelas khusus mereka.

            Di kelas, tersisa empat orang murid. Pak Del membagikan soal. Ini tidak seperti biasanya. Ini metode lain lagi dari Pak Delmora. Soal Matematika IPA berjumlah 15 soal dan harus dikerjakan dalam waktu 22,5 menit. Berarti, 1 soal mereka harus mengerjakan dalam waktu 1 menit 30 detik.

            “Saya membagikan 2 lembar. Lembar pertama adalah soal, lembar kedua, adalah jawabannya. Tapi, ketika mengerjakan latihan soal itu, kertas jawabannya dibalik dulu. Ketika kalian tidak bisa menjawab, kalian intip lembar jawabannya, kemudian kembali mencoba mengerjakan. Ingat, lembar jawaban, hanya berisi jawaban, bukan berisi cara mengerjakan. Tugas kalian ya mengerjakan sampai ketemu hasil yang sama persis dengan kertas jawaban. Mengerti?”

            “Jika kita melihat lembar jawaban, tapi tetap gak ngerti, gimana Pak?” Tanya Weni.

            “Berarti kamu memang bodoh!” Jawab Pak Del, membuat Weni merengut. Semua menoleh padanya sambil cekikikan. Pecut Pak Del kembali membahana.

            “Kalian jangan cekikikan meledek. Belum tentu kalian juga bisa! Gunakan 30 detik pertama untuk memahami soal, jika bisa langsung kerjakan, jika tidak, lihat lembar jawaban. Jika sudah tahu jawabannya, mulai menghitung dan menjawab. Pada latihan pertama ini, mungkin kalian akan tekor waktu. Tapi lama kelamaan, makin sering latihan, kalian akan bisa mengerjakan semua soal dalam waktu 22,5 menit, atau bahkan kurang dari itu. Sekarang, mulai!”

            “Dalam persamaan pertama, X2 + 2X…” Yoshi mengerut alis.

            “Dalam persamaan X2 + 2X – a = 0 adalah…” Mariana memangku tangan. Aduh, gak ngerti nih gue..

            “Jika a adalah..” Thoriq berpikir keras.

            “Hmm, apa jawabannya kita harus mensubtitusi x ini dengan -3?” Kata Weni dalam hati.

            “Oke! Sekarang, coba liat lembar jawabannya..” Perintah Pak Del.

Semua melihatnya dan jawabannya adalah x = – 3.

            “YESS!!” Seru Weni. Semua menoleh.

            “Benar, lo?” Tanya Yoshi. Weni mengangguk-angguk.

            “Nah, seperti itulah. Jadi, dalam waktu 30 detik, kalian sudah membaca dan memikirkan jawabannya. Begitu melihat kertas jawaban, kalian sebetulnya sudah tahu apakah jawaban kalian tadi benar atau salah….”

 

            Istirahat, Yoshi membicarakan soal kekhawatirannya pada Thoriq dan Weni. Lia akan melakukan tantangan berbahaya untuk mengembalikan Lusi ke kelas ini.

            “Dia nekat, tahu!” Ujarnya. Semua saling pandang.

            “Gak boleh ada yang gantiin? Misal, Pak Abdi?” Tanya Thoriq.

            “Gak,” Yoshi menggeleng. Karena itu genk motor cewek, maka yang harus balapan ya musti cewek.

            “Sebetulnya, gue gak terlalu setuju Bu Lia menerima tantangan itu,” Kata Weni “Apalagi hanya untuk memaksa Lusi balik ke kelas ini. Kalau dia memang niat masuk ITB, dia gak bisa menggunakan alasan karena seseorang.”

            “Ya juga, sih,” Kata Thoriq “Tapi lo tahu, Lusi tuh masuk kelas ini karena ada Kakanda Yoshi. Terus, racingnya gak bisa dibatalin, gitu, Yosh?”

            “Ya, gimana lagi? Udah terlanjur. Ohya, gue jadi mikir tentang Lia, meski sebetulnya seperti menentang kelas ini, tapi aslinya, dia mendukung. Buktinya, dia mau melakukan itu untuk Lusi supaya kembali. Supaya kelas ini gak dibubarkan karena kurang murid.” Kata Yoshi.

            “Aslinya, dia mendukung, Yosh. Bu Lia itu supervisornya Pak Abdi, dia akan protes, ketika Pak Abdi mulai menyakiti kita. Terasa, kan?” Kata Weni.

Mereka mengangguk-angguk.

            “Ohya, Yosh,” Thoriq celingukan, “..mumpung gak ada si Mardut, gue mau bilang, kalau kedekatan lo sama si Ndut, bisa aja bikin Lusi cemburu. Lo kudu hargai perasaan Lusi, dong. Dia kan cewek lo. Lo sering gue sindir dalam kelas gak ngerasa, ya!?”

            “Iya, nih. Gue aja yang bukan Lusi, risih lihatnya! Lo berdua mesra banget! Duduk deketan, belajar bareng, ke kantin bareng, mana se-grup lagi!” Protes Weni.

            “Emang gue sama si Ndut mesra, gitu? Masa, sih? Perasaan biasa aja, deh!” Elak Yoshi.

            “Ya elo biasa aja, orang lain terganggu.” Timpal Thoriq.

Kemudian, Yoshi berjanji akan lebih hati-hati lagi. Yoshi mengakui, bahwa masuknya Mariana ke kelas khusus itu seperti mengembalikan masa-masa kedekatan mereka berdua, sebelum dia jadian dengan Lusi. Thoriq menepuk pundaknya.

            “Ngomong-ngomong, kapan sih balapannya?” Tanya Thoriq.

            “Besok.”

            “BESOK!?”

*

            Lia sudah di parkiran motor, akan menuju ke tempat balapan yang ditentukan. Thoriq, Weni dan Yoshi minta ijin Abdi untuk mendampingi Lia balapan. Jadi, di kelas nanti hanya akan ada Mariana. Abdi tidak keberatan asal setelah balapan selesai, mereka harus segera kembali ke kelas. Abdi mendekati Lia.

            “Lia, nanti disana, mereka tidak akan mengerem sampai menabrak tembok.” Katanya. Lia hanya diam, sambil memakai helm.

            “Sebetulnya, kamu tidak perlu melakukan ini demi Lusi. Kita sudah ada di tahap KKSP. Kita sudah melalui masa mempertahankan Kelas Khusus ketika Mariana masuk. Jika dalam tahap ini ada lagi murid yang harus dipertahankan, sebetulnya menurut saya tidak perlu. Guru-guru itu tidak perlu menghalangi kelas ini karena pernah terbukti kita telah pernah mendapat 5 murid. Soal nanti sampai akhir kita hanya dapat 1 murid, sebetulnya tidak masalah. Itu seleksi alam. Makanya, sebetulnya saya tidak begitu peduli dengan guru-guru lain. Mereka terlalu mengada-ada untuk mendepak saya dari sekolah ini. Saya yakin, empat lainnya tidak akan pernah mundur lagi.”

            “Tapi,” Lia ragu. Ada hal diluar itu yang membuatnya ingin melakukan ini. Karena Lusi. Iya, karena Lusi. My dearest student..

            “Oke, jika kamu tetap ingin melakukan itu, silahkan. Ingat ya, jangan berhenti, sampai kamu menabrak temboknya! Itu aturan dalam setiap balapan Chicken Run. Ingat, bertahanlah, jangan mengerem duluan, sampai kamu menabrak temboknya!”

            Yoshi sudah siap diatas motor milik Abdi, menunggu Lia yang akan diboncengnya. Di sebelahnya, Thoriq sudah berboncengan dengan Weni siap juga berangkat. Mereka bertiga akan mendampingi Lia, menyaksikan balapan itu.

            “Yonce!” Mariana berlari menghampiri Yoshi. “Nce, Lusi itu sebetulnya cemburu sama kita, kan? Bukan karena bandana itu?”

            “Enggak tahu.” Jawab Yoshi.

            “Tolong bilang sama dia, kalau kita gak ada apa-apa. Ya?” Mariana menatap Yoshi, berharap.

            “Gitu aja? Ada pesan-pesan lain? Mie Goreng sama Jus Jeruk?” Goda Yoshi “Ya, ntar gue bilang gitu ke dia.”

            “Ayo berangkat!” Kata Lia lalu duduk di boncengan Yoshi.

            “Kalian semua, hati-hati, ya!” Ujar Mariana pada semua, tapi tatapannya tetap ke Yoshi. Mereka berempat berangkat dan Mariana kembali ke Kelas Khusus. Dalam kelas, Mariana lebih banyak diam. Dia merasa jadi orang paling munafik saat ini, karena ketika melepas Yoshi pergi tadi dan menyuruhnya bilang pada Lusi bahwa mereka ‘gak ada apa-apa’, ada sebagian dirinya yang hilang dan hampa. Seperti  tidak yakin, jika diantara dia dan Yoshi memang tidak ada apa-apa.

            Mereka tiba di tempat yang ditentukan. Di sebuah jalan perlintasan yang sepi dan lurus, di dekat sebuah perumahan baru daerah Batununggal yang jauh darimana-mana. Dari tempat mereka berdiri sekarang, terlihat mobil berseliweran di atas jalan tol. Para anggota genk the pinky sweety sudah menunggu, begitu juga Lusi.

            Yoshi menyerahkan motor Abdi untuk dipakai Lia dan menatap gurunya itu dengan perasaan campur aduk.

            “Hati-hati, ya..” Ucapnya lirih.

Lia membawa motor itu sampai ke garis start yang ditentukan. Lawannya, sudah menggerung-gerung motornya hingga asapnya mengepul. Motor dia matic, sedangkan Lia, motor bebek biasa yang memakai gigi. Entahlah, pikir Lia. Yang penting aku akan berusaha, katanya dalam hati. Weni bersembunyi di balik badan Thoriq karena ngeri melihat Lia akan bertanding.

            “Siaaaapp!!” Kata seorang anak genk memberi komando. “GO!!”

Dan balapan dimulai. Lawan Lia yang memakai motor matic melaju duluan, sementara, Lia melaju lambat karena memakai perseneling.

            Lia memusatkan pikiran untuk tidak oleng dan jatuh seperti pada saat latihan. Perlahan laju motornya bertambah dan bertambah. Di depannya ada sawah membentang. Rupanya ini jalan yang belum jadi. Terngiang perkataan Abdi:

            “Bertahan, jangan mengerem sampai menabrak tembok. Bertahan, bertahan…”

Lia menambah gas. Lawannya di depan sana sudah berhenti tepat di garis jalan yang belum jadi.

            “Bertahan…Bertahan…Jangan mengerem. Tapi, MANA TEMBOKNYAA????”

Lia terus melaju dan melayang, kemudian terlempar ke sawah berlumpur. Semua yang menyaksikan kaget dan berhamburan berlari. Lusi menutup mulutnya.

            “Astaga, Bu Lia!!”

            “LIA!!”

Yoshi, Thoriq dan Weni berlarian menghampiri. Lia merangkak keluar dari lumpur sementara motor Abdi berada sepuluh meter tak jauh darinya. Kakinya serasa patah.

            Yoshi turun ke sawah untuk menolong Lia.

            “Kamu kenapa enggak ngerem??” Tanya Yoshi. Sementara semua anggota genk mentertawainya.

            “Ya, ampun! Kenapa dia sampai jatuh ke sawah? Benar-benar bodoh!”

            “HAHAHA..”

            “Gimana Lus? Guru lo ini gak tau aturan main.”

            “Dia kalah!”

            “Selamat! Lo tetap di genk ini, Lus!”

            “Tidak. Sayalah yang menang,” Kata Lia “Aturannya, yang pertama menginjak rem yang kalah. Ya, kan? Saya tidak mengerem samasekali sampai sawah itu menghentikan saya.”

Semua anggota genk terdiam. Benar juga. Lusi menghampiri Lia.

            “Kenapa, Bu? Kenapa Ibu lakukan ini untuk saya?” Tanya Lusi. “Bu, meski saya gak masuk kelas itu lagi, kan gak ada pengaruhnya apa-apa sama Ibu. Kelas itu juga akan tetap jalan tanpa saya. Ya, kan?”

Lia tersenyum meski badannya serasa rontok dan patah semua.

            “Karena kamu murid saya, Lusi. Saya sudah terlanjur jatuh cinta sama kalian berempat. Saya ingin sekali, apapun caranya, kalian berempat tambah Mariana, bisa sukses.” Jawabnya lalu menatap murid-muridnya. Bibir Lusi bergetar menahan tangis yang akan pecah. Dia terharu sekali mendengar Lia ngomong begitu. Perempuan ini meski tampaknya polos dan lugu, tapi hatinya tulus. Lusi tidak akan melupakan kejadian ini seumur hidupnya.

            “Lia, nih pakai,” Yoshi menyodorkan tisu basah.

            “Heh, kamu udah siapkan ini?” Tanya Lia.

            “Perasaan saya gak enak aja jadi saya siapin.” Jawab Yoshi.

            “Oke, Lusi, kita kembali ke sekolah!!” Teriak Thoriq dan Weni bersamaan.

            “Maaf ya teman-teman, saya harus kembali ke sekolah. Perjanjiannya kan seperti itu.” Lusi berpamitan pada teman-temannya yang memandangnya kecewa. Merekapun pulang.

            “Lusi, heh, dengar, ya!” Kata Yoshi di perjalanan pulang “Sekali lagi gue tegasin: Gue sama Mariana gak ada apa-apa. Awas kalo lo berbuat aneh-aneh lagi, sampai merugikan orang lain kayak gini.”

            “Abis lo gak pernah romantis ke gue, gak seperti ke dia.”

            “Kapan gue romantis ke dia? Lagian, tindakan gue nyusulin lo ke klub itu kurang romantis apa?”

            “Oke, oke, gue percaya.” Tukas Lusi, sambil melirik ke arah Yoshi, lalu tersenyum. Yoshi mengacak rambutnya.

*

 

            Menjelang siang, Yoshi, Thoriq, Weni dan Lusi kembali ke kelas khusus. Disana, Mariana masih duduk tenang mengerjakan soal dan latihan-latihan. Abdi dan Pak Del menatap mereka.

            “Oh, kamu kembali, Lusi? Gimana, mood kamu sudah baikan, setelah kemarin pundung[2]?” Tanya Abdi. Lusi tertawa,

            “Ya, Pak! Saya telah menemukan hal menarik tadi dari Bu Lia,” Jawabnya.

            “Baik,” Kata Abdi “Sekarang semua duduk. Khusus Lusi, saya akan memberi soal dobel sebagai ganti tiga hari kemarin kamu gak masuk kelas ini. Nih!” Abdi menyodorkan satu bundle kertas berisi soal-soal pada Lusi.

            “Bukan Lusi saja, semua juga harus mengerjakan.”

            “HAAAH??”

            “Tanggung jawab bersama. Solidaritas.” Kata Abdi.

Mariana menoleh pada Lusi dan memberikan buku catatan.

            “Nih, buat lo. Gue mencatat semua materi selama lo gak masuk. Silahkan dipelajari.”

Lusi menerimanya, lalu tersenyum.

            “Thanks.”

Thoriq dan Weni melihat gencatan senjata itu dengan hati lega. Selega-leganya. Mereka berdoa, semoga Mariana dan Yoshi bisa menjaga perasaan Lusi, dengan tidak bertindak konyol seperti kemarin-kemarin.

Tak lupa, Pak Del memasangkan bandana bodoh di kepala Lusi sebagai orang terakhir yang harusnya memakai ini, sebelum  Lusi memutuskan keluar kemarin.

Dan, Lia menatap Abdi dan murid-muridnya sambil tersenyum. Ada kebanggaan dalam hati ketika dia berhasil untuk keep going until hit the wall. Karena, dia tidak ingin kehilangan mereka. Murid-murid yang telah membuatnya jatuh hati.

**

 


[1] Pacaran

[2] ngambek

Gambar

Bab 3

Lebih Baik Tidak Melakukan Apapun

“Pak, ini gila!” Kata Thoriq dan geleng-geleng kepala melihat jadwal itu.

“Ini gak mungkin, Pak!” Seru Weni.

“Pak, ini benar-benar gak masuk akal!” Lia memprotes. “Anak-anak gak mungkin bangun jam lima pagi, terus belajar sampai 14 jam kayak gitu!! GAK MUNGKIN BANGET!!”

“Siapa yang bilang gak mungkin?”

Mengejutkan, pemotongan pembicaraan itu datang dari Yoshi, yang sedari tadi diam saja.

“Sebagai orang terhukum seperti saya dan ini menyakitkan, hal itu biasa aja. Hanya 10 hari, kan? Empatbelas jam itu mah cingcay laaah..”

“Yoshi,….” Sahut Thoriq memegang jidat Yoshi “Pikiran lo lagi sehat, kan? Empatbelas jam, lho!!”

Yoshi berjalan menjauh,

“Yang jelas, kita udah nyemplung kesini dan harus basah, ya kan? Ya udah laksanakan. Kerjakan, sekarang!!”

Semua mengikuti langkah Yoshi. Abdi melihatnya. Anak itu benar-benar punya pengaruh.

*

            Sebelum berangkat sekolah, Mariana menyempatkan diri untuk membantu ibunya mengupas kentang. Ibunya bilang bahwa jika dia lulus SMA akan banyak waktu untuk membantunya seperti ini. Mariana menarik napas dan selalu ingat kata-kata Abdi. Dia sebetulnya tidak menginginkan ini, tapi meninggalkan ibunya untuk serius belajar dan kemudian kuliah, sangat tidak mungkin. Jelas, ibu sangat mengharapkannya.

“Apalagi di jaman susah kayak gini, Neng, setelah lulus dari SMA BS, kamu pikir ada perusahaan bagus yang mau terima kamu? Ya, yang paling tepat membantu ibu saja disini.” Ibunya tertawa. “Kamu tuh gak pinter, gak punya bakat apa-apa. Dengar Ibu ya,  semua akan berjalan baik-baik saja, tanpa kamu repot-repot melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi…”

“Bu, berhenti mengatur hidup Neng!” Sentak Mariana, membuat Ibunya kaget. Mariana meletakkan pisau dan beranjak.

“Neng, berangkat, Bu.” Pamitnya.

*

Di Kelas Khusus Pemantapan. Sepuluh hari pertama dalam camp benar-benar sudah dimulai. Abdi mengajari apa dan bagaimana ‘belajar’ itu. Kata Abdi, pagi adalah waktu yang tepat bagi otak untuk mengingat. Jadi, pagi hari baik sekali untuk mengerjakan hal-hal yang serius. Karena otak manusia, bekerja paling baik pada pagi hari.

“Iya! Kayak koneksi internet juga kenceng kalo subuh-subuh!” Komentar Thoriq.

“DAN,” Abdi mengeraskan suaranya “Pelajaran apa yang paling bagus dikerjakan pada pagi hari?” Abdi menunjuk kurva lingkaran yang terpampang di papan tulis,

“Pastinya, MATEMATIKA!”

“Oooohh, Em Jiii!” Semua melenguh.

“Nah, coba pecahkan masalah-masalah aritmatika ini,” Abdi membagikan kertas kepada empat orang murid “Selesaikan seperti ledakan bom. Ini, ada 100 soal, dan waktunya 10 menit saja.”

“HAH? 100 soal, 10 menit??” Tanya Thoriq.

“Enam detik satu soal, itu cukup. Lagipula tinggal silang aja kok.”

“Ya gak bisalah, Pak! Kita gak akan bisa ngerjain 100 soal dengan waktu segitu. Ngaco nih Bapak!” Tukas Lusi.

“Kita belum pernah ngerjain kayak begini, Pak” Sambung Weni.

“Ya, enggak mungkin, Bapak Tua..”

“BERHENTI MERENGEK!!” Bentak Abdi. Abdi memasang stopwatch dan..

“MULAI!”

Semuapun mengerjakan soal-soal itu tanpa bisa protes lagi. Sepuluh menit berlalu, mereka diperbolehkan istirahat selama 15 menit di luar, sementara, Abdi dan Lia memeriksa jawaban mereka.

Lima belas menit kemudian, mereka dipersilahkan masuk kembali. Abdi memegang empat kertas di tangannya dan mulai membagikan.

“Thoriq Syahdan, 70.” Abdi menyebutkan nilai yang mereka dapat.

“Wah??” Thoriq kaget sambil menerima kertasnya.

“Yoshi Arvin, 72.”

“WAAHH!!” Yoshi melotot tidak percaya.

“Lusi Nareswari, paling tinggi, 75.”

“AAAH, ASYIKK! Wooohhoo!” Lusi bertepuk tangan bangga.

“Dan, Weni Dyah, 73.”

“MAKASIH, PAAAK!!” Weni hampir melonjak dari kursinya.

“Tuh benar, kan, kita ini sebetulnya jenius!” Kata Thoriq.

Itu soal-soal anak kelas lima SD. Jelas saja mereka bisa dapat nilai segitu. Jika mereka puas dengan nilai-nilai yang sekarang, berarti otak mereka akan berhenti di kelas lima SD.

“Pantas aja, kalian berjuluk ‘Idiot’. Gak heran.” Kata Abdi.

“Tapi, saya bisa dapat 70, Pak.” Kata Thoriq.

“Iya, tetap saja idiot!”

“Hoi, Pak, berhenti bilang idiot pada kami!” Sentak Yoshi. “Anda tahu, kan? Kami tidak suka belajar, gak tahu cara belajar.”

“Iya, itu namanya idiot! Maksud saya dengan ‘idiot’ adalah, kalian menganggap diri pintar ketika dapat nilai 70.”

“Yeaaah, wajarlah, Pak. Buat saya ini baru pertama kali dapat nilai 70 selama sekolah di BS!” Kata Thoriq.

“Menurut takaran saya, sesuatu yang dibawah 100 itu useless. Nothing!” Abdi berjalan berkeliling. “Jika kalian berbuat satu kesalahan, SATU saja, itu patut disesali dan harus diperbaiki. Kalian ngerti? Saya tidak akan mengatai idiot untuk sesuatu yang tidak jelas. Sekarang kamu semua tahu kan, kenapa kalian ini saya bilang bodoh?”

Abdi berdiri di depan dan menatap mereka satu persatu.

“Berdiri!”

“HAH?”

“Sekarang semua berdiri!”

Ragu, mereka berdiri. Abdi menyuruh mereka membereskan meja dan kursi, kemudian menyusunnya di belakang. Kelas menjadi luas. Lalu, mereka berbaris banjar berempat, berjarak satu depa. Sementara di luar sana, sekolah mulai ramai. Satu persatu murid BS berdatangan. Konsentrasi mereka hampir terpecah, namun Abdi menjaganya supaya mereka tetap konsentrasi pada pelajarannya.

“Matematika itu seperti game. Kalian membencinya sebab kalian pikir Matematika itu rumit dan harus berpikir keras. Ya, betul, memang harus berpikir keras, tapi berpikir kerasnya dibikin seperti game saja. Ini sebuah permainan dimana “jawaban” nya itulah hasilnya seperti kalian memukul lawan pada game, yang akan membuat kamu dapat point dan jika banyak point yang kamu dapat, kamu bisa memenangkan game itu. Anggap saja seperti itu. Ketika kamu berhasil mengalahkan lawan, kamu happy, makanya kamu suka. Math itu sama dengan kamu memecahkan sebuah masalah. Kamu akan merasakan sensasi menjadi pemenang. Thoriq,…”

“Ya, Pak??”

“Apa yang kamu lakukan, ketika kamu berhasil naik tingkatan dalam game?”

“Saya? Saya akan main terus dan terus.”

“Seperti itulah Matematika, Anak-anak! Just enjoy it!” Sahut Abdi. “Kalian bisa menerapkannya disini. Begini, contoh…” Abdi balik badan menghadap papan tulis. Dia mengambil spidol dan menulis,

-2 – (-5) = +3

“Nah, kenapa ini minus, dikurangi dengan minus hasilnya kok plus? Jika kamu memikirkannya terlalu keras, kamu gak akan pernah dapat jawabannya. Jadi, JANGAN DIPIKIRIN!!”

“Matematika,..” Lanjut Abdi  “Seperti kita olahraga. Seperti main pingpong! Kalian gak usah banyak mikir, hanya butuh banyak konsentrasi.” Abdi mengambil posisi seperti orang bermain ping-pong.

“Ayo, semua lakukan kayak Bapak.” Perintahnya “Kamu harus dapat gambaran dengan melakukan ini dan itu penting untuk dapat feel-nya. Ayo!”

Semua melakukan ancang-ancang bermain pingpong. Sementara, diluar kelas itu, banyak murid mengintip kegiatan mereka. Mereka saling menyebarkan berita dan dalam sekejap, berita tentang dimulainya Kelas Khusus Pemantapan tersebar seantero BS. Semua berbondong-bondong untuk melihatnya. Tak terkecuali Mariana, yang penasaran ingin tahu seperti apa kelas itu.

“Thoriq, ambil posisi ini.” Kata Abdi.

“Serius, nih?” Lusi menggumam.

“Lia, kamu juga ikut!” Abdi menoleh pada Lia yang masih menyilangkan tangan ke dada.

“HAH? Saya juga?”

Dengan berat hati, Lia melakukannya. Kini, mereka semua berada dalam posisi ancang-ancang bermain pingpong.

“Oke, untuk pelajaran seperti Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, jawabannya tekstual, tapi dalam Matematika, kalian harus menarik dan mengumpulkan jawabannya di kepala. Makanya, ada metode yang harus kalian gunakan. Berpikir secara terbalik dan memukul bola pingpongnya sebagai jawaban kamu.”

Abdi bergerak seperti orang mensmash bola.

“Sheeeett!!”

Anak-anak menoleh ke belakang, seolah bola itu benar-benar melewati mereka.

“Oke, Yoshi, ½ + 2/5 sama dengan?” Abdi melemparkan bola ke arah Yoshi. Yoshi berancang-ancang sambil berpikir jawabannya.

“Gak tahu!”

“Lusi, 3/2 x 2/3 sama dengan?”

“Ehm, ehm, balikin dulu bagian bawahnya dan bagian atasnya di..”

“Kelamaan! Weni, 2/7 – 1/3 sama dengan?”

“Eeeeeuuh…”

“Thor,”

“Jangan saya, Pak…!” Thoriq gemetaran.

“Lia, kasih pertanyaannya!”

“Eeehhh, oke, ½ : ½?”

“Enggak tahu!!” Thoriq membalas pukulan itu.

Semua yang ada diluar tertawa guling-guling. Mereka melihat itu sangat konyol. Apa-apaan? Belajar kok sambil main pingpong pura-pura gitu. Apa mereka akan berhasil masuk ITB dengan main pingpong?

“Malu-maluin!!” Teriak mereka. Seorang guru muda mencoba mengintip apa yang murid-murid lihat dan dia hampir pingsan ketika melihat ada empat orang murid berhasil direkrut Abdi. Dia segera berlari ke ruang guru untuk laporan.

Mariana berjinjit, berusaha melihat diantara anak-anak laki-laki yang tinggi-tinggi. Dia melihat kelas itu dan betapa kagetnya dia ketika dia melihat sosok Yoshi.

“YONCE..?!!” teriaknya tidak percaya.

“Mereka keren, ya!” Ujar Raffa. “Gila, deh. Udah kaya anak-anak DPU aja pada terpelajar semua. Keren…!”

Abdi mendekati mereka.

“Kalau kamu bilang mereka keren, kenapa gak join aja sekalian??” Tembaknya. Anak-anak bergerak mundur dan satu persatu meninggalkan kelas itu. “Kalian akan mengubah hidup kalian.”

Dan, semuanya bubar. Mariana juga bergegas meninggalkan kelas itu.

“Hey, Mariana!” Panggil Abdi. Mariana menghentikan langkah. “Jadi, kamu sudah memutuskan untuk mau masuk ITB?”

“Ya, enggaklah, Pak. Saya kesini cuma mau ngintip aja kok. Di bawah gosipnya heboh banget soalnya.” Elak Mariana. “Lagian, kenapa bisa Bapak mikir kalo saya sudah memutuskan masuk ITB?”

“Saya bisa lihat dari mata kamu.”

Bullshit!” Desisnya pelan.

“Saya tahu, kamu itu orang yang gampang iri akan kemajuan orang lain dan berusaha untuk mencapai itu sendiri, ya kan? Di luar kamu mencari cara sendiri untuk bisa tembus ITB.” Kata Abdi.

“Sok tahu, Bapak. Apa bekerja keras itu penting? Pak, bekerja keras atau enggak, gak akan ada hasil apa-apa. Mending gak usah ngapa-ngapain!”

“Gitu?”

“Bapak pikir, joget-joget pingpong gitu bagus? Malu-maluin. Saya sih gak mau melakukan itu!” Mariana melengos pergi meninggalkan Abdi. Sherwin Raffa masih terpaku di tempatnya. Mariana berani sekali ngomong begitu sama guru.

“Kamu!” Tegur Abdi. Raffa tergeragap.

“Kamu mau join juga??”

Raffa menolak dengan alasan yang panjang lebar, seperti biasa jika orang bertanya tentang perbedaan dirinya dengan Raffi kembarannya di DPU. Abdi meninggalkan Raffa yang mengoceh seorang diri.

“Cih, konyol banget!” Desis Mariana meninggalkan lantai tiga dan turun ke kelasnya. “Gue gak percaya mereka mau ngelakuin hal bodoh kayak gitu. Dan, Yonce?? Ampuuun!!” Mariana menepuk jidatnya, lalu geleng-geleng kepala. Yoshi yang sok cool, sok keras kepala itu, ikut kelas khususnya Pak Abdi?? Mariana menggerutu sendiri.

“Bukannya mereka tahu, kalo masuk ITB itu hal yang mustahil?? Bego, ih!”

*

            Sementara itu di ruang guru heboh dan mereka sepakat untuk mendatangi Bu Nina dan meminta ketegasan. Abdi Wiriaatmadja bukan guru disini. Dia hanya pengacara. Mereka akan minta Bu Nina menyuruh Abdi untuk menyelesaikan pekerjaannya dan segera hengkang dari sekolah ini. Ini sudah keterlaluan.

*

            “Masalah ada di depan mata kalian,” Ucap Abdi di kelas. “Sekarang berbaris ke belakang, urutannya Lusi, Weni, Yoshi baru Thoriq. Kalian akan bergiliran menangkis bola pertanyaan dari Lia. Ingat! Spontan, cepat, otomatis, mekanis, playfully, enjoy. Oke, lakukan sekarang!!”

Lia mengambil ancang-ancang sambil melontarkan pertanyaan. Satu persatu pertanyaan dari Lia, dijawab dengan cepat dan tepat oleh murid-murid kelas khusus. Mereka berlatih berulang-ulang. Tak terasa, badan mereka berkeringat, benar-benar seperti bermain pingpong, bukan seperti habis belajar Matematika. Mereka tertawa-tawa. Jika ada yang menjawab salah, maka wajah mereka dicoreng dengan spidol.

“2/5 – 1/3 sama dengan?” Giliran Abdi bertindak sebagai pelempar bola. Thoriq berpikir sebentar,

2×3 – 5×1

5×3

            “Sama dengan… 6 dikurangi 5 dibagi 15… 1/15!!” Jawab Thoriq mantab.

“Yoshi, 5/9 x 2/15 sama dengan?”

“2/27!”

“Lia, giliran kamu, question!”

“7/15 x 10/21 sama dengan?”

Giliran Lusi menjawab,

“2/9!!” Jawab Lusi, sambil menggerakkan tangan membalikan bola pingpong ke Lia.

“Weni, hm…hm…” Lia garuk-garuk kepala.

“Ayo bu, saya siap jawab, nih!!” Seru Weni semangat.

“Aaah!! Bapak aja!!”

“Oke, saya lagi,” Ujar Abdi “..buat siapa saja, 1/9 + 1/6 sama dengan…?”

“5/18!” Jawab Yoshi.

Time’s up!!” Teriak Abdi. Semua bernapas lega. “Kalian saya nyatakan sebagai pemenang semuanya!! Ingat, Anak-anak, instan, otomatis, mekanis, begitulah Matematika, seperti melempar dan menangkis bola pingpong!!!”

*

            Abdi sedang menerima telepon ketika beberapa guru menghampirinya. Mereka berbisik-bisik. Tampaknya, ada sesuatu yang direncanakan untuk pengacara yang sekarang bertindak sebagai guru kelas khusus.

“Pak Abdi,” Panggil mereka setelah Abdi selesai menelpon.

“Ya?”

“Hm, kami berencana, mengundang Bapak, makan-makan, untuk menyambut kedatangan Bapak di sekolah ini sebagai guru baru.” Kata Pak Sudiskam. Abdi mengerut alis, heran. Bukannya mereka selama ini memusuhi?

“Begitu?”

“Iya, di restoran Sushi Toki, ya Pak. Malam ini jam 7.” Kata seorang guru perempuan.

“Malam ini? Wah, saya kan harus mengajar anak-anak. Mereka masih dalam program  kamp 10 hari.” Abdi menolak. Mereka kecewa.

“Ya, Pak abdi, usahakan lah. Sejam saja kok. Oke?”

Abdi mikir sebentar sebelum akhirnya mengiyakan.

*

            Keempat anak masih berkutat dengan rumus-rumus Fisika Dasar yang dicoba oleh Abdi untuk dikerjakan. Berbeda dengan Matematika yang hanya diberi waktu sepuluh menit, untuk Fisika kali ini, dia memberi waktu agak lama, satu jam. Weni menggeliat,

“Wuuuaacch! Capek banget!” Teriaknya sambil menguap.    “Enakan mereka yang di kelas reguler, sekarang udah pada nonton tivi.”

“Gue juga ngerasa mulai bosan sekarang..” Desis Thoriq. Dahinya berkerut-kerut dan berlipat-lipat memikirkan soal-soal Fisika di depannya.

“Gak ada yang nanya lo, kali.” Ujar Yoshi.

“Apa?”

“Kalau lo mau keluar ya keluar aja. Gak ada yang maksa.”

Meuni tiis kitu siah maneh[1], Yosh..?”

Lia masuk ke kelas.

“Waktu Fisika sudah habiiiiisss…” Teriaknya, membahana. Anak-anak meletakkan bulpennya. “Kumpulkan secara estafet dan letakkan di meja Weni.”

Lia menatap murid-muridnya.

And now,….One hundred English vocabulary test!”

Again??” Yoshi bertanya.

Yes, there’s no other way, you know? Just do it! Kalian sudah setuju dengan aturan dari pengacara itu, kan? Dia lah yang membuat semua jadwal ini. So, one more to go!”

“Baiklah, Bu..” Kata Weni dan Lusi, hampir bersamaan. Lia tertegun. Sepanjang sejarahnya mengajar di SMA BS, baru kali inilah ada siswanya yang mengucap kata ‘Baiklah, Bu’, seperti tadi. Dan sepertinya, ucapan mereka berdua terdengar tulus sekali. Maka, dia segera menoleh pada keempatnya, yang dengan tekun mulai mengerjakan soal-soal tentang vocab Bahasa Inggris, yang notabene, adalah mata pelajarannya, tanpa ada protes lagi.

Baiklah, Bu’ dan ketekunan yang menakjubkan seperti ini.Wow, indah sekali…! Mereka benar-benar seperti pelajar!!

*

Di sebuah restoran ‘sok Jepang’ yang mungil, Sushi Toki, jam 7 malam. Guru-guru lain yang menjanjikan pesta ini belum datang. Utamanya Pak Sudiskam, selaku ‘Ketua Panitya’ acara penyambutan Abdi sebagai guru baru di SMA BS, belum nongol batang hidungnya. Abdi duduk di salah satu saung yang sudah direserved sambil mengerjakan sesuatu di laptopnya. Tadi, dia sudah meninggalkan tugas pada keempat anak murid kelas khususnya dan janji akan kembali dalam satu jam.

Seseorang masuk dengan tergesa-gesa. Itu Lia Dahlia. Dia celingukan mencari-cari dan Abdi langsung melambaikan tangannya. Lia menghampiri dan duduk di bangku lesehan.

“Belum pada datang?”

Abdi menggeleng dan tetap fokus pada pekerjaannya. Lia lalu bercerita tadi ketika test English, dia mendengar Weni dan Lusi berkata ‘Baiklah, Bu’ dengan nada tulus, dan tidak bercanda. Kemudian, Lia bertambah bangga ketika menoleh pada keempat murid itu, mereka sedang tekun mengerjakan soal Bahasa Inggris. Biasanya, mereka tidak begitu. Mereka selalu mengeluh dan mengomel ketika dikasih tugas.

“Jadi, tadi saya tuh exited banget! Belum pernah murid-murid saya begitu ke saya. Saya berasa jadi guru beneran dan mengajar pelajar, bukan anak-anak idiot!” Seru Lia berapi-api. “Begitu kali ya rasanya mengajar di SMA DPU.”

Abdi cuma bisa memandangnya dengan pandangan ‘kasian banget sih lo’.

Sejam berlalu, guru-guru itupun belum menampakkan diri. Tidak satupun. Abdi mulai gelisah dan melirik jam tangannya. Dia tidak bisa disini terus. Anak-anak pasti menunggunya di sekolah, menunggu perintah selanjutnya.

“Menurutmu, mereka akan datang?” Tanya Abdi. Lia terkesiap. Memangnya, ada kemungkinan tidak hadir?, pikirnya polos. Abdi membereskan laptop dan perlengkapannya.

“Tunggu. Siapa tahu mereka lagi di jalan? Atau sedang ada urusan?” Cegah Lia.

“Kalau begitu, sampai kapan-kapan saja. Saya tidak ada waktu.” Tukas Abdi. Dia merasa dikerjai oleh rekan-rekan guru SMA BS itu. Sialan.

“Pak, Tunggu!!” Kata Lia.

“Mbak, yang tulisan reserved itu dicabutin aja. Ada empat meja. Kalau mau tanya kenapa dicabut, tanya saja sama yang reserved. Oke?”

Si mbak pelayan hanya bisa mengangguk. Abdipun keluar dari restoran itu, diikuti Lia. Benar, tanpa sepengetahuan mereka, guru-guru itu mengintip dari kejauhan sambil tertawa-tawa. Tak tekecuali pak Sudiskam, guru senior yang usianya sudah melampaui setengah abad dan sudah 30 tahun mengajar. Mereka saling tos di udara ketika melihat Abdi dan Lia tergesa-gesa pergi meninggalkan restoran itu.

“Jadi, kita mengerjai Lia juga nih, untuk hal ini?” Tanya seorang guru. Pak Sudiskam tertawa.

“Salah sendiri, berada di pihak Abdi, he he he.”

Abdi sudah berada di motor, siap memakai helm ketika Lia celingukkan di parkiran. Apa dia akan menumpang motor ataukah jalan kaki saja? Restoran ini relatif dekat dengan sekolah. Kalau naik angkutan dekat sekali, kalau jalan kaki, lumayan jauh.

“Hm,” Lia kebingungan.

“Kamu gak bisa nebeng motor saya. Saya gak bawa helm dua.” Kata Abdi, seperti menjawab pertanyaan Lia yang tidak sempat terlontar.

“Eh, enggak. Gak maksud nebeng, kok. Tapi, kalo iya, bisa sih, gak usah pake helm. Saya tahu jalan tikus yang gak usah lewat jalan raya.” Kata Lia, menunjuk sebuah gang kecil. Abdi mikir, kemudian menyuruh Lia naik. Mereka masuk gang yang kata Lia adalah jalan pintas menuju sekolah. Makin menyusuri jalan itu, Abdi merasa kenal dengan jalan ini. Benar. Dia melihat rumah itu. Rumah Yoshi. Ooh, rupanya jalan ini, batin Abdi. Tentu dia sering kesini kemarin-kemarin, tapi lewat dari arah sekolah, bukan dari arah sini.

Limapuluh meter dari rumah Yoshi, ada sebuah warung kecil dengan lampu warna ngejreng meriah, berderet. ‘Warung Nasi Sederhana’ tulisannya. Ketika melewatinya, Abdi sempat melirik ke arah warung itu dan matanya menangkap sosok yang sangat dia kenal. Mariana! Segera saja Abdi mengerem.

“Pak! Apa-apaan, sih! Kenapa mengerem mendadak?” Lia protes. Abdi segera berbalik arah dan parkir tepat di depan warung nasi itu.

Mariana melihat Lia gurunya dan pengacara itu. Hatinya berdesir. Ada apa dua orang itu kesini. Abdi dan Lia kemudian duduk.

“Jadi, disini rupanya rumah kamu?” Tanya Abdi. Mariana diam saja.

“Siapa mereka, Neng?”

“Mereka, guru Neng di sekolah.” Mariana menjawab pelan. Ibunya sumringah bungah. Seperti yang diduga, ibunya berlebihan menyapa mereka dan langsung menyuruh mereka memesan makanan. Abdi meraba perutnya. Kebetulan dia lapar, sejak di Sushi Toki tadi. Tapi, dia tidak rela makan disana, mengeluarkan uang tapi ujung-ujungnya dikerjai guru-guru. Mendingan makan disini. Murah meriah. Mariana membantu mengambilkan makanan yang dipesan Abdi dan Lia. Mereka memesan soto ayam.

“Jadi, begini pekerjaan kamu setiap malam?” Tanya Abdi, ketika Mariana mengantar pesanan.

“Ah, enggak juga, Pak. Ini kebetulan aja yang suka bantu-bantu lagi meriang.”

Abdi dan Lia manggut-manggut. Seseorang datang. Laki-laki dengan dandanan bossy. Ibu Mariana menyambutnya ramah. Kemudian, laki-laki itu duduk.

“Gimana, persiapan untuk membongkar warung ini? Jadinya mulai kapan?” Tanyanya pada ibunya Mariana.

“Ya, secepatnya saja, Pak.”

“Bongkar buat apa, Bu?” Tanya Mariana.

“Ohya, Ibu lupa bilang sama Neng, kalo warung ini dimodalin sama Pak Wiryo ini untuk jadi tempat karaoke. Warungnya bakal berubah jadi kafe, lantai dua tempat karaokenya. Disini kan bentar lagi berdiri apartemen, gak pantes ah, ada warung nasi. Pantesnya ya karaoke. Ya Pak?”

Si bapak hanya tersenyum manggut-manggut, lalu mengerling nakal pada Mariana.

“Neng gak setuju!!” Teriak Mariana. Lantai dua mau dijadiin karaoke? Terus dia tidur dimana? Bareng soundsystem?

“Eeee, apa-apaan kamu, Neng? Kamu gak senang, usaha kita jadi maju?”

“Ya, Mar. Kamu kan nanti gak usah susah-susah masuk kuliah. Udah cukup jadi manajer karaoke aja. Lagian, karaoke itu lebih gampang menghasilkan uang daripada warung nasi.” Timpal Pak Wiryo.

“Pak, gak ada yang bisa menjamin karaoke bisa gampang cari duit daripada warung nasi. Siapa yang mau karaokean disini? Para supir truk dan para pekerja proyek itu? Kalau proyeknya sudah selesai, apa mereka masih ada disekitar sini?  Kami sudah bertahun-tahun dan langganan kami sudah banyak. Tetangga disekitar sini juga banyak yang jadi pelanggan kami. Anda mikir gak? Bapak ini bodoh atau apa?” Mariana berkata penuh emosi.

“HAH!! Anak SMA BS eror-bodoh-idiot itu ngatain saya bodoh?? Apa-apaan, ini?” Pak Wiryo mulai naik darah.

“Neng, jangan gitu sama Pak Wiryo!!” Teriak ibu Mariana. Semua yang ada di warung itu terdiam melihat pertengkaran itu.

“Bu, Ibu jangan langsung percaya begitu aja sama Pak Wiryo. Jangan kasih apa-apa sama dia. Mana sertifikat rumah? Sini Neng yang pegang!” Mariana mulai khawatir akan rumahnya.

“APA??”

“Bu, Neng  udah 18 tahun. Neng tahu apa yang harus Neng lakukan untuk menyelamatkan usaha kita. Rumah ini adalah harta satu-satunya. Kalo ini hilang, kita akan kemana, Bu? Tolong, Bu. Percaya sama Neng, jangan sama orang lain. Neng akan cari cara lain.”

“Aaahh! Anak SMA BS, gak punya masa depan aja nyerocos soal menyelamatkan usaha. Bisa lulus gak pakai hamil aja udah bagus!” Sentak pak Wiryo. Mariana makin curiga dengan pak Wiryo. Pasti ada yang gak beres dengannya.

“Kok Anda tahu, Pak? Kok Anda tahu kalo anak SMA BS yang eror-bodoh-idiot seperti kami gak punya masa depan?” Mariana bertanya dengan bibir gemetar. Abdi melihat drama ini dengan prihatin. Begini rupanya hidup Mariana.

“Mana ada universitas atau perusahaan yang mau menerima anak BS? Memangnya se-Bandung ini gak tahu apa, reputasi kalian seperti apa, hah!?” Wiryo sangat emosi. Dia tidak menyangka usahanya bakal terjegal oleh anak sialan ini. “Perusahaan mana yang mau menerima kerja anak-anak kayak kalian? Hey, dengar ya, anak sok tahu, murid-murid SMK jaaaauuuh lebih bagus mutunya daripada kalian! Makanya, dikasih kerjaan sebagai manajer karaoke aja pake sok nolak segala!”

“Ada universitas yang akan menerima Mariana kuliah.” Abdi memotong pembicaraan “Mariana, bilang sama mereka, bahwa ada sebuah universitas yang akan menerima kamu. Ayo, mereka ingin dengar dari mulutmu.”

Mariana diam sambil menggigit bibirnya.

“Mar, jika kamu mau menyelamatkan tempat ini, ada dua jalan; Membiarkan dirimu berkembang dan membuat dirimu unggul dalam status sosial, atau dibuang dari masyarakat dan menyeret dirimu kepada hidup yang sengara dan lebih sengsara lagi.” Abdi diam sebentar, membiarkan Mariana mikir “Nah, mana yang akan kamu pilih, Mariana?”

“Saya…mungkin saya akan mencoba untuk..” Mariana menarik napas “Masuk ke ITB.”

Semua ternganga tak percaya. Semua yang ada disana tidak percaya. Kecuali Abdi. Dia sudah tahu itu semenjak pertama kali bertemu Mariana dan memberinya uang untuk kerja part-time. Anak terpintar seangkatannya setelah Yoshi. Dia tahu. Sangat tahu. Untuk itu, Abdi hanya senyum saja, sementara yang lain masih memprotes perkataan Mariana yang mereka anggap tidak masuk akal.

*

            Malam itu, Mariana langsung berangkat ke sekolah untuk masuk ke camp 10 hari pertama di Kelas Khusus. Ibu Mariana tentu memprotes, tapi niat Mariana sudah bulat ingin ikut kelas khusus malam itu juga. Sebelum berangkat malah ibunya menyangsikan Mariana akan bisa masuk ITB mengingat anaknya adalah anak yang tidak pintar. Ibu Mariana mengancam jika Mariana tidak dapat nilai 100 dalam tes Matematika, dia tidak diperbolehkan ikut kelas itu. Abdi berjanji, dia akan membuat Mariana mencapai nilai 100 dalam waktu lima hari. Jika itu tercapai, ibu Mariana harus merelakan putrinya ikut kelas khususnya.

Di depan kelas, Abdi mengumumkan jika mulai malam ini, Mariana akan bergabung bersama mereka di kelas khusus.

“Nah, Mariana, baik-baiklah disini, Bodoh.” Kata Abdi, kepada Mariana.

“Apa gak ada panggilan lain selain ‘bodoh’, Bodoh?” Yoshi protes.

“Tenang, dengan manggil Mariana ‘bodoh’ sebetulnya itu pujian buat kalian. Sebelum masuk tadi, saya ngasih tes Matematika yang sama kayak kemarin. Dan dia dapat 55.”

“Ya, ampun… Kenapa diumumin sih??” Mariana mendesis kesal.

“Waaahh!! Berarti, kita lebih pintar dari doski!??” Seru Thoriq.

“Jadi, kalo dia dapat 70 seperti kami, harusnya kami bisa dapat seratus, gitu?” Tanya Yoshi.

“Kalau kamu pikir itu tidak mungkin, maka tidak akan terjadi. Tapi kalau kamu berusaha, keajaiban akan terjadi.”

“Hm,” Mariana tersenyum “Saya selalu dapat jelek Matematikanya, Pak. Tapi ya jangan diumumkan kayak tadi juga kali,”

“Terus kamu mau pulang setelah saya permalukan tadi? Pergi kayak kucing, gitu? Melengos setelah ketahuan mencuri ikan, dan gak berusaha memperbaiki namamu?”

Mariana terdiam. Lalu segera duduk di belakang. Keputusan sudah dia buat. Mariana sudah tidak bisa mundur.

Good!” Kata Abdi.

“Kenapa gue musti terlibat kayak gini?” Desis Mariana.

“Jadi, lima hari kedepan, kita harus bantu Mariana supaya dapat ijin dari ibunya, belajar Matematika SMA dan harus dapat nilai 100?” Tanya Weni.

“Daripada mengeluh begitu tapi kalian terlanjur kecebur, mending basah saja sekalian. Lebih baik tegaskan tujuan kalian daripada belajar males-malesan. Ikuti saja petunjuk saya.” Abdi menatap murid-muridnya.

“Itu kita sih udah tahu. Membosankan, ya Yosh?” Lusi mencari perhatian Yoshi yang sedari tadi tak bisa menyembunyikan kegembiraannya, melihat Mariana masuk kelas ini.

“Yang jelas, kita kudu melaksanakan apa kata orang itu.” Yoshi menunjuk Abdi di depan kelas.

“Yup, memang betul, Yoshi. Jawaban keren.” Sahut Abdi.

“Saya gak ngomong sama Bapak.” Jawab Yoshi, ketus.

Abdi bilang, lima hari ke depan, mereka akan latihan soal Matematika SMA. Mariana ditargetkan dapat nilai 100, jika tidak, dia batal ikut kelas ini, karenanya semua teman harus membantunya. Nanti diakhir hari kelima, Guru-guru SMA BS yang akan ngasih soalnya.

No Protest! Ok! Kita mulai, dengan tes Matematika kelas X!” Abdi membagikan soal.

“Saya memang belum ngasih latihan ini kemarin-kemarin. Tapi kita bisa mencobanya. Kita hanya punya waktu lima hari. Oh, enggak. Kita MASIH punya waktu lima hari. Untuk penentuan kita akan ke tahap Kelas Khusus Super Pemantapan.”

“Berlaku sama untuk ujian SNMPTN nanti, kita bukan ‘HANYA’ punya waktu 7 bulan, tapi, kita MASIH punya waktu 7 bulan tersisa. Kata MASIH mengandung nilai positif dan harapan, itu akan ngasih spirit berbeda ke kita.”

“Kerjakan dengan tenang. Saya kasih waktu setengah jam. Yoshi, nanti tolong kumpulkan jawaban teman-teman. Saya ada di ruang Bu Nina. Setelah itu, kalian bisa makan, dan istirahat.”

Abdi membereskan tasnya. Dan sebelum pergi,

“Ok, semua. 5/3 X ¼?” Tanya Abdi dengan gerakan pingpong. Spontan semua berdiri dan menjawab dengan gerakan menangkis bola pingpong.

“5/12!!”

Good! Selamat bekerja dan sampai besok pagi!”

Mariana melihat keempat teman-temannya dengan perasaan malu. Kemarin dia mengejek mereka bermain-main dengan pingpong stupid itu. Sekarang, mereka bisa menjawab pertanyan perkalian bilangan rasional itu dengan cepat dan tepat. Mariana bertekat, mulai sekarang, dia memutuskan untuk diam saja dan patuh dengan segala perintah Abdi.

*

            Lima belas menit berlalu. Thoriq menguap.

“Aduh ngantuk…! Males sebetulnya…”

Lusi menggebrak meja.

“Gue sebetulnya gak bisa terima. Kita harus belajar Matematika SMA, demi pertaruhan dia dan ibunya!” Katanya menunjuk Mariana yang duduk di belakang. “Gak rido!”

“Gue gak minta, kok!” Jawab Mariana.

“Apa lo bilang?”

“Kalo gak mau ya keluar aja! Harusnya gak ada pengaruhnya antara gue masuk kelas ini atau enggak. Lo ikut kelas ini, cuma pengen duaan aja terus ama cowok lo, kan?!” Kata Mariana kemudian, dia berdiri.

“Selesai!!”

Mariana meletakkan kertas jawabannya ke meja Yoshi.

“Tolong kumpulin ya, Nce!” Katanya.

“Eh, tolong ya panggilan itu jangan keluar di forum terhormat ini.” Tukas Yoshi.

“Kenapa, ada masalah, Yonce?” Mariana melenggang keluar sambil ketawa. Yoshi melempari Mariana dengan gulungan kertas.

“Ngeri deh, kalo kalian mulai panggil-panggilan sayang gitu..” Komentar Lusi.

Yoshi menoleh ke arahnya, “Jangan mulai! Gak suka, gue!”

Lusi merengut.

*

            Mereka diberi ruangan di belakang aula. Sebetulnya ini ruangan untuk backstage, tapi sekarang disulap untuk tempat mereka menginap. Tempat tidur cewek agak terpisah dari cowok dan hanya dibatasi hijab dari kain bekas spanduk. Mirip orang-orang yang tinggal di penampungan. Thoriq asyik bergitar-gitar, sementara Weni selonjoran sambil membuka-buka Tab, nyari-nyari berita tentang Yuki Kato. Dia iri sekali pada cewek itu. Sering bolak balik negeri Sakura untuk ketemu sama  bapaknya. Sementara dirinya hanya bisa bermimpi pergi ke Jepang. Biar sampai lebaran kuda juga gak akan. Sambil merengut, dia mulai rebahan di kasur tipis.

Lusi membasuh rambut yang basah sehabis keramas dan mengibas-ngibaskannya, hingga wajah Thoriq kecipratan.

“Waddoh!!”

“Thor, lo liat Yoshi gak?”

“Taaaauuu!!” Jawabnya sambil terus bergitaran. Lusi melihat kasur Yoshi yang kosong dan, satu lagi, kasur yang disediakan untuk Mariana juga kosong.

Ternyata, yang dicari Lusi, lagi mengintip Mariana yang duduk bengong di pinggir kolam ikan kecil, di dekat perpustakaan. Jika siang, tempat ini ramai oleh anak-anak yang mencari kesegaran pemandangan, disaat suntuk pelajaran. Malam hari, penerangan kolam ini hanya berasal dari lampu sorot perpustakaan.

Yoshi melempar batu ke kolam, hingga Mariana kaget.

“Eh, elo. Kirain siapa…”

“Ngapain gelap-gelapan disini? Kesambet baru tahu!”

“Bukan urusan lo,” Jawab Mariana. “Nah lo sendiri ngapain?”

“Gak ngapa-ngapain. Kebetulan, pengen beli jajanan keluar tadi, eh liat lo disini.”

Mereka berdua terdiam. Mariana melirik teman kecilnya itu.

“Kenapa pengen masuk universitas? Gue gak nyangka lo kepingin kuliah.”

“Sebetulnya gak ada niat masuk sini. Kepaksa.”

“Maksudnya?”

“Pak Abdi tuh bayarin utang keluarga gue, tiga juta rupiah plus ngembaliin terompet yang udah gue jual. Dia menukarnya dengan masa depan gue di kelas ini. Begitulah ceritanya. Jadi, gue ini digadaikan sama dia. Gue ngerasa ketipu tapi ya, enggak juga sih, dia udah bayarin utang. Bukan digadaikan kali, ya? Dia ngebeli gue.”

“Cerita yang dramatis. Bohong juga gue gak tahu.” Ujar Mariana. “Bilang jujur kalo pengen kuliah juga gak apa-apa…”

Yoshi tertawa mendesis. Dari kecil, anak ini emang gak gampang percaya.

“Ohya, ada gosip kalau warung nasi bakal jadi tempat karaoke? Benar, gak?”

“Rumah lo hanya limapuluh meter dari rumah gue, pasti tahulah kalo berita itu gak bohong.”

“Bi Santi banyak berubah ya? Seinget gue, sepanjang mengenalnya, dia orangnya gak gitu. Entah apa yang ada dipikirannya, sampai-sampai mau mengubah warung nasi kalian jadi tempat karaoke.”

“Sejak ditinggal bokap otomatis nyokap berubah lah. Mempertahankan tempat bodoh gitu di jaman susah kayak gini, bukan pilihan tepat. Ada yang nawarin better offer, kenapa gak diambil? Jadi nyokap gue itu realistis, gue lah yang pemimpi. Gue ngerti sih maksud nyokap, bekerja keras dengan hasil yang gitu-gitu aja, sangat gak worth it. Sekarang, gue cuma bisa do the best ajalah, dan berharap hasilnya bakal bagus. Bukan menyerah, tapi lebih ngasih pilihan terbaik buat nyokap dan gue pura-pura gak tahu apa yang terjadi….”

Mariana diam sebentar.

“Ngomong-ngomong, kok gue jadi curhat ya sama lo? Ngapain ya?” Mariana sadar.

“Hooh, ngapain sih!? Nambah-nambah beban pikiran gue, tahu gak?! Ohya, Dut, tapi gue serius lho, gue pengen dapat nilai 100 dalam tes Matematika sekarang. Yang lain juga. Makanya…”

“Makanya kenapa?”

“Lo, sebagai tokoh utama yang ditunjuk pak Abdi, jangan menyerah. Lo jadi patokan untuk kita nanti. Lo harus bisa dapat nilai 100. Ya?”

“Lo menyemangati gue nih ceritanya?” Mariana meringis.

“Halah, enggak juga. Biasa aja.”

Mariana tertawa kecil.

“Ya udah, gue ke camp konsentrasi dulu.”

“Lah, gak jadi beli jajanan?”
“Enggak, deh. Kayaknya si Lusi udah kebingungan tuh nyari-nyari gue. Daaaghh, Mardut! Ohya, welcome to the club, ya!!”

Kedua anak itu berpisah, dengan perasaaan hangat menjalar di hati masing-masing.

*

            “BANGUUUUUUNNNNN!!!” Suara Abdi menggelegar, membuat seluruh penghuni camp bangun dengan gemetar disangka ada gempa bumi.

“Ya, ampuuun, ini baru jam limaaaaa!!” Thoriq menjatuhkan diri lagi ke kasur.

“Paaaaak, gak bisa bangunnya agak terang dikit? Ini tuh masih maleeeemm. Masih gelap!” Rengek Weni. Perasaan dia baru tidur lima menit tadi.

“Ini sudah subuh! Kalau bisa, jangan bangun melebihi ayam berkokok! Ayo bangun! Yoshi! Mariana! Thoriq! Lusi! Weni! Cepat bangun dan mandi. Setelah itu berkumpul di Taman Bougenville!” Abdi menyibakkan selimut mereka satu persatu dan satu persatu mereka menarik lagi selimut mereka.

Napas mereka masing tersenggal-senggal karena baru saja berhenti jogging keliling lapangan sebanyak 10 kali, ketika Abdi membagikan selembar kertas berisi rumus-rumus Matematika. Kata Abdi, selain pingpong, Matematika juga efektif dihapalkan dengan berjalan cepat. It’s all about sport, katanya. Anak-anak hampir gubrak mendengarnya. Setelah tadi jogging keliling lapangan, sekarang harus berjalan cepat sambil membaca dan menghapalkan rumus? Gila apa!

“Tidak ada protes! Laksanakan!”

Mereka mulai berjalan sambil memegang kertas.

“Eeh bukan gitu! Berbaris! Tempelkan kertas itu di punggung teman kalian. Begitu caranya. Jadi kalian bisa bebas melenggang tangan. Itu membuat konsentrasi tidak terpecah.”

“Lah, saya di depan. Saya membaca di punggung siapa, pak?” Tanya Yoshi. Abdi melirik Lia.

“Lia, sini.” Abdi memasang kertas kepunyaan Yoshi di punggungnya.

“Apa-apaan ini??” Lia protes.

“Udah. Sekarang, kamu baris paling depan, biar Yoshi bisa membaca tulisan itu di punggung kamu!”

“HAAAH??”

Mereka berjalan keliling lapangan sambil membaca rumus-rumus.

“X satu dua sama dengan minus b plus minus akar D..”

“KURANG KERAS!! LOYO! Sambil gerakkan lutut kalian! Yang tinggi!!”

“X SATU PANGKAT DUA PLUS X DUA PANGKAT DUA..”

“BAGUS! Seperti itu! Teruskan. Sepuluh lap!”

Dari jauh, Raffa yang selalu datang kepagian, mengintip mereka dan sambil nyengir-nyengir, dia mengikuti cara anak kelas khusus itu berlatih.

*

            Mereka selesai di lapangan tepat jam setengah delapan, ketika murid-murid lain mulai berdatangan. Anak-anak Kelas Khusus masuk ke kelas mereka seperti biasa, di lantai tiga. Mereka sudah mengganti baju olah raga mereka dengan seragam sekolah.

“Sekarang, kita bentuk tim yang terdiri dari dua orang. Saya akan bacakan, grup I, Weni dan Thoriq. Grup II, Yoshi dan Mariana. Grup III, ..”

“HEH! Saya sama siapa, Pak!?” Lusi protes sambil berdiri. Dia gak rela kalau Yoshi satu grup sama Mariana.

“Berbahagialah! Kamu sama saya grupnya.” Jawab Abdi.

“Haaaahhhh??” Lusi merosot lemas.

Kemudian, mereka mengarrange tempat duduknya, menjadi per-grup.

“Untuk camp 4 hari ke depan ini, kalian harus belajar dengan grup kalian. Dari sekarang, kita harus marathon mengerjakan soal Matematika SMA sepanjang waktu. Seratus soal 20 menit, jadi satu soal 12 detik.”

“DUA BELAS DETIK??” Thoriq menggelegar.

“Kenapa? Kamu pernah mengerjakan soal dalam waktu 6 detik dan dapat 70, kan?”

Thoriq diam. Iya juga, batinnya.

“Setelah selesai, tukar jawaban kamu dengan partner grup, terus periksa. Kemudian, jelaskan kesalahan kamu pada teman satu grup, dan kerjakan ulang. Begitu seterusnya.” Abdi membagikan kertas soal dan lembar jawaban.

“Apa? Menjelaskan kesalahan kita pada teman segrup?” Desis Weni.

“Gak keren. Sama sekali enggak keren!” Kata Thoriq.

“Ini bukan sekedar solving problems.” Kata Abdi “Dengan adanya teman grup, kamu bisa lebih objektif menilai. Objektifitas, sangat penting dalam belajar. Oleh karena itu, kalian harus disiplin dan berani objektif. Sekarang, mulai!”

Mereka mulai mengerjakan soal.

“Eh, ini pelajaran anak SMA kelas satu!” Jerit Thoriq senang.

“Jangan senang dulu, belum tentu bisa juga!”

“Iya, atuh, berapa tahun yang lalu, udah banyak yang lupa, kali!”

Abdi duduk di sebelah Lusi, yang berada di baris ketiga, di belakang pasangan Yoshi dan Mariana. Dia meminjam bulpen Lusi dan mulai mengerjakan soal-soal. Lusi melirik dan kaget.

“Anda mengerjakan juga, Pak?” Tanyanya.

“Lah iya.” Jawab Abdi datar saja, kemudian konsen pada kertas soal.

Jam istirahat, Mariana memilih untuk tetap di kelas, menghapal rumus-rumus. Sedangkan Weni lari ke perpustakaan. Sementara, tiga serangkai Yoshi, Lusi dan Thoriq memilih untuk belajar sambil makan di kantin.

“Buset, kita tetap belajar disaat istirahat. Belum pernah dalam sejarah SMA BS!” Kata Thoriq. Lusi melihat sekeliling kantin yang penuh anak-anak makan sambil bercanda dan banyak pula yang asyik browsing dan telpon-telponan, SMS-an. Dia melirik Yoshi yang tidak bergeming atas perkataan Thoriq. Dia tetap komat kamit menghapal rumus dari buku sambil makan. Lusipun melakukan hal yang sama. Pokoknya, apa yang dilakukan Yoshi, dia akan lakukan juga. Dia ingin jika Yoshi lulus dan tembus ITB, itupun akan terjadi juga padanya.

“Yoshi, ayamnya buat gue, yaaa!!” Goda Thoriq sambil mencomot ayam crispy Yoshi dan Yoshi tetap bergeming tak peduli.

Ketika sesi berikutnya berlangsung, Lia datang mengintip ke kelas khusus. Dia tidak dimasukkan dalam perjanjian membantu mengajar di lima hari ke depan ini, karena harus menyiapkan ulangan anak kelas X. Namun hatinya sudah terlanjur tercuri oleh empat anak di dalam sana. Yoshi, Weni, Lusi dan Thoriq.  Oh, my dearest students!!

Kemudian Lia mendatangi Abdi yang sedang ada di lorong, menunggu mereka selesai.

“Pak, Anda yakin, Mariana akan dapat nilai seratus? Yakin ibunya mengijinkan dia ikut kelas ini? Dia itu harus bantu ibunya di warung, Pak!”

“Taruhan lagi, jika dia dan yang lain berhasil, kamu akan jadi budak saya dalam Kelas Khusus Super Pemantapan, lanjutan dari yang sekarang. Oke?”

Lia terkesiap, tak bisa bicara. Demi my dearest students!

Jam sudah menunjuk ke angka 11 malam, ketika yang lain sudah terbawa mimpi, ada satu kasur yang masih rapi belum terjamah. Kasur itu milik Mariana, yang sekarang belum tidur dan masih tekun belajar dalam kelas.

Hari terakhir dalam camp Kelas Khusus Pemantapan. Sudah sepuluh hari mereka berada dalam camp, kecuali Mariana yang baru lima hari terakhir bergabung.

Mereka bekerja keras. Weni dan Thoriq memilih belajar per grup di perpustakaan, Yoshi dan Mariana memilih di pinggir kolam ikan dan Lusi, datang ke ruang bu Nina, dia menghapal rumus ditemani Abdi. Besok, adalah tes penentuan apakah Mariana berhasil dapat nilai 100 seperti yang dijanjikan Abdi. Sebab, jika Mariana berhasil, maka, ibunya tidak akan bisa menolak putrinya itu untuk ikut Kelas Khusus. Bukan hanya Mariana, tapi Abdi ingin semua yang ada dalam kelasnya juga dapat nilai 100.

Abdi tersenyum melihat kegigihan Lusi dalam belajar. Lusi ikut kelas ini karena Yoshi dan kini dia mati-matian berjuang melawan Mariana dan tidak mau kalah dengan gadis saingannya itu. Apa yang lebih efektif daripada menghadirkan saingan? Abdi tersenyum melihat strateginya ini berjalan dengan baik.

“Ada apa, Pak? Kok senyum-senyum?” Tanya Lusi. Dia masih jengkel, gara-gara Abdi memasangkan Yoshi dengan Mariana, dia jadi belajar sendiri seperti ini. Temannya hanya seorang bapak usia lebih dari seperempat abad, yang tengah senyum-senyum sendiri.

“Gak ada apa-apa.”

“Bapak senyum atau gak senyum tetap saja jelek, tahu gakkk !?!”

Sore itu, mereka memeriksa pekerjaan terakhir mereka, sebelum besok ujian Kelas Khusus Pemantapan. Thoriq mendapat nilai 80, Weni 87, Lusi 89. Kertas Yoshi masih di tangan Mariana dan dia dapat 89 juga, sama seperti Lusi. Sementara Yoshi masih memeriksa pekerjaan Mariana. Dia tidak mendapati satu kesalahanpun dalam pekerjaan Mariana saat ini. Dan ketika nomor terakhir di periksa, jawabannya betul. Artinya, tidak ada salah satupun.

“100!!” Teriak  Yoshi. “Whoooohoo! Gila! Lo bener semua, Ndut!”

“Masa??” Mariana berteriak senang.

“Waah! Selamat!” Kata yang lain.

“Selamat, Mariana. Semoga besok kalian juga dapat 100 seperti Mariana.” Kata Abdi. Sebetulnya, Lusi iri melihat Mariana dapat nilai 100, dia melirik rivalnya itu dan terpaksa dia mengakui kehebatan Mariana dengan bertepuk tangan kecil. Aku harus membalasnya dengan belajar lebih keras, batinnya.

*

            Esoknya, sebagian guru berkumpul di kelas khusus. Mereka memberi soal yang masih tertutup amplop pada Abdi. Abdi membuka segel amplop itu dan mulai membagikan kepada lima siswanya. Hari ini adalah penentuan. Jika Mariana bisa menjawab semua soal dan benar semua, maka kelas ini akan berlanjut karena kelas itu genap mempunyai 5 siswa partisipan. Otomatis, ibu Mariana juga pasti akan mengijinkan putrinya, karena memang itu janjinya.

“Baiklah, waktu kalian adalah 20 menit, dimulai dari sekarang!”

Anak-anak membalik kertas soal dan mulai menjawab. Dahi mereka berkerut. Ini seperti ujian sesungguhnya. Soal ini diambil random dari UN beberapa tahun yang lalu. Meski sudah belajar mati-matian selama sepuluh hari, tetap saja mereka rasa soal-soal Matematika ini sulit.

Mariana gemetar. Ada beban mental di pundaknya ketika mengerjakan. Berbeda ketika di dalam kelas, 5 hari kemarin. Apalagi dia sempat dapat nilai 100. Mempertahankan nilai itu lebih sulit daripada mendapatkannya. Lima belas menit berlalu, Mariana hanya bisa mengerjakan 5 soal saja. Ini tidak bagus.

Diluar kelas, ibunya sudah menunggu dengan harap-harap cemas. Satu pihak, dia ingin anaknya masuk kuliah, tapi dilain pihak, dia perlu Mariana untuk membantunya. Diapun berdoa, yang terbaik yang akan diberikan Tuhan, dia akan terima. Semoga saja, Mariana memang benar bisa dapat nilai 100.

Time’s up!!” Abdi memencet stopwatch berhenti. Semua pasrah dan meletakkan pensil mereka. Hanya Mariana saja yang masih menulis.

“Mariana, waktunya habis.”

Mariana hampir menangis. Dia hanya bisa mengerjakan separuh dari semua soal. Abdi mendekatinya, dan mengambil kertas jawaban Mariana.

“Nah,” Kata Abdi kepada pada guru yang ada di ruangan kelas itu “Mariana tidak bisa menyelesaikan semua dan saya rasa yang lainnya juga begitu. Ini tidak perlu diperiksa, sudah jelas, nilainya juga pasti tidak akan mencapai 100.”

“Soal-soal itu sulit!” Kata Lia.

“Saya tidak bisa menolong, kalah adalah kalah. Ini adalah perang yang sebenarnya.” Kata Abdi.

“Perang bodoh apa sih maksudnya?” Tanya Yoshi “Mariana sudah kerja keras selama 5 hari penuh! Dia juga pernah dapat nilai 100. Jadi tanpa tes ini sebetulnya dia mampu!!”

“Untuk dapat nilai di tes yang saya buat memang gampang, Yosh. Pelajaran yang saya kasih kemarin, adalah dasar-dasar Matematika dari SD hingga SMA. Sedangkan yang guru-guru kalian kasih itu adalah soal ujian untuk SMA. Seperti yang kalian tahu, barusan tadi itu, perang yang sebenarnya.”

“Jadi, Anda sebetulnya menipu? Anda sebetulnya sudah tahu kalau kami bakalan gagal? Maksud Bapak nih apa, sih??” Yoshi mulai meradang.

“Ya itulah namanya tes, Anak Muda. Gak ada yang peduli seberapa besar kamu belajar, orang hanya peduli kamu bakal berhasil atau tidak mengerjakannya.”

“Anda bilang apa, Pak??” Yoshi berdiri dan mulai menyerang Abdi.

“Sudah!” Mariana berteriak. Airmatanya menggenang. “Sudah, ini salah saya. Saya yang tidak bisa mengerjakan soal bahkan setengahnya. Saya sudah tahu, saya gak bakalan bisa mengerjakannya. Saya sudah melewatkan banyak  materi pelajaran selama 10 tahun, dari SD hingga sekarang dan, saya hanya belajar keras selama 5 hari. Saya tidak tahu, kenapa saya sangat kecewa? Saya belum pernah sefrustrasi ini selama hidup saya.” Airmata Marianapun jatuh.

“SAYA INGIN SEKALI KULIAAAHH!!” Tangisnya pun pecah. Semua terdiam.

Ibunya menatap dari balik jendela dan melihat putrinya menangis. Mungkin dia harus melepasnya, ikut kelas khusus ini. Mungkin kuliahlah yang diinginkan putrinya. Jika dia tidak ingin, Mariana tidak akan menangis seperti itu.

“Kenapa saya menangis seperti ini?” Mariana sesegukkan.

“Baik, saya tidak akan memaksa kelas ini. Jika Mariana gagal dan tidak bisa masuk kelas ini, dan jika dengan EMPAT murid yang ada, kelas ini tetap dianggap gagal, saya akan resign segera.” Abdi meninggalkan kelas, diikuti Lia.

Kemudian, semua guru satu persatu keluar. Dari semua guru, ada yang senang kelas ini bubar, ada juga yang kecewa. Sebagian guru merasa, Abdi ada benarnya. Guru-guru muda kebanyakan setuju, yang tidak setuju itu guru-guru tua dan guru-guru muda tidak bisa melawannya.

“Pak Abdi, Anda tega! Anda sudah tahu kan? Nilai-nilai mereka akan jelek sejak awalnya?? Kenapa pakai acara menjebak Mariana disini? Anda ini bagaimana sih?” Tanya Lia bertubi pada Abdi. Abdi menoleh dan tersenyum pada guru muda yang polos itu.

“Kamu gak ngerti, Lia!? Aduuuh..!!” Katanya, begitu saja. Lia bengong. Nggak ngerti apa??

“Pak! Saya gak ngerti apa? Hah? Apa yang saya gak tahu?”

“Kamu memang bodoh! Sama seperti murid-murid kamu!”

Setelah guru-guru keluar, ibu Mariana masuk. Dia mengelus kepala putrinya.          “Maafin Neng, Bu. Neng emang gak pernah bikin Ibu bangga.”

“Neng, kamu sudah berbuat yang terbaik. Ibu bangga sama kamu. Jika kamu memang ingin sekali ikut kelas ini, Ibu ijinkan. Jangan pikirin warung. Ibu sudah membatalkan perjanjian dengan Pak Wiryo. Warung itu tetap milik kita. Kamu teruskan cita-cita kamu masuk kuliah, ya Neng?”

Mariana menatap ibunya dengan berbinar.

“Benar, Bu !?”

Ibunya mengangguk mantap.

“Jadi Ibu ijinin Neng untuk ikutan kelas ini?”

“Jika kamu memang ingin, ya udah ikut aja. Kamu anak yang kuat, gak seperti Ibu. Ibu yakin, kamu pasti bisa. Ibu pulang dulu, ya.”

“Makasih, Bu..”

Ibu Mariana keluar kelas. Beberapa guru kembali ke kelas itu, mengintip mereka.

“Asyiiikkk!!” Teriak Thoriq sambil menaik-naikkan alis ke arah Weni.

“Jadi lo tetap disini, Mar?” Tanya Weni senang.

“Meski gue gak suka sama lo, tapi gue ngerasa bosen juga kalau gak ada rival. Gue senang kalau lo bergabung sama kami. Gue tulus.” Ucap  Lusi.

“Kayaknyaaaa, tujuan gue sekarang adalah ITB, gak ada yang lain. Beneran ini mah!” Kata Thoriq.

“Thoriq? Yakin lo?” Tanya Yoshi.

“Tadinya cuma mau ngisi waktu luang karena band vakum dan ngikutin lo, Yosh. Tapi, selama 10 hari disini gue ngerasa kok belajar itu menyenangkan! Maksud gue, kalau gue bisa tembus ITB, kan gue makin populer; Thoriq anak band SKA yang pintar-cerdas-menawan. Benar, kan?”

“Memang gak mungkin di tes kayak gitu dalam waktu belajar efektif 5-10 hari. Tapi kita kan MASIH punya waktu 7 bulan ke depan.” Tukas Weni, optimis.

“Benar!” Timpal yang lain.

“Kayaknya, semua ini memang berjalan seperti yang dia harapkan deh.” Potong Yoshi “Pak Abdi udah mengerjai kita. Sekarang, saatnya gantian kita yang ngerjain dia. Kita manfaatkan dia habis-habisan. Mau, nggak??”

Semua tersenyum.

Alright!!” Thoriq berdiri “Semuanya!! Mari satukan tujuan kita untuk sama-sama MASUK ITB MULAI SEKARANG!!” Dia mencolek Yoshi untuk ikutan berdiri. Mereka melakukan tos. Merekapun tos bersama-sama. Guru-guru panik dari luar jendela. Artinya, Abdi si pengacara itu akan tetap disini??

Sementara, di bawah pohon Bougenville, Abdi mengingatkan Lia agar tetap menjadi asistennya, karena dia kalah dalam taruhan.

“Saya gak kalah. Mariana gak berhasil dapat 100.” Kata Lia.

“Bukan itu intinya. Intinya, Mariana berhasil mengantongi ijin dari ibunya. Gak lihat apa tadi, Ibunya ikut menangis ketika putrinya menangis. Mana ada Ibu yang tega membiarkan airmata itu jatuh di pipi putri kesayangan?”

“Hah…benar!” Lia menepuk jidatnya. Artinya, dia kalah. Artinya, dia harus jadi ‘pembantu’ Abdi sampai tujuh bulan kedepan. Ini bencana!!

“Saya tahu, Mariana ingin sekali masuk ITB, terbaca kok dari mukanya. Lia, pelajaran terpenting itu bukan Matematika, bukan Bahasa Inggris, tetapi jika Anak-anak itu mulai merasa ada yang kurang jika tidak belajar. Jika mereka sudah ketagihan belajar seperti itu, saya yakin, masuk ITB atau universitas manapun, bakalan piece of cake!!”

**


[1] Dingin gitu lo, Yosh

Gambar

BAB 2

Kenali Kelemahanmu

“Untuk kalian yang mau join di kelas khusus ini, datang saja ke kelas yang sudah disediakan Bu Nina di lantai tiga. Ingat, ini akan jadi titik balik kehidupan kalian semua. Buatlah keputusan sekarang!”

“Tujuan hidup itu bukan hanya ITB aja kaleee.” Potong Yoshi “Selain ITB kan ada banyak pilihan sekolah-sekolah kejuruan. Misal, Sekolah Pilot, Sekolah Atlit, Sekolah Musik. Orang-orang yang masuk sekolah tersebutlah, yang sudah menSET tujuan hidup,” Lanjut Yoshi “Orang yang gak punya tujuan hidup, pasti ngambil kuliah ke universitas atau ke institut. Daripada nganggur, yang penting kuliah! Anda seorang lawyer pasti tahu fakta ini. Saya tanya; Kenapa Anda memilih jadi pengacara? Karena Anda merasa tidak punya keahlian khusus, seperti main musik misalnya, ya kan??”

Yoshi diam sebentar,

“Andalah yang sampah, Pak!!”

dan mengakhiri ‘ceramah’nya dengan meninggalkan aula, diikuti sahabatnya Thoriq dan Lusi, pacarnya. Aula kembali bergemuruh.

Terdengar suara tepuk tangan dari arah barisan duduk para guru. Entah bertepuk tangan untuk Abdi dengan presentasinya yang gemilang, atau untuk Yoshi dengan ceramahnya menghujat Abdi barusan. Abdi melihat kepergian Yoshi dengan tersenyum. Ada saatnya kamu akan bertekuk lutut pada pernyataanmu sendiri, batin Abdi.

“Oke, terimakasih atas perhatian kalian semua dan terimakasih untuk tidak meninggalkan aula sebelum saya selesai bicara.” Ucap Abdi.

*

            “Yosh!” Panggil Thoriq, Yoshi masuk ke kelas, untuk mengambil hardcase terompetnya. ITB melulu, membosankan!, gerutu Yoshi terus menerus.

“Yoshi, lo ngomong apa barusan??”

“Lo barusan ngatain dia sampah! Itu gak sopan!” Timpal Lusi.

“Gue gak suka sama dia. Kalian percaya apa yang dia omongin?” Tanya Yoshi ketus. “Itu ANGIN SURGA! Pada kenyataannya gak akan mengubah apapun! Orang miskin dan bodoh tetap aja akan seperti itu!”

“Jangan egois gitu, dong Yosh. C’mon, mending jelasin ke gue deh alasannya.”

“Alasan apa??”

“Alasan lo ninggalin band kita!” Jawab Thoriq.

“HAH?” Yoshi melotot. Lusi merosot dari kursi. Gubrak, deh!! Kirain nanya alasan Yoshi menentang guru baru itu. Rupanya, sepanjang 1 jam pertemuan mereka di aula tadi, pikiran Thoriq masih ada di dalam kelas ketika mereka diskusi soal band!!

“Sekali keluar tetap keluar. Gue musti kerja sekarang, daaagghh..” Yoshi ngeloyor keluar kelas.

“Yosh! Yosh! Di Pensi anak 359 nanti bakalan ada bintang tamu grup band SKA pujaan lo dari Jakarta.”

“Sebodo!!”

Thoriq dan Lusi mengejar Yoshi keluar sampai gerbang sekolah, mencegahnya untuk pulang. Sementara, Mariana juga sedang dikejar-kejar beberapa anak yang tahu jika dirinya dicalonkan bakal jadi murid BS pertama yang akan masuk ITB.

“Keren, lo, Mar. Wuihh…”

“Jadi benar, nih, lo anak BS pertama yang akan masuk ITB?”

“Ngarang!!” Jawab Mariana.

“Tapi, mungkin aja, kan anak BS masuk sana?” Tanya Riani.

“Tau, deeeeh. Gue gak ngimpi! Pengacara itu kali yang mimpi!” Jawab Mariana lugas.

“Oh, jadi dia pengacara? Kok bisa jadi guru ya?”

“Makanya, gue bilang, dia tuh yang ngimpi. Pengacara yang mimpi jadi guru!!”

Mereka tertawa bersama.

Abdi berjalan di belakang Mariana dan gerombolannya. Tentu, dia mendengar jelas apa yang dibilang Mariana tadi. Lia Dahlia mengekor langkah Abdi. Dia bilang jika tidak satupun murid yang mau masuk kelas khusus yang mereka adakan, pasti akan jadi masalah besar.

“Sebagai pengacara kami, Anda harus tahu tentang kondisi dan situasi anak-anak kami, ya kan, Pak?” Tanya Lia, menyindir. Mata Abdi terpaku pada sosok Yoshi yang keluar gerbang bersama dua orang temannya yang sibuk menarik-narik tangannya untuk kembali masuk. Yoshi pasti akan membolos karena setelah pertemuan itu, murid-murid tidak langsung dipulangkan seperti biasa. Tapi masuk ke kelas melanjutkan pelajaran berikutnya sampai selesai. Lia juga melihatnya.

“Yoshi! Kamu mau bolos di kelas saya?” Teriaknya.

“Dia anak yang keras kepala.” Ujar Abdi. “Tapi mudah dipecahkan.”

“HAH?” Lia menoleh ingin penjelasan, tapi Abdi terlanjur berlalu.

Maksudnya? Oh, jangan. Dia tidak ingin bekas anak genk motor itu menghajar Yoshi gara-gara perlawanannya tadi di aula.

*

            Setelah sekolah usai, guru-guru kompak mendatangi Ibu Nina di ruangannya. Mereka tanya, kenapa Bu Nina membiarkan pengacara yang harusnya hanya mengurus masalah hutang piutang dan penutupan sekolah, jadi sibuk mengurusi anak murid mereka dan mengacaukan segalanya. Mereka tidak peduli bagaimana perjuangan dia meyakinkan pihak Bank kemarin, tapi target lima orng murid BS akan masuk ITB tahun ini, akan sangat mustahil.

Dan yang paling parah ujar mereka, pengacara itu berusaha mengintervensi guru-guru. Yang membuat mereka tersinggung adalah pakai acara replacement test segala untuk mengajar di Kelas Khusus yang akan dia buat. Jika gagal, mereka harus mengundurkan diri jadi guru SMA BS.

“Bu, tolong kebijakannya. Kita disini kan guru-guru senior. Kita juga butuh biaya hidup. Masa kita diperlakukan begitu sih sama anak ingusan itu?”

“Kalau sampai gak ada murid yang masuk Kelas Khusus itu…”

“Ibu harus pecat tuh orang sebagai pengacara kita. Itu hak Ibu!”

Bu Nina mulai pusing karena mereka semua bicara semua, tidak ada yang mau mengalah.

“Apa pengacara itu bakalan berhasil bikin anak-anak kita masuk ITB, Bu?” Tanya seorang guru perempuan.

“Ya, mungkin,” Jawab Bu Nina.

“Jika planning itu gagal, artinya kurang dari 5 murid yang masuk Kelas Khusus, kita sepakat ya, untuk pecat si pengacara itu? Ya, Bu?”

Bu Nina diam.

“YA, BU??” Semua berkata, penuh nada memaksa. Bu Nina tegeragap.

“Iya, Iya!!”

*

Beberapa anak mengintip-intip ke kelas yang dimaksud. Kelas di lantai tiga yang di depan pintunya ditulisi besar-besar “KELAS KHUSUS PERSIAPAN MASUK ITB”. Dulu kelas ini adalah laboratorium Biologi. Namun, sejak lab baru dibangun lima tahun lalu di bawah, di lahan yang baru, maka, ruangan ini kosong. Konon, setelah tidak dipakai lagi, ruangan ini jadi seram dan banyak hantunya.

Mereka melihat Abdi yang duduk sendiri di dalam, dengan kursi-kursi yang masih terlipat. Tidak satupun murid tertarik dengan kelas khusus itu. Anak-anak bercanda dan saling mendorong temannya agar kejeblos masuk kelas. Karenanya, keadaan di luar menjadi hiruk pikuk. Abdi bergeming. Tidak menoleh sedikitpun. Dibukanya salah satu jendela dan mengeluarkan kotak rokok dari saku celananya. Sial, rokoknya habis. Abdi manyun. Diapun memutuskan untuk keluar membeli rokok dan berharap ketika dia kembali nanti, sudah ada murid yang akan ikut kelas khususnya. Abdipun melangkah, membelah keramaian anak-anak yang berkumpul di depan kelas itu untuk meledeknya.

*

            Ditengah terik matahari, Yoshi berjalan di sepanjang ruko. Dia mencari toko musik langganannya. Dulu, dia beli terompet di toko itu. Sekarang mana tokonya? Yoshi mencari-cari. Itu dia tokonya. Tertutup terpal-terpal pedagang kaki lima. Kawasan ini makin lama makin tidak teratur. Ditambah ada proyek apartemen yang berdiri megah disana, tempatnya bekerja sekarang, dari sore hingga malam.

Yoshi masuk toko musik dan mulai melakukan tawar menawar. Si penjaga tokonya sudah ganti, bukan orang yang ketika itu melayaninya ketika membeli terompet ini. Mungkin sudah ganti kepemilikan atau bagaimana? Si penjaga toko membolak balik terompet milik Yoshi dengan pandangan sok-gak-butuh.

“500 rebu, lah, ambil, Gan!” Ujarnya kemudian.

“Yang bener, dong, Kang. Saya beli 2 Juta dulu.”

“Gak dapet, Gan. Ane jual berapa? Sekarang yang model Valentine gini barunya aja sejuta. Ini kan bekas.”

“Tapi saya ngerawatnya benar-benar. Lihat aja. Masih kayak baru.”

“Nggak ngaruh Gan, tetep aja bekas. Palingan orang nawar 800 ribu.”

Yoshi bimbang antara melepasnya atau tidak. Dia merasa sakit hati. Terompet kesayangan dan sandaran hidupnya kelak harus terjual dengan harga begitu murah. Dengan berat hati, Yoshi mengangguk. Dia menerima 500 ribu dari penjaga toko sambil menelan ludah yang rasanya pahit sekali, sepahit kenyataan hidup.

Dari seberang, Abdi memperhatikan Yoshi di toko itu. Uangnya hanya tinggal 5 ribu di saku dan ditolak ketika beli rokok. Dia bermaksud membeli rokok setengah bungkus, tapi ditolak oleh pedagangnya. Dia menyebrang, mendekati toko itu. Dilihatnya, Yoshi masih tawar menawar sesuatu dengan penjaga toko. Ditunggunya anak itu sampai keluar. Ketika Yoshi keluar, Abdi mencegatnya. Yoshi kaget.

“Cuma laku lima ratus ribu?” Tanya Abdi “Ketika beli, kamu ditipu, ketika menjualnya, kamu masih saja ditipu. Orang lemah memang selalu ditipu.”

“Bukan urusan Bapak.” Jawab Yoshi ketus “Lagian, ngapain Bapak disini?”

“Minta rokok!” Kata Abdi, tanpa menjawab pertanyaan Yoshi.

“HAH?”

“Saya bilang minta rokok.”

“Gak punya!”

“Anak SMA harus punya, dong.” Kata Abdi, yang disambut Yoshi dengan lengosan kemudian pergi meninggalkan Abdi. Dia tersinggung. Jangankan untuk beli rokok. Untuk beli beras saja dia tidak ada uang. Penting mana beras sama rokok? Ya beras, lah. Dasar pengacara tolol!

Abdi mengikuti langkah Yoshi menuju rumahnya. Yoshipun berkali-kali menoleh dan bilang Abdi jangan mengikutinya.

“Tadi kamu bilang di aula; ada orang yang gak punya tujuan hidup, tapi sebetulnya mereka itu punya dan mereka berusaha mencapainya. Contohnya, saya.”

“JANGAN IKUTI SAYA!!” Teriak Yoshi. Dia berjalan setengah berlari dan Abdipun tetap mengikuti.

“Tunggu, Yoshi..”

Yoshi hampir sampai di depan rumahnya ketika dia mendengar, ibunya menjerit-jerit.

“PERGI! PERGI!”

Yoshi berlari menghampiri ibunya. Disana, sudah ada beberapa orang. Dia tahu, pasti itu penagih-penagih utang kakaknya. Yoshi menolong ibunya yang terjatuh.

“Heh! Lo apain nyokap gue!?”

“Nah, ini dia Juragan Muda. Juragan Muda, bayar utang ya. Utang Juragan menumpuk, harus dibayar.” Kata salah seorang dari mereka.

Yoshi tahu, dia itu dulunya adalah pegawai bapak ketika dia masih SD. Sekarang, dia ikut orang yang kebetulan uangnya dipinjam kakaknya. Yoshi merogoh kantongnya dan mengeluarkan uang 300 ribu rupiah.

“Cuma ada ini.” Kata Yoshi. Salah seorang dari mereka menerima.

“Apaan nih? Utangnya 3 juta. Masa dibayar cuma 300 ribu?”

“Adanya hanya itu.”

“Ya udah, gak apa-apa. Pokoknya tiap bulan kita bakalan tagih plus bunganya.”

“Yoshi! Dari mana uang itu??” Tanya ibunya.

“Ibu tenang aja, Yoshi gak nyuri, kok.”

“Heh, awas, ya! Utang lo ini baru bunganya aja. Babonannya masih utuh tiga juta! Bulan depan kita kesini lagi, harus ada yang tiga juta.”

Salah seorang dari mereka melihat Abdi dan memberi kode pada yang lainnya untuk segera pergi dari sana. Merekapun berhamburan keluar.

“Maaf ya Yosh, ini semua salah Ibu..”

“Bukan, bukan salah Ibu. Emang harus begini mungkin.” Jawab Yoshi, lalu melirik pada Abdi yang masih berdiri di depan toko fotokopiannya. Dia menutup rolling doornya kemudian, menutup pintunya. Abdi menahan pintu itu dengan tangan.

“Siapa dia, Yosh?” Tanya ibu.

“Saya wali kelasnya Yoshi, Bu. Nama saya Abdi Wiriaatmadja.”

“Bukan!!”

“Gurunya Yoshi? Masa? Bukannya Pak Tulus?”

“Ibu cuekin aja dia.”

“Apa lagi yang akan kamu jual besok?” Tanya Abdi. Yoshi meradang. Pengacara ini sudah keterlaluan mengintervensinya.

“Bukan urusan Anda, Pak Pengacara!!”

“Apa yang bakal kamu jual besok?” Ulang Abdi.

“Pak, tolong berhenti ganggu saya. Udah, Bapak pulang sekarang, saya mau tidur. Ntar sore saya kerja sampai malam.” Yoshi berusaha melunak  “Lagi, Bapak tuh ngapain sih datang ke sekolah eror-bodoh-idiot kami? Baru datang udah bilang ITB, ITB. Konyol, tahu gak, Pak!”

“Pertanyaan yang bagus! Sebetulnya, saya pengen mengubah sekolah eror-bodoh-idiot itu supaya saya dapat bayaran yang tinggi banget. Makanya saya semangat!” Ujar Abdi. “Kemudian, saya bisa melamar kerja di perusahaan besar, dan..bisa dapat gaji gede.”

“Halah! Gaji gede, gaji gede. Bosen, ah!” Yoshi membanting pintu.

*

            Keesokan harinya, Abdi melenggang menuju kelas khusus di lantai tiga. Disana, sudah ada Lia, duduk dengan manis.

“Jangan bilang kamu pengen masuk ITB.” Ujar Abdi.

“Sembarangan!! Saya cuma mau bilang, jika sampai seminggu belum ada yang ikut kelas ini,…”

“Jangan khawatir, pasti ada.” Jawab Abdi, tegas.

Lia melihat sekelebat bayangan di balik pintu. Rupanya Raffa. Ngapain anak itu? Mau masuk kelas ini? Raffa hanya mengangguk sopan pada Lia, kemudian ngacir pergi.

“Mungkin ini pathetic, tapi saya pikir, sebagian besar orang Indonesia ini pengecut dan merasa ditolak duluan ketika mendengar kata ‘ITB’.”

What a brave comment, Sir!” Kata Lia. “Itu bukan karena Anda pernah disana, kan?”

“Bukan. Itu karena Lia yang gak tau apa-apa tentang the real world.”

“Udah, udah. Saya gak mau lagi dengar kata ‘MASYARAKAT’ dari anak berandalan!”

“Genk motor, bukan berandalan.”

“Sama ajaaaa!!”

“Ya, enggaklah!!”

*

            Mariana baru sampai gerbang sekolah dengan lesu. Tadi malam, dia lembur bantu ibunya karena ada pesanan nasi kotak 50 pax buat ulang tahun anak TK tetangganya. Dia belum cukup tidur. Sampai kapan dia begini, keluhnya. Teringat lagi kata-kata Abdi, pengacara itu: Hidupmu akan berubah jika kamu bisa kuliah di ITB.

Tita, teman SMPnya dulu, yang sekarang ada di kelas IPS, lari-lari menghampiri.

“Mar! Mariana…! Tunggu…”

Pandangan Mariana masih blur. Tapi dia paksakan untuk berjalan ke kelas. Tita melihatnya heran.

“Mariana? Lo sakit? Hey, Dengar, gak??”

“Iya, setuju. Gue setuju sama pengacara itu.” Kata Mariana, sedetik kemudian dia sadar “Hah, apa? Lo bilang apa, tadi?”

“Ye, ngelindur, ya? Nih, gue mau minta tolong,” Tita menyerahkan kado ke Mariana

“Tolong kasihin ke Yoshi, kalian tetangga, kan? Tapi jangan bilang dari gue. Biar kejutan.”

Mariana menerima kadonya.

“Ada surat kok didalam. Biar Yoshi sendiri yang baca.”

Tita tersenyum-senyum, lalu memegang dadanya.

“Aduh, kenapa baru menyebut namanya aja, gue udah deg-degan! Gue pergi dulu, ya!!” Tita pergi menjauh meninggalkan Mariana yang terbengong-bengong.

*

            “Bapak Abdi yang terhormat tahu gak berapa GPA sekolah ini? TIGA, Pak. Yakin bisa berjuang untuk anak-anak itu? Saya sih gak mau Bapak memberi semangat ke mereka untuk sesuatu yang gak mungkin. Kasihan mereka, Pak…” Kata Lia.

Abdi bilang bahwa dia tidak akan memberikan harapan palsu pada mereka. Dia hanya berusaha agar anak-anak mau belajar dan setidaknya bisa lulus UN dengan nilai yang baik.

“Berapa rata-rata Matematika mereka?”

“40/100”

“Saya tahu cara untuk meningkatkan itu jadi 100/100.”

Abdi memberi isyarat pada Lia untuk mendekat padanya, seolah ini masalah serius yang tidak boleh didengar siapapun. Liapun mendekat pada Abdi.

“Berarti tinggal nambah 60 point lagi kan? Gitu aja kok repot!”

Lia merengut.

“Saya gak akan bilang sekarang. Emangnya saya mau kasih info rahasia gratisan? Lia harus bantu saya dulu.”

“Ih, dikira saya dan murid-murid bakalan ketipu ama tipuan murahan Bapak itu? Eh, Pak saya kasih tau ya, kalau gak ada satupun murid masuk kelas khusus dalam seminggu, Bapak akan dipecat!”

“Baik, kalo gitu kita taruhan. Saya bilang, bakal ada. Kamu bilang sebaliknya. jawaban dikunci. Yang kalah, harus membantu 100% si pemenang. Deal?”

*

            Pulang sekolah, Mariana iseng mampir ke toko buku untuk mencari sesuatu. Ya, tadi di sekolah teman-teman ribut, katanya ada buku keren tentang tips dan trik mengerjakan soal-soal UN dan masuk PTN. Dia tidak punya uang untuk beli, tapi siapa tahu saja, ada buku yang terbuka plastiknya dan dia bisa baca-baca.

Dia melihat buku itu dan masuk jajaran best seller. Ketika tahu bahwa buku itu dirancang oleh tim dari ITB, hatinya mendadak kelu. Dijulurkannya tangan untuk mengambil buku itu dan tangannya bersentuhan dengan seseorang.

“WENI!!” Jeritnya. Weni juga kaget dan merasa ini kejutan.

“Hm, berarti gosip itu benar. Lo anak BS pertama yang bakal masuk ITB. Tuh buktinya, nyari buku ini juga, kan?”

“Enggak! Iseng aja. Lagian gue gak punya duit buat beli.” Jawab Mariana.  “Kalo lo??”

“Gue sih pengen banget.” Kata Weni.

“Kenapa gak masuk kelas khususnya pak Abdi?”

“Ntar ah, kalo ada satu orang yang masuk, gue masuk. Gak enak dong, masa gue cewek sendirian, berduaan ama guru itu. Nanti diapa-apain lagi! He he he..”

Mariana tertawa. Weni memang anak yang kocak dan ceria.

“Kalo gue tadi kebetulan aja lewat. He he he..” Kata Mariana.

Raffa melintas dan nyamperin dua teman sekelasnya itu.

“Eh kalian, mau beli buku itu juga?”

“Raffa, kembaran kamu bakal masuk ITB ya? Kamu enggak pengen?” Tanya Weni.

“Ehmm, pengen sih. Tapi problemnya kan, ortu gue gak bisa biayain dua orang anak kuliah, jadi gue ngalah aja deh ke kembaran gue. Gue sih bantuin dia aja supaya bisa masuk. Nah, karena gue udah memutuskan itu..”

Mariana dan Weni sepakat untuk meninggalkan Raffa yang mengoceh sendirian. Mereka kurang suka pada Raffa yang kebanyakan omong. Padahal bilang aja kalo dia idiot dan gak merasa mampu.

*

            Yoshi menghadap seseorang untuk melapor bahwa dia datang bekerja sore itu. Tapi orang itu malah menunjuk punggung seseorang yang sedang membelakangi mereka dan bilang dialah mandor baru mereka sekarang. Yoshi harus lapor pada orang itu.

“Pak, saya Yoshi, pegawai baru. Saya lapor kalau saya datang.” Kata Yoshi.

“Kamu telat satu menit. Potong bayaran 5 ribu rupiah.” Ujarnya. Yoshi menarik napas. Orang itu membalikkan badan dan mata Yoshi melotot sampai hampir keluar dari cangkangnya.

“PAK ABDI??”

“Sekarang kamu kerja di bagian sana. Sampai jam sepuluh malam. Jika sebelum jam sepuluh malam kamu sudah pulang, saya potong gaji kamu.”

Yoshi kesal sekali. Kenapa masih harus bertemu orang itu.

“Kamu jangan macam-macam kerja sama saya. Saya mantan anggota genk motor. Saya biasa pakai pisau. Lalat aja mati saya tebas, apalagi leher kamu. Perlu dibuktikan??”

“Enggak usah, Pak.” Sergah Yoshi. “Aneh, apa Anda yakin, Anda seorang pengacara?”

Selama bekerja, Yoshipun harus rela disuruh-suruh dengan semena-mena oleh Abdi karena jabatan Abdi sebagai mandornya, walau dengan hati sedongkol-dongkolnya.

“Ayo Yosh, yang kuat tenaganya dong kalau ngambil pasir. Masa loyo gitu, belum makan ya kamu?”

Memang dia belum makan sejak pulang sekolah tadi.

“Nih! Yosh!” Abdi menunjuk dua sak semen yang baru datang dari truk untuk diangkut Yoshi “Kesana, tuh! Tuh! Kumpulin disitu.”

Tepat jam 7.30, sirine istirahat berbunyi. Yoshi memijat-mijat bahunya yang pegal. Sejak istirahat magrib tadi, dia bekerja tanpa henti. Seorang pekerja memberinya nasi bungkus yang Yoshi terima dengan pandangan heran. Setahunya, upah segitu, tidak termasuk makan. Kemarin, dia pulang sebentar untuk makan di rumah karena gak bawa duit samasekali. Tapi kenapa hari ini lain?

“Terima aja. Ini dari mandor baru tuh. Dia baik banget ya beliin kita makan.” Tutur temannya itu. Lalu, dia mengajak Yoshi berkumpul bersama pekerja lain dan Abdi di tempat istirahat. Yoshi menolak, dia memilih menyendiri disini saja.

“Yosh, boleh saya duduk disini?” Tanya Abdi ketika menghampiri Yoshi yang sedang menikmati nasi bungkusnya sendirian. Yoshi mengangguk dingin.

“Oh ya, ngomong-ngomong, makasih nasi bungkusnya, Pak. Nanti kalau bayaran, saya ganti.” Ujarnya. Abdi tergelak, lalu menenggak air dari botol air mineral.

“Santai aja Yosh. Kamu bisa menggantinya kapan-kapan kalau kamu udah jadi orang kaya.” Kata Abdi “Ohya, kalo proyek dari kontraktor yang ini selesai, berapa kira-kira bayaran yang kamu dapat?”

“Gak tahu. Bapak kan bisa itung sendiri.” Jawab Yoshi ketus. “Gitu aja nanya.”

“Tahu, gak? Menurut peraturan UMR buruh, bekerja di lingkungan yang penuh resiko seperti ini, kamu harus mendapat 50 ribu rupiah per hari. Tapi disini, kamu hanya dapat bayaran 35 ribu rupiah. Terus, kemana sisanya?”

“Gak tahu, Pak. Saya gak peduli.” Jawab Yoshi.

“Ini nih yang namanya penipuan pekerja. Selama kamu kerja sama orang, kamu gak akan pernah lepas dari jerat tipu daya ini. Saya kerja disini seharian penuh, dan saya mewawancarai mereka satu-satu. Mereka bilang kerja jadi kuli terpaksa, karena terlanjur tidak tahu mau kerja apa. Salah satunya, Pak Kun sebelah sana tuh, umurnya udah 45 tahun, dia bilang kalau dia bisa memutar waktu dia akan berusaha lebih baik di masa lalunya biar gak jadi kuli seumur hidup. Saya memetik pelajaran bagus selama disini.” Kata Abdi.

“Jadi, gimana Yosh? Sebetulnya, para kuli yang sudah tua itu adalah gambaran masa depan kamu. Apa kamu juga mau mengubah pikiran biar gak jadi kuli seumur hidup kayak Pak Kun? Jawabannya simple dan sudah saya jelaskan berulang-ulang kali. Solusinya ITB! Mulai tertarik, join di kelas khusus?”

“Enggak!! Sama sekali enggak!”

“Dasar keras kepala….” Abdi melepas topi proyeknya dan menyerahkan pada Yoshi. “Nih tolong simpenin topi saya. Saya mau pulang.”

“Lho, Anda mandor, kenapa pulang duluan?”

“Suka-suka saya, dong! Kita berbeda. Saya gak punya hutang apapun, pada siapapun. Kalau habis ini saya dipecat karena pulang duluan saya gak ada beban apa-apa. Keluar ya keluar aja! “Abdi melemparkan sarung tangannya ke Yoshi.

Masih ada waktu lima belas menit sebelum sirine kerja berbunyi. Yoshi menenggak air minum lalu berselonjor kaki.

Mariana tiba-tiba muncul,

“Kaget. Kirain siapa, taunya Mardut.”

“Ye, masih manggil itu lagi? Gue kan udah gak gendut lagi, Nce..” Rengeknya.     “Gue juga udah gak kayak cewek lagi, jadi berhenti dong manggil Yonce,” Sahut Yoshi.

“Tadi gue ke rumah, ibu lo bilang lo kerja di proyek, ya udah, gue samperin deh kesini.” Mariana membuka tas dan menyerahkan kado dari Tita. “Ini dari Tita…”

“Tita? Tita yang mana?”

“Halaaah, lupa, ya? Temen SMP gue yang dulu sering ke rumah. Sekarang dia di kelas IPS. Dari dulu, dia naksir lo! Tapi gak berani bilang.”

“Bilangin makasih aja deh.” Yoshi menerima kado itu dan membukanya. Ternyata sebuah syal rajutan warna hitam yang keren, bertuliskan; Yoshi I ♥ U.

Mariana melihat isi kado itu, lalu menarik napas.

“Sial, cuma gara-gara gue tetangga lo, gue selalu ketiban pekerjaan ini. Kalo gak ngasih kado, surat, makanan, salam-salaman, emangnya gue radio!” Mariana menggerutu.

“Nyesel jadi tetangga gue? Ya udah, maaf kalo gitu.”

“Bukan salah lo juga sih,” Mariana melihat Yoshi memakai syal itu. “Dan lo menerimanya? Bukannya lo udah punya cewek?”

Yoshi terkesiap, buru-buru melepas syal itu dan membungkusnya sembarangan, lalu diserahkan kembali ke Mariana.

“Eeeh, apa-apaan! Udah terima! Ntar gue yang gak enak. Udah, pakai!” Mariana merengut. Yoshi mengangkat bahu dan mengambil kado itu lagi.

“Lo kan udah punya cewek….” Kata Mariana pelan. Lo milih dia, gara-gara cinta atau karena dia tajir? tanyanya dalam hati.

“Kenapa,sih? Bilang gitu melulu…” Yoshi mulai terganggu.

“Ohya, makasih untuk kemarin di aula. Lo berani mendebatnya. Si pengacara aneh itu, Pak Abdi Wiriaatmadja, yang ngomong ITB begini, ITB begitu. Menurut lo, dia benar, gak? Tahu sendiri, kan? Kita cuma punya orang-orang idiot di sekolah. Atau, dia ngotot karena punya tips-tips khusus? Itu yang bikin beda, mungkin? Tadi gue ke toko buku, ada buku latihan soal serta tips-tips agar berhasil di UN dan ujian masuk PTN. Yang nulis, tim dari ITB..”

“Ssst!! Jangan ngomongin dia lagi di depan gue!” Seru Yoshi.

“Hey! Jangan-jangan, ada apa-apa ya antara lo sama pengacara itu?” Tanya Mariana heran.

“Enggaklah!” Yoshi berdiri. “Gue kudu kerja lagi. Makasih ya udah repot-repot nganterin kado itu. Gue harap lo ikhlas melakukannya, bukan terpaksa karena tetangga gue dan bilang sama Tita atau siapapun yang mau ngasih-ngasih ke gue; Yoshi udah punya cewek. Oke?” Yoshi berjalan, lalu membalikkan badan. “Ohya, tolong taro kado itu di rumah. Titip ke nyokap. Ya, Ndut?”

*

            Abdi masih sibuk di depan layar laptop, untuk merancang program kelas khususnya. Ini sangat complicated. Meski sampai hari ini tidak ada satupun siswa yang suka rela menjadi muridnya, tapi Abdi yakin, besok atau besoknya lagi, pasti ada. Harus ada, tegasnya.

Pikirannya melayang pada Mariana, siswi yang pertama kali dia jumpai di SMA BS. Anak itu cerdas dan yakin jika ikut programnya, dia akan berhasil. Abdi melihat mata Mariana sepertinya tertarik, namun ada hal yang tak mampu dia lawan, hingga keinginan itu terpendam.

Kemudian, pikirannya beralih ke Yoshi, siswa dengan nilai tertinggi seangkatannya. Dan sepertinya, dia populer di SMA BS. Jika Yoshi berhasil dia tarik masuk kelas khusus, pasti banyak sukarelawan yang mau masuk, karena melihat sosok Yoshi. Ya, dialah yang akan dijadikan umpan. Abdi tersenyum ketika ingat Yoshi punya hot button yang bisa dia pencet. Kartu AS Yoshi ada ditangannya. Tapi, kepada siapa dia minta bantuan?

*

            Guru-guru senang karena tidak satupun murid yang jadi sukarelawan di kelas khusus. Itu artinya, mereka tidak perlu di tes segala untuk mengajar dan artinya lagi, si pengacau itu akan segera di pecat keluar dari sekolah ini.

“Tuh apa saya bilang…” Ujar Pak Sudiskam “Pengalaman mengajar 30 tahun kok diolok-olok.”

“Aduuuuh, saya lagi bayangin mukanya lagi nangis-nangis sekarang.” Kata seorang guru perempuan.

Ruang guru riuh rendah karena topik yang dibicarakan sangat aktual dan konyol menurut mereka. Sementara di ruang yang tak jauh dari sana, sebaliknya. Sepi. Hanya ada Bu Nina dan Abdi. Abdi menemukan ada beberapa kejanggalan di laporan keuangan tahun 2010 dan Abdi menemukan jika banyak uang menghilang di kas sekolah. Itu dengan sepengetahuan Bu Nina. Kepala Sekolah berusia 60 tahunan itu, pucat mendengarnya.

“Hm, saya tidak tahu. Orang yang megang keuangan, sudah resign setahun lalu.” Jawab Bu Nina.

“Ya memang bukan dia yang ambil uangnya. Tapi Ibu.” Tuduh Abdi. Bu Nina mengkeret. Abdi melihat gelang emas melingkar di tangan Bu Nina.

“Gelang baru, tuh..” Sindirnya. Bu Nina kelagepan. “Jangan mentang-mentang karena itu uang Ibu, Ibu bebas ambil untuk beli barang-barang kesayangan. Bagaimanapun, uang itu sudah menjadi uang Yayasan. Baiklah, saya akan bereskan masalah ini. Asal Ibu enggak pecat saya jika dalam seminggu tidak berhasil mendirikan kelas khusus. Oke?”

Bu Nina diam.

“Kita berbisnis. Saya akan mendatangkan miliaran rupiah dari Bank dan investor untuk sekolah ini, asal kita bisa buktikan, SMA BS bagus kualitasnya, dimulai dengan 5 orang pertama tahun depan yang masuk ITB. Ibu tinggal menyetujuinya dan saya tidak akan memberi tahu  perkara korupsi Bu Nina tahun lalu itu, pada dewan sekolah.” Abdi berbisik pada Bu Nina “Ibu bisa pinjami dulu saya uang, sebesar  empat  juta rupiah untuk modal awal?”

Bu Nina Surtikanti mengangguk.

Deal!” Abdi tersenyum lebar.

*

            Dalam perjalanan ke sekolah, iseng, Yoshi lewat depan toko musik tempat dia menjual terompetnya. Dia ingin tahu, apakah terompet kesayangannya sudah terjual? Jika iya, laku berapa? Dia terpaku melihat terompetnya, ada di display dan yang lebih mencengangkan, pemilik toko membrandrol dengan harga 1,2 juta!! Terompet itu terbeli hanya dengan 500 ribu, sementara dijual 1,2 juta!! Dia ingat lagi perkataan Abdi,

“Ketika beli, kamu ditipu, ketika menjualnya, kamu masih saja ditipu. Orang lemah memang selalu ditipu.”

Kali ini, dia merasa pengacara itu ada benarnya, tapi dia malu untuk mengakui. Maka dengan berbesar hati, dia masuk toko itu, bermaksud bertanya pada si penjaga.

“Sorry, kita belum buka.” Katanya jutek sambil mengelap-elap kaca.

“Katanya terompet itu cuma bakalan laku 800 ribu. Kenapa dibandrol 1,2 juta?” Tanya Yoshi dengan napas memburu karena emosi. Si penjaga tersenyum,

“Namanya juga penawaran. Ada yang mau syukur, kalo nawar ya mentok di 800 ribu. Itu namanya hukum penawaran. Kemarin, saya beli 500 ribu, kamu gak nawar, kan?”

Yoshi mendongkol dan lebih dongkol lagi ketika telepon berdering, kemudian si penjaga toko itu menerimanya dan setelah telepon ditutup, segera dia mengambil terompet itu dari kaca display.

“Dan laku, 1,2 juta! Barusan yang nelpon itu yang beli.” Katanya dengan senyum penuh kemenangan. Yoshi ingin menangis melihat terompet itu dimasukkan ke hardcase. Ditinggalkannya toko dengan hati teriris-iris.

*

Di kelas, Lusi datang dan langsung menghampiri meja Mariana.

“Mar, ada yang mau gue omongin.”

“Soal?”

“Lo nyamperin Yoshi semalam di proyek, ya?”

“Iya, gue tetangganya.”

Lusi mengangkat buku dan menggebrak meja Mariana. Semua yang kebetulan lagi mengerjakan PR di kelas, kaget dan kedua cewek itupun menarik perhatian mereka. Sejak lama, teman-teman menyadari jika kedua cewek itu perang dingin.

“Bukan itu maksud gue nanyain!!” Hardik Lusi geram. “Seseorang bilang ke gue, lo ngasih kado ke dia semalam dan lo ngobrol asyik banget sama dia. Maksud lo apa?”

“Ya, enggak ada maksud apa-apa. Gue cuma melakukan pekerjaan gue, mengantarkan kado dari seseorang buat dia.”

“Kereeeen. Sukarelawan, ya??!” Tukas Lusi tajam “Tetangga lo itu emang hot, Mar. Semua cewek di sekolah ini suka. Cewek biasa kayak lo juga diam-diam suka, kan? Tapi lihat, dia milih yang modis kayak gue!” Lusi menyeringgai.

“Terserah.”

“Gue tahu, Mar.” Lusi memegang tangan Mariana “Lo suka ama Yoshi, sejak kalian sama-sama kecil, ya kan??”

Sementara, semua makin khusyuk mendengarkan pertengkaran kecil dua cewek itu.

“…Tapi sayangnya, lo gak ada keberanian untuk bilang ke dia. Lo pendam, ya kan? Tapi sayang, Yoshi kayaknya gak tertarik sama lo, tuuuuh…”

“Gue gak pernah kepikiran juga, tuuuh! Gak pernah kepikiran bakalan jadi ceweknya Yoshi.”

“Oke, denger gue kalo gitu, Mardut alias Mariana Gendut. Gue ceweknya Yoshi, ngerti?? Dan ELO, sebagai teman masa kecil dan tetangganya yang baik hati, coba deh, berlakulah sewajarnya. Gak usah lebay! Gak usah yang aneh-aneh dan sok cari perhatian ke dia. Ngerti??” Lusi menyilangkan tangannya kedada.

“Baik,” Mariana menarik napas “Sekarang, gue mau tanya ke lo, ya sebagai ceweknya Yoshi; Lo tau apa gak kenapa sampai jam segini, Yoshi belum ada di dalam kelas? Kenapa dia selalu datang terlambat akhir-akhir ini? Kenapa dia tampak begitu murung belakangan ini? Kenapa? Apa lo tau kenapa sebabnya?”

Lusi terdiam dan menatap Mariana keki. Memang benar. Akhir-akhir ini tingkah Yoshi memang agak lain. Dia cenderung menutup diri dan yang Mariana bilang itu semuanya benar. Dia tidak tahu apa-apa. Sayangnya, ketika ditanya, Yoshi gak pernah mau menjawab. Atau jangan-jangan malah curhatnya ke Mariana? Mereka kan tetangga. Hati Lusi semakin panas. Thoriq merangkul pundak Lusi dan membimbingnya duduk ke bangkunya. Dia tidak mau ada acara jambak-jambakan. Gak lucu.

Bu Lia masuk kelas, memecah es. Kelaspun mencair.

*

            Sementara yang jadi bahan pertengkaran sengaja tidak hadir di sekolah. Sejak mengetahui jika terompet kesayangannya terlepas dari tangannya dengan harga murah kemudian terjual kembali dengan harga tinggi, Yoshi tidak bisa menerima kenyataan ini. Hatinya sakit sekali. Dia ingat lagi kata-kata Abdi, apa lagi yang akan kamu jual besok? Dia menarik napas lalu memejamkan mata.

“Gue harus berhenti sekolah jika begini caranya.”

Yoshi merebahkan diri ke rumput di lapangan bola itu. Dari lapangan ini, terlihat gedung apartemen baru yang berlantai 12. Ini adalah tempat bermainnya semasa kecil dengan anak-anak kampung, bahkan dengan anak kampung sebelah. Kadang main layangan juga dengan anak-anak kampungnya.

Terlintas wajah Lusi. Ingin sekali dia curhat masalahnya ke cewek itu, tapi gengsi. Lagipula, dia tidak mau jika harus berbagi kesedihan dengannya. Dia tidak sanggup. Tidak sanggup atau malu. Entah. Baginya pacar bukan tempat untuk bersedih-sedih apalagi minta belas kasihan.

Hapenya berdering. Sebelum mengangkatnya, dia melihat layar hape itu blank. Memang sudah rusak sejak sebulan lalu, jadi, Yoshi tidak pernah bisa tahu siapa yang menelponnya.

“Hallo…”

“Yoshi, kamu dimana, Nak?”

Itu suara ibunya.

“Kenapa, Bu?”

Ibunya berbicara dengan terburu-buru, ekspresi wajah Yoshi berubah 180 derajat. Sialan!! Mau apa orang itu! Secepat kilat, dia bangkit dan berlari menuju rumahnya. Semoga belum terlambat. Semoga dia tidak bicara aneh-aneh pada Ibu!! Yoshi membuka pintu rumah dengan gusar. Disana, Abdi sudah duduk dengan manis, di depan ibunya.

“HEH!! Mau apa?? Kenapa sampai datang ke sini segala??! Gak cukup apa, udah bikin hidup saya susah!!?” Yoshi datang dengan emosi dan hendak melawan Abdi. Abdi kalem. Ibunya justru yang berteriak-teriak menenangkan Yoshi.

“Yoshi, Pak Abdi ini datang mau bantuin kita. Tentang hutang…”

“Ya, saya mau melunasinya.”

“Jangan konyol! Saya dan Ibu gak butuh simpati Anda!” Teriak Yoshi.

“Simpati, apa? Kamu tuh yang jangan konyol. Siapa bilang saya bersimpati dengan kamu? Ini perjanjian. Saya akan menukar hidupmu dengan tiga juta itu. Saya bayar  hutang kakakmu, dan kamu harus ikut saya di kelas khusus”

“ANJRIT!” Yoshi meradang “Hidup saya gak semurah itu!!” Yoshi menarik kerah kemeja Abdi.

“Yoshi!!” Ibunya memegangi tangan anaknya.

“Salah, Yoshi, justru hidup kamu gak akan bisa dihargai dengan uang.” Kata Abdi. “Hidup kamu akan meningkat dan itu gak bisa diukur dengan uang berapapun!” Abdi mendorong Yoshi sampai jatuh tersungkur. Yoshi makin meradang.

“Anj..”

Abdi mengeluarkan uang tiga juta rupiah dan diacungkan di muka Yoshi. Yoshi membeku. Abdi meletakkan uangnya di meja.

“Bukan tugasmu memikirkan hutang. Tugasmu sekarang itu SEKOLAH!! Ini akan jadi kesempatan terakhir kamu. Putuskanlah. Saya akan ubah kamu. Saya akan bawa kamu ke ITB.”

“Pak, Anda kira orang kayak saya mau diatur dengan uang?”

“Jadi, kamu ingin terus dibayangi dengan hutang dan selalu ada dalam urutan bawah dalam masyarakat selama-lamanya?”

“Gak ada urusan!!”

“Yosh, ujian, satu-satunya standar di Indonesia untuk lulus. Meski kamu miskin, meski dulu kamu nakal, meski bapak kamu penjahat kakakmu bajingan, selama kamu bisa melalui ujian dengan skor yang tinggi, kamu bisa masuk sekolah terbaik. Meski orang itu terpengaruh lingkungan yang buruk sekalipun, dan dia mau keluar dari pengaruh itu, dia akan bisa. Meski orang-orang idiot sekalipun asal mau belajar, dia pasti bisa dan pasti diterima di universitas dengan grade A. Mereka akan mengubah total hidup mereka.”

Yoshi diam, sambil terus menatap Abdi.

“Jadi, bagaimana?”

Yoshi ragu, lalu melirik uang itu. Tawaran ini cukup menggiurkan. Hutang sialan kakaknya itu pasti terbayar lunas dan hidup mereka tenang. Tapi masalahnya, dirinya yang jadi jaminan untuk ikut kelas khusus itu. Sialan banget pengacara ini. Begini rupanya permainan pengacara.  Kotor dan busuk!!

“Saya tahu kamu bimbang, makanya, saya akan kasih kamu kesempatan untuk mikir.” Abdi mengambil segepok uang tiga juta itu dari meja.

“Saya akan merobek satu lembar, dalam lima detik. Semakin lama kamu memutuskan, semakin banyak uang yang akan terobek.” Tukas Abdi.

Yoshi makin kukuh pada pendiriannya. Sementara Ibunya nangis-nangis memohon Yoshi untuk segera mengiyakan saja. Tapi bukan Yoshi namanya kalau menyerah dengan mudah.

“Satu…Dua..Tiga..Empat..Lima..” Bret, Abdi merobek selembar uang seratus ribuan itu. Yoshi tetap diam.

“1…2…3..4…5” Bret!

Uang lembaran seratus ribuan melayang ke lantai dalam keadaan tersobek. Setiap lembaran itu tersobek, tersobek pula hati ibunya Yoshi. Abdi mengulangi lagi dan Yoshi tetap pada pendiriannya. Dia melihat dan menghitung, sudah ada empat lembar yang terobek oleh Abdi. Sial. Benar-benar sialan si Abdi ini.

“STOP!!” Ujar Yoshi akhirnya. “Saya bilang STOP!!”

“Kenapa?” Tanya Abdi “Saya cuma mau tunjukin, gimana uang ini berguna, atau tidak berguna karena keputusan kamu.”

“Kotor!!”

“Kamu gak perlu bangga hanya untuk bayar hutang yang cuma tiga juta ini, kamu harus kerja keras di proyek, dapat gaji kecil, bahkan gak cukup untuk bayar bunganya yang tiap bulan pasti meningkat dan hutang kamu gak akan pernah berkurang.”

“Saya bilang, cara Anda kotor, Pak. BUSUK!”

Abdi merobek satu lembar lagi, jadi totalnya telah 500 ribu uang itu terobek sia-sia. Ibu Yoshi mendekat.

“Saya mohon Pak Abdi, jangan robek lagi uangnya. Tolong, pinjamkan saja uang itu pada kami. Saya juga ingin dia lulus SMA dan saya juga ingin dia hidup bahagia.” Ujar ibu dan Yoshi merasa tenggorokannya jadi sakit.

“Saya tidak ingin hidupnya seperti ayahnya yang meninggal karena sakit paru-paru akibat banyak kerja di percetakan dan juga saya tidak mau dia dipengaruhi sifat buruk kakaknya.”

“Mohon, Pak. Saya janji akan menggantinya suatu hari. Tolong kami, ya Pak..” Lanjut ibu.

“Bu, perjanjian ini hanya antara saya dan Yoshi. Jadi, Ibu mau memohon-mohon sama saya, jika Yoshi tidak setuju, saya tidak akan pinjamkan.” Kata Abdi, lalu menoleh ke Yoshi.

“Menyakitkan ya, Yosh? Kamu pasti benci sama saya. Tapi Yosh, ini adalah kenyataan yang bakal kamu hadapi sepanjang hidup kamu. Apa kamu keukeuh untuk tidak mengubahnya?”

“Siaaaal,” Desis Yoshi.

“Ayo, Yosh, tinggal bilang IYA. Iya, Pak saya mau masuk kelas itu!” Kata ibunya.

“Siaaall!! SIAAAALLL!!” Yoshi bersimpuh di lantai sambil sesegukkan. Kenapa hidup ini terlalu pahit? Abdi meletakkan segepok uang itu ke meja lagi dan berdiri.

“Saya anggap deal.” Ujarnya “Besok, jam setengah enam pagi, saya tunggu kamu di lapangan.”

“Saya gak akan ambil uang Bapak. Saya akan menggantinya!!”

Abdi mengambil sesuatu dari kantong keresek besar dan mengeluarkan isinya. Terompet. Rupanya, terompet dari toko musik itu, Abdi yang beli untuk dikembalikan lagi pada Yoshi. Dia meletakkan terompetnya di depan wajah Yoshi yang masih bersimpuh dan menunduk. Yoshi mengangkat wajah dan melihat terompet kesayangannya. Hatinya makin terobrak-abrik.

“Saya tunggu besok.”

Abdi keluar rumah, diikuti ibu. Namun langkah Abdi terhenti lagi,

“Yoshi, kamu tahu apa yang membuat seseorang menjadi kuat? Pertama, kamu harus menyadari, betapa lemah dan kecilnya dirimu!”

*

            Malam itu, Yoshi akhirnya bisa bergabung dalam band SKAnya, main di pensi SMA 359. Thoriq dan Lusi senang tentu saja. Begitu juga dengan teman lain yang menyangka Yoshi akan keluar dari band. Ternyata, Yoshi hanya bercanda. Band mereka sukses tampil. Namun, ketika di backstage, Yoshi menyatakan dirinya tetap akan keluar dari band. Tentu saja ini bikin Thoriq dan yang lain heran.

“Sekarang apalagi? Katanya lo udah gak perlu kerja lagi?”

“Betul. Tapi gue  harus belajar.”

“BELAJAR?”

“Mulai besok, gue akan masuk kelas khususnya Pak Abdi.” Ujar Yoshi tegas.

*

            Esoknya, cowok itu datang tepat waktu. Abdi tersenyum menyambutnya. Kemudian, dia menelpon Lia dan bilang bahwa dia kalah taruhan dan menyuruhnya untuk datang segera ke sekolah sekarang.

Setengah jam kemudian, Lia datang dan tidak percaya pada pandangannya sendiri melihat Yoshi Arvin, siswa keras kepala itu berhasil bertekuk lutut di depan Abdi. Apa yang telah dilakukan pengacara itu pada anak muridnya? Diapun mengaku kalah dan siap membantu Abdi.

Abdi menyodorkan sekop pada Yoshi dan Lia untuk membantu menggali lubang yang belum selesai sejak seminggu lalu.

“Kurang dalam? Emang buat apaan sih, Pak?” Tanya Lia.

“Ya, pokoknya ini kurang besar dan dalam. Karena kalau enggak, dia gak akan tumbuh.”

“Apanya yang tumbuh?”

“Pak,” Potong Yoshi, dia keluar dari lubang dan naik ke atas “Apa saya bisa masuk ITB seperti yang Bapak bilang?”

“Pasti!”

“Saya ini bodoh, Pak, tanya aja Lia. Saya gak tahu cara belajar tuh kayak gimana.”

“Bisa! Pasti bisa. Ikuti metode saya. Saya jamin, kamu pasti bisa.”

“Saya benci lihat orang yang kepedean kayak Bapak.”

“Udah jangan banyak omong. Salah satu faktor orang gagal karena dia kebanyakan omong. Nih sekopnya, gali lagi. Lia ngapain bengong gitu? Ayo tetap menggali.”

Yoshi terjun ke lubang dan melirik Lia yang merengut-rengut. Senasib mungkin, batinnya.

Sebuah truk berjenis truck crank, masuk ke lapangan itu. Lia dan Yoshi terpana. Mereka membawa sebatang pohon besar sekali. Truk itu parkir di lapangan. Seseorang turun, Abdi menyapanya.

“Seperti yang saya janjikan buat Pak Abdi. Gimana, cukup besar, ya?”

“Bagus, Bagus. Ini seperti yang saya harapkan. Bunganya warna ungu, kan?”

“Iya, Pak. Sesuai pesanan. Ayo, kita mulai turunkan pohon ini.” Teriak mereka. Perlahan, pengait menurunkan pohon itu pelan-pelan ke lubangnya dan semua membantu untuk menancapkannya ke lubang dan menguruknya. Kini pohon itu berdiri tegak. Daun-daunnya melambai di terpa angin.

“Ada lagi, Pak Abdi?” Tanya mereka.

“Sudah cukup. Tinggal disirami saja. Terimakasih.”

“Kami pamit, Pak Abdi.”

Truk itupun keluar meninggalkan lapangan sekolah. Abdi memandangi pohon itu dengan tatapan penuh harap.

“Pohon apa, ini, Pak?”

“Bougenville. Bunga pohon ini berwarna ungu. Pohon ini juga tumbuh di gerbang ITB dan setiap penerimaan mahasiswa baru, bunganya tumbuh, menyambut mereka. Saya ingin, setiap siswa SMA BS dimasa datang, akan mengucapkan selamat tinggal pada Bougenville ini untuk menatap Bougenville saudaranya di gerbang ITB. Bougenville ini juga akan menjadi simbol SMA BS. Mulai sekarang, lapangan ini saya namai: Taman Bougenville!”

“Taman Bougenville?” Tanya Yoshi.

“Taman Bougenville?” Lia mengulagi.

“Pagi,…!!” Sapa sebuah suara. Semua menoleh. Di belakang mereka, telah berdiri Thoriq, Lusi dan Weni.

“Pagi,” Jawab Abdi, sementara Lia dan Yoshi speechless beribu kata.

“Saya Thoriq Syahdan, mau bergabung di kelas ini karena ada Yoshi sahabat saya.”

“Saya Lusi Nareswari, mau gabung juga karena ada Yoshi pacar saya tercinta!”

“…dan saya Weni Dyah Puspita, murni voluntir, tanpa terpengaruh siapapun. Mohon bimbingannya!!”

Yoshi hampir tersenyum melihat teman-temannya, namun dia berusaha menyembunyikan. Dia tidak ingin terlihat bahagia di depan Abdi. Padahal, hatinya sangat senang dan berbunga-bunga. Thoriq dan Lusi memang selalu bisa diharapkan.

“Baiklah para sukarelawan, sekarang bantu kami menanam dan menyiram pohon ini, ya!” Ujar Abdi. Mereka bertiga berteriak senang dan mulai mengambil peralatan. Sherwin Raffa, yang setiap pagi selalu datang kepagian, melihat aksi mereka. Dia tersenyum sambil mengintip.

Sementara mereka bekerja, Abdi menghitung. Baru ada empat. Kurang satu murid lagi untuk menggenapi targetnya.

“Kurang satu, Pak. Tetap saja ini akan dianggap gagal.” Kata Lia.

Be positif, Lia. Pasti akan ada yang gabung nanti. Saya yakin sekali.” Jawab Abdi, pikirannya tertuju pada Mariana. Gadis cerdas yang belum mau bergabung padahal mungkin saja tertarik. Abdi yakin karena mata Mariana tidak bisa bohong.

“Sekarang semuanya baris. Dengar, ya. Berhubung kalian sudah ikut kelas ini dengan sukarela, kalian harus mengikuti semua program dari saya, tanpa komplen, tanpa bantahan. Kalian hanya fokus pada tujuan, yaitu tembus ITB. Dan pohon ini akan jadi saksi perjuangan kalian. Tahun depan, pohon ini akan mengucapkan selamat jalan pada kalian untuk bertemu saudaranya yang ada di gerbang ITB.”

“Kelulusan bulan Juli, mungkin bunganya belum banyak.” Komentar Lia.

“Kayaknya, pohon berharga 5 juta mengucap selamat tinggal ke saya, itu berlebihan deh.” Ujar Thoriq.

“Ah, biarinlah. Ngomong-ngomong, saya belum pernah lihat bunga Bougenville tumbuh.” Kata Lusi.

“Banyak ulat, Lus.” Timpal Weni.

Abdi mengeluarkan kertas dari sakunya.

“Saya akan umumkan jadwal untuk kalian. Berhubung ini kelas khusus, kalian diprogram untuk tidak sama dengan yang lain. Kelas ini, akan dibagi dua tahap: Pertama, Kelas Khusus Pemantapan dan akan ada lanjutannya, yaitu Kelas Khusus Super Pemantapan dengan guru-guru yang spesial. Tahun ini, saya memprogram 5 siswa BS masuk ITB. Tahun depan 10 dan akan berlipat tiap tahunnya. Ini programnya, nanti kalian akan dapat fotokopiannya. Coba, kalian mendekat…”

Semua mendekat dan membentuk lingkaran kecil.

“Pertama, di sepuluh hari pertama, kita akan tinggal bersama di sekolah.” Kata Abdi.

“HAH!!?”

Semua kaget, tak terkecuali Lia.

“Saya juga?”

“Termasuk kamu, Lia.”

Lia hendak protes, tapi Abdi keburu ngomong lagi.

“Ini seperti kawah Candradimuka. Saya akan mengubah kebiasaan buruk kalian yang suka menunda-nunda. Lihat ini,….” Abdi menunjukkan jadwalnya. Anak-anak melihat lebih dekat.

“Ini program paling efektif untuk menyerap ilmu pengetahuan. Sudah terbukti. Ini mengikuti pola aktivitas otak manusia.”

Anak-anak melihat sebuah tabel dari lingkaran yang dipotong-potong dan diberi warna-warna menarik.

“Apaan nih?” Tanya Thoriq tidak mengerti.

“Oke, kita mulai!!”

**

135

BAB 1

Hanya Anak Idiot Dan Ayam Jelek, Yang Bisa Tembus ITB!

Anything is possible If you put your mind to it. Anything is possible Just put your mind to it. Anything is possible If you put your mind to it. Anything…. Is possible (Debbie Gibson)

Bandung, Oktober, 2011

Laki-laki tinggi kurus dengan wajah keras, sekeras kehidupan itu hanya bisa mengerut alis ketika melihat siswa-siswa dengan seragam berantakan, seliweran di depan hidungnya. Bubaran sekolah, momen dimana kemerdekaan adalah hak setiap siswa. Momen dimana seragam resmi putih abu-abu harus berganti dengan kaos bertuliskan nama-nama band punk pujaan. Jika terpaksa masih memakai kemeja, kancingnya  sudah pasti tak  bertaut,  hingga perut mereka kelihatan kemana-mana. Kemudian agar gaya mereka makin terlihat asyik, dasi mereka selempangkan ke leher.

Siswinya, tak lebih baik. Rok mereka 10 cm diatas lutut. Sangat mini untuk ukuran pelajar. Mendengar obrolan mereka sekilas tadi, tidak mutu. Yang mereka pegang juga bukan buku pelajaran tapi majalah fashion. Dandanan menor mereka dengan rambut warna warni hasil cat murahan,  sangat tidak terpelajar. Gara-gara dandanan menor itu, anak perempuan di sekolah ini, punya julukan unik; Ayam Jelek, sedangkan anak laki-lakinya berjuluk Anak Idiot.

Itulah siswa-siswi SMA pecundang: SMA Bhinekka Sentausa alias SMA BS. Tiba-tiba saja, Abdi Wiriaatmadja, lelaki tinggi kurus berwajah sekeras kehidupan itu merasa terkutuk, ditugaskan kesini.

Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan sekolah tetangganya, yang hanya sepelemparan batu dari situ, SMA dengan otak yang seksi, SMA Dharma Persada Utama namanya atau SMA DPU.

“Jangan ketuker, ya Pak. Ini SMA DPU, nilai rata-ratanya 8. Plus, 70% lulusannya bisa tembus ITB.  Sedangkan anak BS, nilai rata-ratanya hanya 3. Lulus UN 100% saja belum tentu. Saya bukan siswa sekolah itu. Saya gak mau dibilang Anak Idiot. SMA BS disana, diujung jalan Citrawangi ini, kira-kira 500 meter dari sini. Cukup jelas, Pak?” Cerocos seorang siswa DPU yang dia temui di jalan ketika Abdi bertanya dimana letak SMA BS.

“Sopan banget tuh anak.” Ujarnya, setelah siswa itu berlalu.

Abdi, pengacara berusia 38 tahun yang tidak kaya bila dibanding pengacara lainnya, karena tidak pernah dapat pekerjaan bagus sepanjang karir, melangkah menuju gerbang SMA BS.

Hutang SMA BS hampir 20 Miliar Rupiah dan tidak terbayarkan. Ketika Bu Nina Surtikanti, Kepala Sekolah sekaligus pemilik Yayasan ini mengajukan berkas hutang pada firma dan bilang bahwa seluruh aset mereka akan dijual, Abdilah yang ditugaskan mengurusnya. SMA BS terancam tutup.

Tentu saja anak-anak bodoh dan polos itu tidak tahu masalah hutang sekolah. Dengan tampang lugu-lugu seolah tidak memikirkan dunia, mereka pulang dengan gembira ria tanpa beban, seperti baru bubar nonton layar tancap.

Pertemuan Abdi dengan Kepala Sekolah dan guru-guru siang itu tampak tidak maksimal. Beberapa guru justru menentang kebijakan Bu Nina. Intinya, mereka tidak setuju sekolah dibubarkan.

Di rumah, Abdi merenung. Jika berhasil  ini mungkin akan jadi awal karir bagusnya di dunia pengacara. Jika SMA BS sukses dia tangani, sekolah-sekolah bangkrut yang lain sudah menunggu tangan dinginnya.

Tapi setelah urusan SMA BS selesai, apa selanjutnya?

Hati nuraninya mulai bicara. Apalagi, ketika melihat murid-murid BS yang dia temui tadi. Ada yang nongkrong, ada yang dikeroyok preman, ada yang menghisap-hisap rokok di pagar jembatan sambil gitar-gitaran. Beginikah masa depan putra bangsa? Mau jadi apa mereka nanti ketika terjun ke masyarakat?

Apakah looser selamanya harus menjadi looser?

Dia teringat masa lalu sebagai anggota genk motor yang kemudian tobat. Dia lalu sekolah dengan serius dan akhirnya jadi pengacara. Meski bukan pengacara kaya dengan bayaran jutaan, tapi minimal dia tidak lagi jadi anggota genk motor yang hidup di jalanan untuk mengganggu ketertiban umum.

“Kamu akan kaya dan terkenal jika berhasil menangani kasus SMA BS ini, Di.” Kata Bossnya. Abdi merenung. Kaya dan terkenal, gumamnya. Ya, harus. Dia tidak ingin hidup seperti ini terus. Tidak punya rumah dan masih kontrak. Lebih parahnya dalam usianya ini, dia belum juga menikah. Jika sukses dia akan jadi pembicaraan orang satu firma dan akan diberi tugas-tugas yang pastinya lebih besar.

Abdi bolak balik sendiri di ruang tamunya yang sempit. Jika urusan selesai di SMA BS, dia akan kembali pada rutinitasnya sebagai pengacara yang sebetulnya sangat membosankan. Jiwanya sebagai anak genk motor yang sudah tobat, memaksanya untuk berpikir sesuatu. Pada dasarnya, dia suka tantangan. Harus tercipta sesuatu. Something bigger than this. Sesuatu yang spektakular yang bisa membuat heboh dunia.

Matanya terpaku pada pohon Bougenville dari balik jendela di depan kontrakannya. Pohon rindang berdaun hijau berhiaskan mahkota bunga ungu, melambai-lambai indah diterpa angin bulan Oktober. Abdi tersenyum, dia tahu apa yang harus dia lakukan.

*

            Mariana, cewek berwajah melankolis yang tidak pernah mimpi apapun selain menuruti keinginan ibunya agar setelah lulus nanti, bekerja sebagai ‘waitress’ di warung nasi “Sederhana” milik ibunya. Mereka hanya tinggal berdua saja dan hidup mereka bergantung pada warung nasi itu. Mariana yang ditinggal pergi ayahnya entah kemana, tidak tahu lagi mau ngapain selepas SMA, selain parkir di warung nasi itu. Meski disana nanti, dia akan jadi objek pelecehan supir-supir angkot dan truk proyek langganan ibunya.

“Anak SMA BS ya enaknya emang dilecehin,” Ujar salah seorang supir ketika Mariana marah dan menghardiknya. Supir itu pernah memegang pantatnya.

“Otak mereka tidak seseksi pantatnya, ha ha ha!!” Lanjut yang lain. Saat itu, Mariana langsung masuk rumah dan tidak keluar-keluar lagi.

“Kayaknya semua orang di warung bodoh punya nyokap gue itu, emang memandang rendah anak-anak BS.” Katanya pada Amel, teman sekelasnya.

“Lo gak musti kerja di warung nyokap lo, kan? Kerja aja di mana, gitu, biar gak ada yang tahu, lo anak sini.” Ungkap Amel.

“Warung itu punya nyokap. Sementara, nyokap udah tua dan sakit-sakitan. Otomatis ya gue dong penanggungjawabnya nanti. Ada sih yang suka bantu-bantu. Tapi herannya, yang bantuin kita itu gak pernah dilecehin kayak gue. Sebel, deh!”

Amel tertawa menepuk pundak sahabatnya dan mengandengnya masuk ke gerbang sekolah.

*

            Enam kilometer dari sana, Thoriq Syahdan, anak pengusaha sepatu, berjalan kaki keluar dari kompleks perumahan elit. Dia menolak diantar ibunya dengan mobil. Tadi sebelum berangkat, dia bertengkar dengan ayahnya yang selalu mengatainya bodoh dan tidak mungkin mewarisi usaha pabrik dan toko sepatunya.

“Thoriq, ayo ikut Mama, nanti kamu telat.” Kata ibunya sambil membuka kaca mobil. Thoriq memanggul gitar seraya menarik napas panjang.

“Gak perlu, Ma, gak ada kata ‘Terlambat’ dan ‘Absen’ di SMA BS. Gak masuk-masuk sebulan juga gak bakalan ditanyain.” Jawabnya.

“Ya udah, tapi nanti pulangnya langsung pulang, ya? Jangan latihan band dulu. Nanti malam kan Papa ulang tahun, Sayang. Kakak dan adik kamu juga udah Mama pesan jangan kemana-mana. Kita makan malam bareng.”

“Gak peduli!”

Ibunya cemberut.

“Dasar, anak BS gak tahu sopan kamu! Begini ya hasil didikan sekolah selama ini, kurang ajar sama orang tua? Kamu itu bodoh, kurang ajar, gak sopan, maunya sendiri, gak punya….”

Thoriq tidak mendengar lagi, tidak mau mendengar lagi. Cukuplah baginya dikatai bodoh hari ini. Dikosongkan hati dan pikirannya menuju sekolah. Sekolah yang entah bisa memberi apa untuk masa depannya kelak.

*

Tiga kilometer dari SMA BS, Yoshi Arvin, sedang memandangi terompet yang menempel di dinding kamarnya. Terompet kesayangan. Terompet yang selama ini menemani dirinya bermain band bareng Thoriq dan teman-teman. Mereka sedang merajut impian, menjadi band papan atas tanah air.

Dari kelas satu dulu, dia dan Thoriq sudah membentuk band beraliran Ska dan band mereka pernah jadi juara Festival Band antar SMA di Bandung. Juara Harapan, sih.

Haruskah terompet ini gue jual sekarang, demi sesuap nasi?

Tadi pagi, beberapa orang mendatangi rumah yang sekaligus tempat usaha keluarganya. Usaha fotokopian itu menjadi sandaran hidup mereka sehari-hari. Sejak ayahnya meninggal dunia, usaha itu perlahan bangkrut. Kakak Yoshi yang diserahi tanggungjawab mengurus usaha itu, tidak amanah. Dia banyak menghabiskan modal usaha ke tempat judi. Kini, habislah. Orang-orang itu mendatangi rumahnya untuk menagih hutang. Tiga juta rupiah jumlahnya. Sedikit mungkin buat sebagian orang, tapi besar artinya untuk keluarga Yoshi.

“Yosh, kamu gak sekolah? Udah siang.” Tegur ibunya, ketika melihat anaknya hanya bengong memandangi terompet.

“Bu, Yoshi mau berhenti sekolah aja, ya? Biar Yoshi cari kerja.”

Ibunya kaget dan tentu saja tidak setuju. Tanggung, dia sudah kelas tiga SMA, sebentar lagi lulus. Ya, meski lulusan SMA BS yang konon tidak bermasa depan, tapi lumayan kan? Ijasahnya, bisa buat ngelamar kerja jadi Office Boy atau apa. Masa nanti ijasahnya hanya SMP saja? Mau kerja apa dengan ijasah SMP hari gini?

“Bu, kakak udah ngabisin harta Ayah. Dia kabur, ninggalin hutang untuk kita. Darimana uang buat bayarnya, Bu? Tiap hari aja kita kembang kempis nyari buat makan. Lagian, bakal lulus SMA BS, gak akan ada perusahaan yang mau mempekerjakan Yoshi juga, kan? Kalo kerja ‘kan lumayan, bisa nyicil ke mereka.”

“Enggak! Ibu akan ke bank sekarang. Mungkin Ibu bisa menggadaikan sertifikat tanah dan rumah. Kita akan pinjam dari bank untuk menutupi hutang pada rentenir itu. udah gitu, ibu mau cari kerja ke pabrik tekstil. Ya? Yoshi, kamu tenang aja. Kamu jangan sampai berhenti sekolah. Cukup kakakmu saja yang jadi berandalan, kamu jangan ikut-ikutan. Sekarang ke sekolah. Ayo!”

*

            Pagi sekali, sebelum anak-anak datang, Abdi sudah ada di ruang Kepala Sekolah. Kemarin, selain membicarakan soal properti apa saja yang akan didaftarkan untuk dilelang, Abdi juga mengutarakan niat yang dia pikirkan. Rencana ini memang tidak masuk akal untuk  Bu Nina Surtikanti. Abdi bermaksud, menjadikan 5 orang anak SMA BS lulus UN dengan gemilang dan bisa masuk ITB tahun ini.

“Sepertinya, rencana yang kemarin diomongin itu tidak mungkin, Pak Abdi. Mana bisa mereka tembus ITB? Anda tahu sendiri, anak murid sini bodoh-bodoh.” Ujar Bu Nina dengan suara meninggi.

“Ibu mau bangkrut dan pensiun dalam keadaan miskin? Tidak bisa lagi membeli barang-barang mewah?” Abdi melirik cincin berlian di jari manis Bu Nina, juga tas bermereknya, jam tangan Rolex aslinya, sepatunya, semuanya bermerek. Bu Nina senyum-senyum.

“Saya akan bantu mengembalikan kepercayaan Bank  atau investor pada sekolah ini. Jika anak-anak bisa lulus 100% dan tembus ITB, minimal 5 orang saja, saya jamin, reputasi sekolah ini akan meningkat. Saya sudah punya planningnya, Bu. Yang Anda harus lakukan, hanyalah mensosialisasikan ini kepada komisaris, dewan sekolah dan guru-guru. Anda punya seseorang yang kira-kira bisa bantu saya?”

Bu Nina belum menjawab ketika pintu diketuk dan muncullah seraut wajah ayu, namun polos masuk ke ruangan itu: Lia Dahlia, guru muda berusia 26 tahun. Bu Nina memang memintanya ke sini untuk bantu-bantu Abdi mendaftarkan milik sekolah apa saja yang akan dijual.

“Itu dia orangnya!” Teriak Bu Nina.

“Pagi, Bu…” Lia menyapa dengan wajah berseri. Guru yang mengajar Bahasa Inggris itu akhirnya terpaku di tempat ketika melihat Abdi. Dia mengenal Abdi sebagai kakak teman SD-nya. Abdi ini pernah dipenjara karena terlibat genk motor. Itu dulu, duluuu sekali. Sekarang apa kata Bu Nina tadi? Dia pengacara yang akan menangani masalah kebangkrutan SMA BS?

“Ini pengacara kita? Ibu percaya pada pengacara bekas berandalan ini?” Tanyanya.

“Genk motor, beda dengan berandalan. Lagipula saya sudah insyaf.”

“Sama saja!”

“Enggak!”

“SUDAH!” Teriak Bu Nina.  “Lia, duduk. Saya akan membicarakan sesuatu. Mau tidak mau, Lia harus bantu.”

Lia Dahlia seperti terjengkang dari tempatnya duduk ketika Bu Nina menceritakan apa rencana Abdi. Dia ingin menolak tapi tidak enak pada Bu Nina. Bu Kepsek itu sudah seperti ibunya sendiri. Dulu, Kepala Sekolah sekaligus ketua Yayasannya adalah suami Ibu Nina, yang meninggal tiga tahun lalu. Sebetulnya, Bu Nina dulu hanya sebagai pembina Yayasan saja, baru tiga tahun inilah, menjabat sebagai Kepala Sekolah.

“Oke, deal. Sekarang, panggil murid kelas duabelas yang nilainya diatas 50. Panggil kesini. Saya akan mendiskusikan ini dengan komisaris, dewan sekolah dan guru-guru lain.” Tukas Bu Nina, lalu meninggalkan Abdi dan Lia yang masih diam-diaman di ruang itu.

*

Lia masuk ke kelas XII IPA 2,  dan kakinya tersandung tong sampah yang diletakkan dekat kursinya. Lia kesal. Beginilah ulah murid-muridnya. Matanya beredar mencari sosok itu.

“Mana Yoshi? Yoshi Arvin masuk ga hari ini?” Teriaknya, namun tidak ada yang peduli. Meski guru sudah masuk, murid-murid SMA BS tetap saja bercanda dan mengobrol, sebelum ada penghapus melayang ke salah satu kepala mereka. Apalagi, yang masuk adalah Lia, guru kemarin sore. Beberapa anak murid bahkan ada yang memanggilnya dengan nama saja, tanpa embel-embel ‘Bu’ atau ‘Bu Guru’.

“Kenapa beberapa hari ini Yoshi tidak masuk?” Keluhnya “Kalau Mariana, ada?”

Yang disebut menunjuk tangannya dengan malas-malasan. Pasti disuruh maju ke depan, membentuk kalimat dalam Bahasa Inggris. Mariana menguap karena semalam dia bantuin ibunya bikin nasi kotak untuk katering.

“Ada!” Jawab Mariana sambil menunjuk tangan.

“Kamu ikut saya, yuk!”

“Ada apa, Bu?”

“Gak tahu. Saya disuruh Kepala Sekolah untuk panggil Yoshi dan kamu. Ayo.”

Mariana bangkit dan mengikuti Lia ke ruangan Bu Nina. Sampai di ruang itu, Bu Nina sudah tidak ada, mungkin sudah ada di ruang rapat, bersama komisaris, dewan sekolah dan guru-guru lain. Hanya ada Abdi sendirian.

“Siapa dia, Bu?” Bisik Mariana.

“Saya Abdi, pengacara yang akan menangani kasus kebangkrutan SMA BS.”         “Bangkrut?” Mariana mendesis.

“Mau kerja part-time?” Tanya Abdi seraya merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan uang seratus ribu. Lia melotot.

“Pak Abdi, jangan macam-macam sama anak murid saya! Ngapain tuh ngasih uang seratus ribu segala??” Lia panik.

“Tenang aja. Siapa nama kamu?”

“Mariana, Pak.”

“Mariana, mau apa enggak? Kerja kamu hanya berdiri saja.”

“Berdiri doang, Pak?”

Abdi membenarkan dan Mariana setuju.

*

            Di ruang rapat, sudah menanti komisaris, dewan sekolah dan guru-guru. Abdi menjelaskan skema hutang dan apa saja yang akan mereka lelang untuk menutupi hutang-hutang tersebut.

“Kita bisa saja mengabaikan hutang-hutang ini dan biarkan sekolah berjalan seperti biasa, tapi mungkin dengan mengubah sedikit administrasi dan kurikulum standar.” Ujar Abdi.

Para hadirin masih mengerut-kerut dahi. Rata-rata mereka juga tidak paham apa yang Abdi bilang tentang hutang-hutang itu. Tapi kepala mereka manggut-manggut seolah mengerti.

“Kenapa kita melakukan itu? Karena saya punya ide yang brilian, yang bisa menyelamatkan sekolah ini dari kebangkrutan.” Lanjut Abdi, lalu melirik Bu Nina.    “Saya akan bawa SMA Bhinekka Sentausa, kembali normal seperti semula. Ohya, saya juga mengundang perwakilan dari Bank dalam rapat ini.” Abdi menunjuk seorang bapak yang duduk di depan. “Mereka akan mensupport kita jika ini berhasil,”

“Maaf, Pak. Kami harus mendengar rencananya dulu, bagaimana?” Kata bapak dari Bank itu.

“Seperti saya bilang tadi, kita harus berubah secara drastis, dalam stategi manajerial sekolah. Saya, akan mendirikan sebuah ‘Kelas Khusus’ dan tahun ini, kita harus bisa mendapatkan LIMA murid yang akan masuk ITB.”

Mendadak, semua diam. Bergeming. Bu Nina menundukkan kepalanya. Ini tidak akan berhasil.

“Saya ulangi, kita akan mendapatkan LIMA murid, yang akan masuk ITB!!”

Ruangan mendengung seperti lebah.

“Apa dia bilang?? ITB? Institut Tehnologi Bandung?”

“ITB yang ‘itu’?? Yang di Ganesha itu?”

“Konyol!”

“Halah, ya gak mungkin. Kalau Institut Tambal Ban, mungkin…Ha ha ha..!!”

“Pak, jangan ngebanyol.”

“Enggak, saya nyindir orang itu biar kalo ngomong tuh yang realistis aja.”

“Benar, apa dia gak tahu, level sekolah ini kayak gimana.. aaah, ada-ada aja!”

“Murid sini tuh adalah murid-murid yang mungkin aja di DO kalau mereka balik ke SD, tahu gak, Pak!?”

Mereka tertawa-tawa.

“Benar itu.”

“Pak Abdi sudah survey belum, bagaimana sekolah yang punya murid dengan nilai rata-rata 3 seperti itu, bisa tembus ITB?” tanya Pak Sudiskam, guru paling senior, akhirnya buka mulut. “Mungkin dalam 100 tahun, gak akan ada.”

Semua di ruangan itu tertawa lagi.

“Saya percaya, strategi yang akan saya jalankan ini akan berhasil.” Abdi masih tenang bicara. “Lima murid tahun ajaran 2012, 10 murid tahun berikutnya dan 5 tahun lagi, 100 orang murid, akan qualified masuk ITB!”

Ruangan mendengung lagi.

“Saya sudah menyeleksi murid yang qualified menurut catatan sekolah. Dia punya nilai diatas rata-rata temannya. Mariana, masuk…” Kata Abdi, menyuruh Mariana yang berdiri di depan ruangan untuk masuk. Lia melongo. Ini rupanya part-time job itu..Keterlaluan!

Mariana masuk dengan kepala tertunduk.

“Mariana, kelas XII IPA 2?” Yang lain bertanya terheran-heran. Sebagian geleng-geleng kepala sambil tertawa mengejek.

“Mariana, salah satu dari lima murid yang bulan Agustus 2012, akan menjadi murid SMA BS pertama yang masuk ITB!” Kata Abdi. Mariana kaget, dia menoleh pada Abdi.

Suasana ruangan riuh rendah. Saat itulah Mariana merasa seperti ditampar orang satu kecamatan. Jadi, dia dibayar hanya untuk dipermalukan seperti ini? Kurang ajar nih pengacara!!

“APA? ITB? Siapa yang mau masuk sana?”

“Kamu diam aja!”

“Jelasin, Pak, siapa yang mau masuk sana!!?” Mariana gusar.

“KAMU!”

“HAH??”

“Kamu, akan masuk ITB tahun depan.” Abdi menjawab mantab.

“Pak Abdi, apa bisa dibuktikan, kalau Mariana bisa diterima di ITB, sementara kami tahu kemampuan dia seperti apa?” Tanya seorang guru.

“Iya, karena kami yang tahu bagaimana kemampuan anak-anak murid kami!”

“Sebentar,” Abdi menginterupsi “Karena Anda tidak familiar dengan ujian masuk akhir-akhir ini, jadi Anda menganggap ‘sangat tidak mungkin’ ketika mendengar kata ‘ITB’. Memang, seperti yang lalu-lalu, ujian masuk ke ITB itu selalu tidak mudah dan saingannya juga banyak. Itu sangat menantang. Tapi tahukah Anda, bahwa setiap tahunnya, ITB selalu membuka diri bagi siapa saja yang punya keinginan masuk sana. Sebetulnya, tidak susah masuk ITB akhir-akhir ini. Banyak prodi atau program studi yang didirikan dan TAHUN INI, ITB akan menambah kuota penerimaan sebanyak 100 mahasiswa.”

“Bukti bahwa ITB terus berkembang adalah dengan didirikannya kampus baru di kawasan pendidikan Jatinangor dengan konsentrasi bidang studi yang berkembang pula. Karenanya, kita tidak perlu khawatir tidak akan tembus ITB. Yang terpenting adalah bagaimana kita mempelajari tips-tips test tasking yang benar. Hanya memerlukan ketahanan mental dan tehnik-tehnik tertentu saja. Selama Anda mempelajari itu dengan efektif, kesempatan Anda untuk masuk akan lebih besar!”

Semua masih menyimak.

“Kenapa saya ngotot sekali murid sini bisa masuk sana? Itu bisa membawa dampak yang sangat signifikan bagi masa depan mereka dan dalam tatanan masyarakat. Lulusan ITB, siapa yang tidak mau menerima bekerja? Bergaji tinggi pula. SMA BS, tidak akan dipandang rendah lagi oleh masyarakat. Dampaknya juga akan meningkatkan kepercayaan diri pada seluruh individu dalam lingkungan sekolah ini.”

“Halah, udahlah Pak Abdi, hentikan omong kosong ini!”

“Ya, hal seperti itu, gak gampang seperti yang dipikirkan. Anda nih pengacara, tahu apa soal pendidikan? Kami sudah bertahun-tahun berkecimpung disini. Dibanding kami, Anda tidak ada apa-apanya.”

Semua setuju dengan pernyataan itu.

“Ya, sudah. Diam saja kalau begitu, dan Anda semua akan melihat SMA BS koleps dan tenggelam pelan-pelan seperti kapal Titanic dan Anda semua adalah korban yang tenggelam.” Ujar Abdi.

“Itu tidak akan terjadi!!” Bu Nina berdiri dan berkata lantang. “Sodara-sodara, apa Anda semua mau, melihat sekolah kita tutup dan kita hanya akan melihat sisa-sisa kejayaannya dengan sedih karena tak mampu berbuat apa-apa??”

“Hm,” Seseorang yang menjabat sebagai Dewan Sekolah berdiri, seraya merapikan jasnya. “Bagaimana jika kita biarkan Pak Abdi menjalankan misinya, sementara kita melihat hasilnya? Jika dalam waktu satu bulan Pak Abdi tidak berhasil mendapatkan 5 orang siswa yang mau jadi voluntir, dia harus kita pecat, baik sebagai pengacara kita, maupun sebagai ‘Guru’ dadakan untuk murid-murid kita. Bagaimana?”

Semua setuju dan rapat itupun bubar.

*

            “Omong kosong!!” Teriak Lia di lorong kelas menuju perpustakaan. Sial, kenapa dia yang ditunjuk  Bu Nina untuk mendampingi pengacara sialan itu? Mendampingi sekaligus menjadi supervisor satu pengacara sok tahu dan 5 anak bodoh yang nanti akan diprogram untuk masuk ITB? Ini benar-benar nonsens!

Obrolan tadi, sama omong kosongnya dengan produk-produk pelangsing badan seperti alat sauna, atau teh pelangsing. Dia sekarang kasihan pada Mariana, yang terpaksa jadi korban ambisi pengacara miskin yang gak ada kerjaan. Apa yang ada dalam otak pengacara tolol itu?

Abdi dan Mariana berpisah diujung lorong. Mariana berbelok, tanpa ada kata-kata apapun lagi. Dia masih bingung, kenapa dirinya yang dipilih pengacara itu untuk jadi kelinci percobaan? Di sekolah ini masih ada 300an murid kelas XII lainnya mengapa harus dirinya? Tidak, dia tidak akan mau.

“Mariana,” Panggil Abdi.

“Ya?” Gadis itu menoleh “Ada apa, Pak? Anda mau uang Anda kembali?” Kata Mariana sinis, lalu merogoh sakunya.

“Bukan, bukan itu…”

“Anda bilang bahwa yang harus saya lakukan hanya berdiri saja. Ternyata, saya dipermalukan di depan rapat. Anda keterlaluan!”

Abdi diam menatapnya.

“Kamu serius, tidak ada keinginan untuk masuk ITB?”

“Haduuuh, masih dibahas?” Mariana menggelengkan kepala “Enggak! Saya gak pengen!”

“Saya akan ajarkan caranya. Sekarang, saya tanya lagi, apa kamu mau masuk ITB?”

“TIDAK! Ngotot banget,sih!”

“Jadi emang benar kamu idiot.” Tukas Abdi.

“Idiot?!?”

“Kamu harus tahu, hidup kamu, akan berubah 180 derajat, jika kamu bisa menghirup udara kampus itu, kuliah disitu, menjadi bagian dari keluarga besarnya, memakai jaket almamaternya, semuanya akan berubah. Memang terdengar bodoh, dan bukan itu sih intinya, tapi, merasa tidak?? Jika kamu bertemu mahasiswa ITB? Ada kebanggaan tersendiri dalam diri mereka. Sebuah kepercayaan diri yang luar biasa. Mereka dipandang sangat sangat baik dalam masyarakat kita, ditempatkan di urutan utama penerimaan calon karyawan.”

Abdi berdehem.

“ITB juga membentuk pola pikir yang tidak akan pernah sama dengan tempat pendidikan lain di negeri ini. Kamu juga bisa mengangkat derajat orangtuamu. Menempatkan mereka dalam urutan utama juga dalam tatanan masyarakat di sekitarmu. Cuman gara-gara kamu anak ITB!”

Mariana diam.

“Jika kamu meneruskan hidup kamu seperti ini saja, kamu bakalan terus hidup dalam kekonyolan. Lulus dari SMA bobrok, masa depan kamu juga pastinya akan konyol. Yang kamu lakukan nanti bekerja di tempat-tempat yang gak jelas, berpindah-pindah, bergaji kecil, dipandang sebelah mata oleh orang lain, ujung-ujungnya….”

“BERHENTI NGOMONG GITU!! BULLSHIT!! SAYA TIDAK PERCAYA APA YANG ANDA OMONGIN!!” Teriak Mariana, airmatanya mengambang di pelupuk mata. Tiba-tiba dia ingat ibu dan warung nasinya. Kemudian, Mariana melengos dan pergi meninggalkan Abdi di ujung lorong. What the hell with you!!

Mariana pulang  dengan hati kesal. Dia masih ingat perlakuan Abdi si pengacara sialan itu. Mempermalukannya di depan rapat guru, kemudian mendoktrinnya tentang ITB yang tidak pernah dia impikan bahkan sampai langit menyentuh batok kepalanya.

Meski udah jam 9 malam, warung nasi masih buka. Ibunya terlihat sangat lelah, tapi dipaksakan senyum demi melayani pelanggan-pelanggannya yang rata-rata genit dan berotak tumpul.

“Neng, sini bantu Ibu. Nih, Kang Saldi dari tadi nanyain, kemana Mariana anak Ibu yang cantik. Dia tidak mau makan lho, kalo tidak ditemani kamu, Neng…” Ujar ibunya. Kang Saldi yang dimaksud adalah supir truk proyek apartemen yang tidak jauh dari rumahnya. Konon, si Saldi itu beristri banyak. Dia senyum-senyum, lalu melambaikan tangan pada Mariana yang tak peduli.

“Sok jual mahal, hihihi.” Dengan genit ibunya mengerling pada Saldi.

“Gak apa, Bu. Saya siap menunggu sampai dia lulus SMA.” Saldi berkata sambil memamerkan gigi emasnya. Mariana merinding, begidik, lalu naik ke atas, masuk ke kamarnya. Dihempaskannya tubuh di kasur. Pikirannya masih melayang pada kejadian tadi. Teringat kata-kata Abdi, si pengacara, ‘Jika kamu hidup kamu seperti ini saja, kamu bakalan terus hidup dalam kekonyolan’.

Mariana memandang langit-langit kamarnya yang kehitaman akibat bocor. Dia benar.

*

            Malam hari, Abdi berjalan lambat-lambat di sekitar pertokoan. Dia ingin mencari warung nasi yang murah dipinggiran ruko ini. Tanpa sengaja, matanya melihat seseorang, yang sempat dia lihat di SMA BS. Iya, dia anak SMA BS. Abdi tidak bisa melupakan gaya rambutnya yang kampungan. Agak gondrong dan dicat warna pirang dengan cat murahan. Anak laki-laki itu sedang berbicara dengan pemilik toko. Dari nada bicaranya, sepertinya dia mencari pekerjaan.

“Maaf, Dik. Kami tidak terima karyawan yang masih SMA. Kami butuh tenaga kerja full dari pagi sampai malam dan gak bisa hanya sore saja sepulang sekolah. Maaf, cari pekerjaan lain aja. Tuh, proyek apartemen biasanya butuh kuli bangunan. Mereka bekerja siang dan malam. Pasti ada kerjaan buat Adik.”

“Tolong, Pak…” Anak itu memelas, Abdi hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Dia mengerti masalahnya. Anak BS itu sedang mencari pekerjaan. Pertanyaannya, kenapa dia sampai mencari pekerjaan? Apa masalah dia?

“Maaf, Dik…” Pemilik toko itu membalikkan badan meninggalkan anak itu.

Yoshi Arvin menangkupkan tangannya ke wajah lalu terisak-isak.

“Kemana lagi harus cari kerja, Ya Tuhaaaan…” Ujarnya putus asa, lalu menengadah ke langit kelam. Sekelam pikirannya saat ini.

Akhirnya, Abdi tak jadi makan, dia hanya membeli mie instan di supermarket. Sambil makan mie itu, dia membuat skema rencana soal Kelas Khusus itu. Abdi menatap Bougenville di depan kontrakannya. Dia tersenyum lebar. Rencana awal, adalah menanam pohon Bougenville berbunga ungu, di SMA BS.

*

            Esok paginya, Abdi datang pagi sekali ke SMA BS. Dia menurunkan sekop dari atas motornya, kemudian mulai menggali tanah di belakang sekolah, dekat lapangan basket. Disana, ada lapangan yang cukup luas. Menurut Bu Nina, lapangan itu sedianya akan dibuat lapangan volley, namun karena biaya, sekolah menangguhkan rencana itu. Dia menggali lubang yang besar untuk pohon utamanya dan beberapa sanggahan untuk merambatnya ranting-ranting Bougenville.

Jam setengah tujuh, Bu Nina datang dan menghampiri dengan tatapan heran.

“Eh Ibu, datangnya pagi sekali,” Ujar Abdi, sambil melap keringatnya.

“Lubang buat apa ini, Abdi?”

“Saya punya rencana, Bu. Ibu tenang saja..” Abdi menyungging senyum misteri. Bu Nina makin mengerut alis. Dia benar-benar tidak mengerti jalan pikiran pengacara muda ini.

“Ohya, Abdi, saya penasaran, kamu ngotot sekali anak-anak kami masuk ITB. Apa kamu juga lulusan sana?”

Abdi tergelak.

“Bu, mana ada jurusan Hukum di ITB?”

“Jadi?”

Abdi menancapkan sekop di tanah, lalu menepis tangan dari kotoran.

“Saya pernah kuliah di ITB karena keberuntungan, Bu. Tapi hanya empat semester. Kemudian, saya di DO, karena nilai-nilai saya tidak memenuhi kualifikasi. Saya terlalu sombong karena saya merasa pintar dan tidak perlu belajar. Saya tidak memanfaatkan keberuntungan saya sebagai tantangan. Setelah saya di DO, saya mulai limbung dan tidak stabil, saya menyesal, kemudian ikut genk motor, seperti yang selalu diungkit Lia. Tapi, saya sadar tidak boleh terus-terusan begini dan mencoba kuliah lagi jurusan Hukum. Ya, jadinya pengacara seperti ini.”

Bu Nina mengangguk-angguk.

“Jadi, ini obsesi kamu, karena gak lulus dari sana?”

“Wah, Ibu jangan salah mengerti. Bukan begitu.”

“Lalu?”

“Bu, ini soal pandangan masyarakat. Saya merasakan, betapa sulitnya bekerja ketika baru lulus. Meski saya jurusan Hukum, saya tidak langsung menjadi pengacara. Saya bertualang. Saya kerja di Jakarta di biro hukum dan kerjaannya hanya ngurusin dokumen. Tahu tidak? Saya menjadi bawahan anak-anak ITB. Padahal saya kuliah jurusan hukum dan mereka jurusan tehnik. Gaji mereka, dua kali lipat dari gaji saya. Ini yang tidak saya mengerti. Sampai akhirnya, saya mengambil sekolah lanjutan menjadi pengacara dan ujian profesi, baru deh karir saya agak meningkat jadi pengacara.”

Bu Nina terdiam. Dirinya, memang tidak pernah memikirkan hal itu ketika mendirikan Yayasan ini bersama suami dan beberapa rekannya. Dia hanya concern dengan anak-anak yang tidak bisa diterima di sekolah favorit. Itulah konsentrasinya dahulu. Hanya itu.

Dipikir-pikir, benar juga si Abdi ini. Apakah anak-anak yang tidak bisa diterima di SMA favorit,  juga tidak punya kesempatan masuk PTN favorit juga?

Yoshi melangkah sambil menjinjing hardcase berisi terompet. Rencananya, pulang sekolah nanti, dia akan menjualnya. Mereka benar-benar sudah tidak punya beras. Mariana melihat teman kecilnya itu masuk gerbang sekolah. Dia menyusulnya kemudian menjajari langkah Yoshi.

“Kemarin kemana!? Bolos, ya?”

“Eh, Mardut.”

“Iiih, masih manggil itu? Gue kan udah gak gendut lagi. Itu mah jaman SD!”

Yoshi tertawa. Ya, dia mengakui Mariana yang sekarang jadi kurus dan cantik dibanding SD dulu.

“Eh, tahu gak? Gara-gara kemarin lo gak masuk, jadinya gue deh yang kena getahnya..”

“Maksudnya??”

“Harusnya lo yang kerja itu, karena lo gak masuk, jadinya gue yang disuruh. Ada pengacara. Dia, mempermalukan gue di depan rapat gur…”

“YOSHIIII!!!” teriak seorang gadis lalu dia merangkul pundak Yoshi dari belakang. Itu Lusi Nareswari, pacar Yoshi, sekaligus berperan sebagai manajer band yang digawangi Yoshi dan Thoriq Syahdan, sang gitaris.

Lusi selalu merasa cemburu jika Yoshi dekat-dekat dengan Mariana, tetangga dan teman masa kecilnya. Sebab dia merasa jika Yoshi sedikit ada hati sama Mariana, begitu juga sebaliknya. Maka, dia menyelip diantara Yoshi dan Mariana, kemudian mendorong Mariana menjauh. Lusi menggandeng tangan cowok itu.

“Kenapa gak jawab SMS gue kemarin?”

“Hah? Lo SMS?”

“IYAAA!!”

“Sorry, gak tahu. Lagian gak ada pulsa. Gue..”

“Yoshi!! Kebetulan lo masuk!” Sapa Thoriq. Dia menunjukkan gitarnya. “Sehati banget! Tadinya mau nyusulin lo ke rumah kalo lo gak masuk lagi. Kita latihan ya sore ini. Minggu depan ada pensi di SMA 359 dan band SKA kita yang keren sejagat ini diundang main. Oke? Oke?”

Yoshi terdiam. Terompet ini kan mau gue jual hari ini?

“Kenapa, Bro? Hoyy! Kok bengong??”

“Hm, Thor, kayaknya gue gak bisa ngeband lagi. Gue quit ya!”

“APAAA??” Thoriq dan Lusi berbarengan kaget.

Mariana yang berdiri tak jauh dari mereka juga bengong. Mariana tahu, musik adalah obsesi terbesar Yoshi dari kecil. Dia ingin seperti bapaknya yang semasa remajanya adalah musisi dan mengisi acara musik di TVRI Bandung.

*

            Murid-murid berkerumun di depan lubang yang dibuat Abdi tadi pagi. Mereka merasa heran kapan lubang sebesar ini dibuat. Kemarin, lubang sebesar itu belum ada. Sherwin Raffa, yang punya kembaran super cerdas bin pintar yang sekolah di SMA DPU, bernama Sherwin Raffi, mendekati lubang itu sambil cengar cengir. Imajinasinya terbuka.

“Gimana ya, kalau ada orang jatuh ke lubang itu, terus lubang itu ternyata menuju Amerika. He he he…”

Yang mendengar langsung mengerut alis. Sherwin Raffa, memang anak yang aneh. Agak Freak. Beda dengan kakaknya yang sekolah SMA DPU sana.

“Ada yang mau coba? Aku mau coba, ah…..” Ujarnya, sambil cengengesan. Lalu diturunkannya sebelah kakinya ke lubang itu.

“Aku sudah sampai Amerika, he he he…Mau nyoba? Mau nyoba? ”

*

            “HAH?? Apa-apaan ini??” Teriak guru-guru ketika membaca lembar rencana yang dibuat oleh Abdi. Rencana itu adalah, Abdi akan mengadakan replacement test kepada guru-guru yang akan mengajar di KKP[1] dan KKSP[2]. Jika guru yang mengajar tersebut gagal, artinya, tidak satupun murid yang berhasil masuk ITB, maka guru tersebut harus mengundurkan diri.

Mereka tidak terima peraturan itu. Mereka tidak mau menerima tantangan Abdi untuk mengikuti replacement test untuk  mengajar di kelas khusus.

“Kurang ajar! Kita yang mengajar bertahun-tahun disuruh tes tes apa itu!” Ujar seorang guru. Dia sampai meludah-ludah gara-gara membaca lembar rencana itu.

“Kalau sekolah ini bangkrut dan tutup, Anda semua juga akan dipecat dan menganggur. Sekarang, kenapa takut menerima tantangan ini?” Tanya Abdi.

“Pak Abdi, kita bukannya takut. Tapi untuk apa seperti ini? Bukannya kelas khusus itu ya, seperti kelas les tambahan saja?”

“Bukan seperti itu. Saya punya metode sendiri yang akan saya bagikan pada Anda yang mau menerima tantangan ini.”

Semuanya melengos.

“Oke, saya batalkan, gak usah diadakan replacement testlah jika Anda tidak mau. Siapa yang mau jadi voluntir?”

Semua diam. Tidak ada yang berani tunjuk tangan.

“Anda semua tidak percaya diri. Saya jadi tahu integritas Anda semua seperti apa. Ya sudah, jika tidak ada yang mau, sayalah yang akan mengajar di kelas khusus itu.” Kata Abdi.

“HAH??”

“Saya setuju!” Kata suara di pojok. Itu suara Lia Dahlia. “Saya setuju jika diadakan replacement test untuk para guru!”

Abdi melihatnya, kemudian tersenyum.

Good, English Teacher!”

*

            Dikelas XII IPA 2, ribut gak karuan. Guru Matematika mereka masih rapat dengan Abdi dan guru-guru lain hingga mereka terbengkalai.  Sebetulnya tidak terbengkalai amat. Sebelum bel bunyi tadi, guru Matematika memberi tugas untuk dikerjakan selama dirinya rapat dengan guru-guru. Tapi bukan SMA BS namanya jika tidak ribut dan mengerjakan tugas seenaknya saja.

Thoriq ngobrol dengan Yoshi mengenai band mereka. Mariana menguping karena ingin tahu alasan Yoshi keluar dari band. Apa sebabnya? Sejak jadian sama Lusi,  mereka jadi jauh. Yoshi tidak pernah lagi main dengannya, tak pernah lagi curhat. Dalam hati Mariana, dia ingin sekali dekat lagi dengan Yoshi, seperti waktu dulu. Mariana ingin, meski cowok itu sudah punya pacar, tetaplah Yoshi menjadi teman dekatnya. Jangan ada yang berubah. Namun siapa yang bisa mengatur Yoshi yang keras kepala?

Sementara, Lusi melihat penuh cemburu pada Mariana yang sedang memperhatikan Yoshi lekat-lekat seperti permen karet. Sebetulnya tidak heran jika Yoshi disukai banyak cewek karena dia populer di sekolah ini. Tapi tolong, jangan Mariana yang suka pada Yoshi. Jangan dia!

Harusnya, Lusi merasa beruntung Yoshi tidak pernah lirak lirik selama mereka jadian, meski banyak yang naksir. Yoshi itu cowok paling dingin dan lempeng sejagat raya. Gak cunihin[3]. Namun, entah kenapa, diantara semua cewek di sekolah, dia paling cemburu sama Mariana. Apa karena Yoshi sering ngomongin dia? Rumah mereka dekat dan ketika jalan melewati rumah Mariana, Yoshi selalu menoleh, memastikan Mariana ada di warung nasi “Sederhana” atau yang paling Lusi benci, Yoshi sering mampir sebentar, untuk makan gratisan di sana!

Yoshi juga punya panggilan buat Mariana, yaitu Mardut dan kalau tidak salah, Mariana juga punya panggilan buat Yoshi, yaitu Yonce. Entah kenapa, meski arti panggilan itu jelek, Mariana Gendut, tapi Lusi merasa ada makna lain terkandung disana ketika Yoshi mengucapkannya; Kemesraan.

Tak jauh dari bangku Lusi, Weni Dyah Puspita sedang asyik surfing di internet dari smartphonenya. Dia sedang membaca berita tentang Yuki Kato. Dia ngefans banget dengan Yu-Ka, tapi sekaligus membencinya. Dia iri pada cewek itu. Weni bercermin dan memirip-miripkan wajah dengan Yuki Kato. Kemudian, bibirnya merengut.

“Apa sih yang cakep dari dia? Perasaan, gue juga lebih cakep, deh. Sebeeelll!!” Ditonjoknya smartphone yang layarnya segede talenan itu dengan gemas. Dalam hati Weni berkata, kelak, dia akan menyaingi karir Yuki Kato di dunia entertainment tanah air. Lihat saja nanti setelah dia lulus dari SMA BS. Weni punya sepupu yang kerja di TWIN TV, mungkin dia bisa bantu.

“Yoshi, lo bisa mengerjakan tiga pekerjaan sekaligus; Sekolah, ngeband dan kerja. Ayolah..” Bujuk Thoriq yang kecewa berat partner tersayangnya dalam band harus hengkang.

“Gak segampang itu, Thor. Gue musti bagi waktu juga, kan?” Jawab Yoshi. “Semalam, gue udah mulai kerja di proyek apartmen, jadi kuli bangunan. Terpaksa, Man. Gue musti bayar utang nyokap,” lanjutnya.

“Lah, usaha fotokopian emang gak jalan?” Tanya Thoriq.

“Kemarin, satu mesin fotokopi disita ama rentenir, yang satu lagi sedang rusak. Lo mau fotokopi pake apaan?”

Thoriq terbelalak. Tiba-tiba dia merasa sangat prihatin pada temannya ini. Sementara, dia begitu bergelimang uang tanpa pusing-pusing memikirkannya. Kurang duit, tinggal telepon pegawai papa minta transfer ke ATM.

Mariana mengangguk-angguk paham mendengar kata Yoshi. Itu toh alasannya, karena dia harus kerja. Kemudian, dia mulai mengerjakan tugas Matematika.

Lusi mendekati bangku cewek itu dengan tatapan singa cemburu.

“Ngapain lo manggut-manggut? Nguping dengar, ya? Jangan sok tahu, ya! Yoshi itu, cowok gue! Gak usah lo sok perhatian sama dia!” Tukas Lusi tajam.

“Udah tahu.” Jawab Mariana, singkat dan tidak peduli pada keberadaan Lusi didepannya. Lusi balik ke kursinya dengan geram.

Sherwin Raffa berputar-putar mencari jawaban untuk tugas Matematika. Dia bertanya dari meja satu ke meja lain. Semua menolak memberitahunya.

“Tanya noh, ama kembaran lo di DPU. Dia pasti tahu jawabannya.” Kata seorang murid.

“Iya, adik gue itu, rencananya mau masuk ITB, hehehe…” Jawab Raffa cengengesan.

Seorang guru masuk kelas dan bilang jika seluruh murid kelas XII harus berkumpul di aula untuk mendengarkan pengumuman penting dari Kepala Sekolah. Segera semua berlari ke aula dengan gembira. Dilemparkankannya buku Matematika ke udara. Mereka merasa sangat bebas. Karena, setelah berkumpul di aula, biasanya langsung pulang. Merekapun membawa tas dan segala bawaaan mereka ke aula.

*

            Di aula, semua berbaris tidak rapi. Aula itu berdengung seperti ribuan lebah yang berkumpul di sarangnya. Tidak dihiraukan juga Bu Nina yang bicara di depan podium sana. Mereka tidak peduli, asyik sendiri, ngobrol sendiri. Aula yang sekaligus lapangan basket indoor itupun tidak bisa ditenangkan oleh Bu Nina. Dia hampir putus asa. Guru-guru semua juga tampak putus asa.

“Sekarang, Ibu akan kenalkan, seorang guru baru, yang akan mengajar di kelas khusus tersebut. Sambut dia, Bapak Abdi wiratmadja…!!!”

Tidak ada yang peduli. Semua masih sibuk dengan urusan masing-masing. Abdi naik ke panggung. Mariana membelalak kaget. Si pengacara itu?? Jadi guru?? Oh, no!!!

“Wiri-a-atmadja, Bu.” Ralat Abdi “Wiri-a-atmadja”

“Apa? Oh, Wiri-a-atmadja, ya? Kenalkan, ini Bapak Abdi Wiria Atmadja..!! Silahkan, Pak.”

Abdi naik ke podium.

“Terimakasih, Bu Nina.”

Abdi berdiri di podium dan memandangi anak-anak kelas XII yang berjumlah sekitar 300 orang itu. Dia pandangi mereka dari ujung belakang ke depan, kanan ke kiri. Satupun tidak ada yang memperhatikannya. Mereka sibuk ngobrol sendiri. Sepuluh menit berlalu. Akhirnya, mereka menyadari jika ada yang tidak beres. Mereka kemudian saling mencolek. Satu persatu mereka sadar dan diam.

“Hey, Pak. Kenapa diam aja? Ngomonglah. Kita dengerin kok!” Kata salah seorang dari mereka.

“Buruan, Pak. Kami mau pulang.”

“Mendadak bisu ya lihat cewek-cewek disini ternyata cakep-cakep? HAHAHA” Kata seorang cewek dengan dandanan super menor dan semuanya tertawa. Suara mendengung seperti lebah terdengar kembali.

“Dasar pada bodoh-bodoh anak-anak sini. Apalagi anak ceweknya, sudah bodoh, menor, seperti ayam jelek.” gumam Abdi. “Kalian semua memang gagal dan akan jadi sampah masyarakat selama hidup kalian!”

Semuapun terdiam, demi mendengar kalimat serapah yang dituturkan sedingin kulkas. Abdi, telah mencuri perhatian mereka dengan kata-kata kasar tapi dinginnya itu.

“Kurang ajar nih Bapak. Beraninya bilang gitu. Ayo bilang sekali lagi, sini turun kalo berani!!” Ujar salah satu dari mereka. Semua setuju. Mereka semua maju mendekati panggung.

“Guru adalah guru dan murid harus berlaku seperti layaknya murid. DIAM SAMPAI SAYA SELESAI BICARA!!!”

Semua kembali diam.

“Dengar, ya. Apa yang dimaksud dengan gagal tadi, karena kalian selalu dibodohi. Jika kalian selalu dibodohi sepanjang hidup,..”

“Siapa yang dibodohi??” Teriak mereka.

“Sama siapa??”

“Sama peraturan masyarakat!!” Jawab Abdi. “Dalam hidup bermasyarakat, otomatis, kita musti nurut sama peraturan masyarakat. Karenanya, itu disebut peraturan. Peraturan yang dirancang oleh orang-orang pintar. Orang-orang berpendidikan. Apa artinya itu?”

Mata Abdi beredar.

“Peraturan itu, dirancang agar orang-orang cerdas dan berpendidikan itu bisa hidup nyaman. Dengan kata lain, mereka membodohi orang-orang yang tidak secerdas mereka. Sementara, kita harus mematuhi peraturan tersebut. Tapi, orang-orang cerdas itu tahu, bagaimana memanfaatkan mereka yang bodoh. Pajak! Dana pensiun! Kesehatan! Orang-orang cerdas itu sengaja membuat peraturan itu terdengar seperti sulit dan penting sekali.”

“DAN, orang-orang yang not-quite-intelligent ini, menurutinya seperti kerbau dicucuk hidungnya. Nah, orang-orang seperti kamu, yang gak mau menggunakan otaknya untuk mikir, akan kacau seumur hidup dan membayar banyak uang untuk segala keperluan sehari-hari. Orang-orang bodoh yang dibodohi akan merasa gagal setiap waktu. Inilah fenomena aktual yang terjadi dalam masyarakat kita!! Makanya, kalian jangan mau jadi orang bodoh lagi. Lebih baik kalian BELAJAR!! Inilah solusi yang paling baik: BELAJAR dan masuklah ke ITB!!”

Semua masih terdiam.

“Tujuan kelas khusus yang saya buat ini, adalah untuk mencapai itu, untuk masuk ke Institut itu. Kalian bisa bergabung selama ada keinginan untuk belajar. Kalian bisa berencana masuk universitas lain, tapi target utama dalam kelas ini adalah ITB! Lima diantara kalian saya targetkan bisa lolos tahun ini! Percayalah, ini akan jadi titik balik buat kalian semua. Untuk yang sudah MERASA PINTAR, jangan masuk kelas ini!!”

Tiba-tiba, bola basket melayang ke kepala Abdi. Abdi menghindar dan bola basket itu memantul ke tembok, kemudian kembali ke bawah, meluncur. Anak murid lain membuka jalan untuk bola basket itu lewat dan berhenti tepat di depan Yoshi.

“Kenapa musti ke ITB?” Tanya Yoshi ketus “Orang-orang selalu ngomongin ITB, ITB, ITB. Bosen, tahu gak??!”

Abdi menatapnya tak gentar.

Thoriq maju memegang pundak Yoshi, berusaha mencegah temannya itu bicara lagi. Dia tahu ada yang beda dengan guru baru ini. Dia beda dengan guru-guru di SMA BS yang cenderung takut pada muridnya. Abdi turun dari podium, menghampiri Yoshi, lalu memungut bola basketnya.

“Kamu gak suka sama ITB?”

“Siapa yang suka sama Intitut angkuh itu? Lihat gerbangnya aja udah eneg[4]!!” Jawab Yoshi.

“Sama. Saya juga gak suka, apalagi sejak saya di DO dari sana ketika semester empat.”

Aula sepi, seperti kuburan.

“Hanya karena nama besar itu, ribuan orang bekerja keras untuk masuk sana. Mereka berpikir, jika bisa kuliah disana, hidup akan sempurna.”

“Terus, kenapa Anda bilang “KALIAN” itu artinya “KAMI”, bukan? Kenapa kami yang harus kesana?” Tanya Yoshi lagi.

“Benar! Tepat sekali. Kamu belum mengerti hal itu sekarang. Karena kamu masih kecil, masih bocah. Tidak tahu apa-apa soal tatanan masyarakat. Orang dewasa sengaja gak ngasih tahu apa-apa tentang hal-hal tabu karena kamu masih ingusan. Saya kasih tahu, begitulah masyarakat di luar sana, Nak. Selama ini yang kamu tahu, kamu bisa mimpi apapun tanpa halangan apapun yang membatasi. Itu sangat menakutkan. Dan, kesalahan besar mereka ngasih tahu kamu adalah menyuruhmu percaya bahwa kamu bisa sukses jika kamu UNIK. Orang unik bisa sukses? Lalu bagaimana dengan yang tidak UNIK?” Abdi tertawa terkekeh.

“Itu bukan ‘masyarakat’ yang dimaksud. Bukan masyarakat yang realistis. Apa jadinya dengan pemikiran dangkal seperti itu? Kenyataan hidup ini terisi dengan hal-hal di luar nalar dan mengecewakan. Kalian terlanjur dicap Idiot dan cewek-ceweknya terlanjur dijuluki Ayam Jelek. Pertanyaannya: Kenapa anak-anak Idiot dan Ayam Jelek tidak bisa masuk ke ITB?? Oke, jika begitu….”

Abdi mengangkat bola basket ke udara dan melemparkannya ke keranjang jauh di depannya sana, dan blesss… masuk!!

“WHAAAA!!!”

Double Three Point!!” Teriak mereka terkagum-kagum.

“Nama kamu, Yoshi Arvin, kelas XII IPA 2, kan?” Tanya Abdi      “Kalau kamu gak puas sama tatanan masyarakat yang seperti ini, ciptakanlah masyarakat dan buatlah peraturan kamu sendiri! Tapi catatannya: Kamu harus super cerdas!!”

Yoshi menuduk.

“Saya bilang sekali lagi, jika kamu tidak mau dibodohi, BELAJAR!! HANYA IDIOT DAN AYAM JELEK, YANG BISA TEMBUS ITB!!!”

**


[1] Kelas Khusus Pemantapan

[2] Kelas Khusus Super Pemantapan

[3] Genit

[4] Mual